My Teritory

Jumat, 25 Desember 2015

Le Histoire Se Repete




Le histoire se repete, Sejarah akan terulang. Demikianlah kaidah yang senantiasa sampai kepada kita. Dikatakan berulang-ulang karena memang begitu faktanya. Betapa banyak bukti yang sampai kepada kita akan peristiwa masa lampau yang kembali terjadi di masa sekarang. Sekali lagi, karena memang begitulah faktanya, fakta bahwa sejarah selalu mengulangi dirinya sendiri.

Mempelajari sejarah menjadi teramat penting kita lakukan agar kita bisa mengambil langkah untuk maju ke depan. Berbekal dengan sejarah, kita bisa sukses dalam menjalani safar kita menuju peradaban gemilang yang sejak lama kita impikan.

Kita perlu meluruskan niat kita dalam mendalami sejarah. Bukan sekedar iseng menjadikan sejarah itu sebagai dongeng pengantar tidur, misalkan, tapi hanya karena Allah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mengambil ibrah dari kisah umat-umat dan bangsa-bangsa di masa lampau. Karena sesungguhnya dibalik kisah mereka ada pelajaran untuk orang-orang yang berakal. Sebegitu pentingnya sejarah, sampai-sampai sepertiga isi dari al-Qur’an adalah sejarah. Betapa banyak konten sejarah yang bisa kita dapatkan dari Kitab Yang Mulia yang diturunkan langsung dari langit ketujuh ini.

Dari kisah-kisah sejarah yang nyata di al-Qur’an tersebutlah, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam banyak mendapat pelajaran dan strategi untuk membangun peradaban emas di tanah tandus kering kerontang yang kebanyakan berisi manusia buas, Jazirah Arab. Betapa drastis perubahan yang terjadi disana semenjak revolusi tauhid yang digalakkan oleh Sang Nabi menyapu habis kebodohan dan kesempitan di Tanah Arab. Namun, Islam bukanlah Rahmatan lil ‘Arabiyyah semata, namun ia adalah Rahmatan lil ‘Alamin, untuk sekalian semesta. Maka revolusi itupun menyebar, meluas, dan mengakar, mulai dari pantai selatan Maroko sampai ke tanah subur Jawa. Mulai dari tanah bersalju Ukraina, sampai ke savana Ethiopia. Wilayah yang sedemikian luas itu, dimakmurkan dan disatukan oleh akidah yang satu, kepemimpinan yang satu, bendera yang satu, dan perasaan yang satu. Dialah Islam, yang terbingkai dalam institusi Khilafah.


Kekuasaan yang paling awet sepanjang sejarah itu begitu gemilang, sampai ia menjadi matahari kehidupan bagi dunia. Jadilah ia mercusuar yang menyorotkan sinarnya kepada bangsa-bangsa lain yang masih berada dalam gulita. Seperti contoh, bagaimana terperangahnya Charlemagne, sang penguasa bangsa Frank di Eropa ketika dihadiahi sebuah jam oleh Khalifah Harun al-Rasyid. Charlemagne mengira ada jin yang bersemayam dalam jam itu sehingga jam itu bisa menggerakkan jarumnya menunjukkan angka waktu. Padahal kita tahu bahwa teknologi-lah yang menggerakan jam itu. Sebuah kesenjangan peradaban yang sangat jauh, ketika dalam waktu yang sama Eropa mengalami dark age sementara Islam sedang menikmati golden age-nya.

Namun, semua itu telah menjadi romantisme sejarah. Semua itu hanya masa lampau. Semenjak Khilafah yang agung itu diruntuhkan sehancur-hancurnya pada 3 Maret 1924, maka kaum Muslim seakan menjadi tong sampah dunia. Semua yang jelek-jelek ada di kita. Kita tertinggal dalam teknologi, terpuruk dalam peradaban, saling bertengkar antarsesama, negeri-negeri kita dijajah secara fisik dan politik, lengkap sudah! Ibarat roda, maka kita sedang berada di posisi bawah. Terlindas, ternista, terbawah, dan bergumul dengan kotoran.

Tapi kembali ke kaidah awal, bukankah sejarah akan senantiasa terulang? Roda yang sedang dibawah itu akan berputar kembali ke posisi atas. Hal ini terbukti, dengan makin banyaknya orang-orang yang kembali ke Islam, kemudian sadar akan urgensi Khilafah, dan akhirnya turut berjuang untuk menegakkannya. Perjuangan untuk mengembalikan sejarah yang wangi ini akan berhasil, dan anak cucu kita akan berkata, “leluhurku berperan dalam kebangkitan Islam! Aku adalah keturunan pejuang Islam!”

Insya Allah!


Akhukum, Nicko Pandawa

(Tulisan ini dimuat di Media Umat edisi 164, 7-20 Rabiul Awwal 1437 H/ 18-31 Desember 2015)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar