Le
histoire se repete, Sejarah akan terulang. Demikianlah kaidah yang senantiasa
sampai kepada kita. Dikatakan berulang-ulang karena memang begitu faktanya. Betapa
banyak bukti yang sampai kepada kita akan peristiwa masa lampau yang kembali
terjadi di masa sekarang. Sekali lagi, karena memang begitulah faktanya, fakta
bahwa sejarah selalu mengulangi dirinya sendiri.
Mempelajari
sejarah menjadi teramat penting kita lakukan agar kita bisa mengambil langkah
untuk maju ke depan. Berbekal dengan sejarah, kita bisa sukses dalam menjalani
safar kita menuju peradaban gemilang yang sejak lama kita impikan.
Kita
perlu meluruskan niat kita dalam mendalami sejarah. Bukan sekedar iseng
menjadikan sejarah itu sebagai dongeng pengantar tidur, misalkan, tapi hanya
karena Allah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita
untuk mengambil ibrah dari kisah umat-umat dan bangsa-bangsa di masa lampau.
Karena sesungguhnya dibalik kisah mereka ada pelajaran untuk orang-orang yang
berakal. Sebegitu pentingnya sejarah, sampai-sampai sepertiga isi dari
al-Qur’an adalah sejarah. Betapa banyak konten sejarah yang bisa kita dapatkan
dari Kitab Yang Mulia yang diturunkan langsung dari langit ketujuh ini.
Dari
kisah-kisah sejarah yang nyata di al-Qur’an tersebutlah, Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam banyak mendapat pelajaran dan strategi untuk
membangun peradaban emas di tanah tandus kering kerontang yang kebanyakan
berisi manusia buas, Jazirah Arab. Betapa drastis perubahan yang terjadi disana
semenjak revolusi tauhid yang digalakkan oleh Sang Nabi menyapu habis kebodohan
dan kesempitan di Tanah Arab. Namun, Islam bukanlah Rahmatan lil ‘Arabiyyah
semata, namun ia adalah Rahmatan lil ‘Alamin, untuk sekalian semesta.
Maka revolusi itupun menyebar, meluas, dan mengakar, mulai dari pantai selatan
Maroko sampai ke tanah subur Jawa. Mulai dari tanah bersalju Ukraina, sampai ke
savana Ethiopia. Wilayah yang sedemikian luas itu, dimakmurkan dan disatukan
oleh akidah yang satu, kepemimpinan yang satu, bendera yang satu, dan perasaan
yang satu. Dialah Islam, yang terbingkai dalam institusi Khilafah.
Kekuasaan
yang paling awet sepanjang sejarah itu begitu gemilang, sampai ia menjadi
matahari kehidupan bagi dunia. Jadilah ia mercusuar yang menyorotkan sinarnya
kepada bangsa-bangsa lain yang masih berada dalam gulita. Seperti contoh,
bagaimana terperangahnya Charlemagne, sang penguasa bangsa Frank di Eropa
ketika dihadiahi sebuah jam oleh Khalifah Harun al-Rasyid. Charlemagne mengira
ada jin yang bersemayam dalam jam itu sehingga jam itu bisa menggerakkan
jarumnya menunjukkan angka waktu. Padahal kita tahu bahwa teknologi-lah yang
menggerakan jam itu. Sebuah kesenjangan peradaban yang sangat jauh, ketika
dalam waktu yang sama Eropa mengalami dark age sementara Islam sedang
menikmati golden age-nya.
Namun,
semua itu telah menjadi romantisme sejarah. Semua itu hanya masa lampau.
Semenjak Khilafah yang agung itu diruntuhkan sehancur-hancurnya pada 3 Maret
1924, maka kaum Muslim seakan menjadi tong sampah dunia. Semua yang jelek-jelek
ada di kita. Kita tertinggal dalam teknologi, terpuruk dalam peradaban, saling
bertengkar antarsesama, negeri-negeri kita dijajah secara fisik dan politik,
lengkap sudah! Ibarat roda, maka kita sedang berada di posisi bawah. Terlindas,
ternista, terbawah, dan bergumul dengan kotoran.
Tapi
kembali ke kaidah awal, bukankah sejarah akan senantiasa terulang? Roda yang
sedang dibawah itu akan berputar kembali ke posisi atas. Hal ini terbukti,
dengan makin banyaknya orang-orang yang kembali ke Islam, kemudian sadar akan
urgensi Khilafah, dan akhirnya turut berjuang untuk menegakkannya. Perjuangan untuk
mengembalikan sejarah yang wangi ini akan berhasil, dan anak cucu kita akan
berkata, “leluhurku berperan dalam kebangkitan Islam! Aku adalah keturunan
pejuang Islam!”
Insya
Allah!
Akhukum, Nicko
Pandawa
(Tulisan ini dimuat di Media Umat edisi 164, 7-20 Rabiul Awwal 1437 H/ 18-31 Desember 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar