My Teritory

Minggu, 03 Januari 2016

Liberalis, Riwayatmu Nanti...

Kulihat di gerbang UIN ada banner besar. Yang membuatku agak kaget ternyata pembicaranya adalah Ulil Abshar Abdalla dan Zuhairi Misrawi, pentolan liberal yang selama ini sepak terjangnya di media sosial begitu kontroversial. Ada juga pembicara yang lain yaitu Prof. Romo Franz Magnez Suseno, SJ., seorang pendeta dari Jerman. Kemudian Maulana Abdul Basit, Sy. dan Ahmad Najib Burhani, Ph.D, juga seorang dari Inggris yang bernama Dr. Sir. Iftikhar Ayaz, KBE, OBE. Saat kulihat tema acara itu, ternyata tentang implementasi toleransi untuk kemanusiaan dan keharmonisan. Sebuah tema yang begitu mainstream di kalangan liberal.

Rabu, 30 September 2015/16 Dzulhijjah 1436, aku rela tidak ikut kuliah demi menghadiri acara ini. Aku ingin mengetahui pemikiran mereka ‘langsung’ dari sumbernya, agar aku tidak menjadi orang yang sekedar ‘ikut-ikutan’.

Acara berlangsung di Auditorium Harun Nasution. Di belakang pintu masuk kulihat ada stand. Isinya adalah buku-buku dan mushaf-mushaf al-Qur’an yang diterjemahkan ke berbagai bahasa. Tapi yang membuatku terkejut, di samping stand buku itu ada tiga standing banner yang berisi info-info kegiatan Ahmadiyah di seluruh dunia. Terpampang pula foto Mirza Ghulam Ahmad, ‘Imam Mahdi’ versi Ahmadiyah dengan perpaduan background yang telah diedit sehingga menimbulkan kesan soft and smooth, seolah ingin disampaikan bahwa dia adalah seorang yang membawa cinta damai.


Lalu aku masuk dan mengambil tempat duduk. Sebelum narasumber naik ke atas panggung, ada sambutan dari orang-orang Fakultas Ushuluddin. Acara ini memang diselenggarakan oleh fakultas tersebut. Dari sambutan yang disampaikan salah seorang dari mereka, baru kusadari ternyata acara ini adalah acara dalam rangka memperingati satu abad Ahmadiyah. Pantas saja foto Mirza bisa terpampang di depan tadi. Temanku mengatakan, betapa khianatnya Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan wadah kepada Ahmadiyah untuk tampil dan menancapkan pengaruhnya di kampus Islam ini, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kemudian, hadir sebagai pembicara pertama, Maulana Abdul Basit, Sy. seseorang dari perwakilan Ahmadiyah. Dia menyampaikan materi tentang pengimplementasian toleransi yang dimulai dari diri sendiri, kemudian diajarkan ke seluruh penghuni rumah, didukung oleh institusi pemerintahan, dan disokong oleh para tokoh masyarakat.

Menurutku, karena sekarang mereka minoritas, maka mereka bersikap baik nan lembut, serta mendambakan sebuah perdamaian dunia. Tapi, bagaimana jika seandainya mereka mayoritas? Tabiat orang sesat adalah selalu ingin berbuat kerusakan dan keresahan. Sikap mereka saat ini yang begitu ‘menyejukkan’ tidak lain adalah manuver mereka untuk merebut hati masyarakat. Padahal dalam sejarahnya, Ahmadiyah diciptakan oleh Inggris untuk memecah belah kaum Muslim di India yang waktu itu adalah jajahan Inggris. Metode khas bangsa kafir, devide et impera. Pecah belah, lalu kuasai!

Pembicaranya berikutnya adalah Prof. Dr. Romo Franz Magnez Suseno, SJ. Pastur ini memaparkan tentang realitas fakta di abad ke-21 ini, bahwa dunia sedang menghadapi tantangan dari pihak yang melakukan kekerasan atas nama agama. Menurutnya, setelah jatuhnya kekuasaan sekuler totaliter, kaum fundamentalis menggunakan ruang kosong itu untuk mengekspresikan sikapnya. Untuk itu, diperlukan kemampuan untuk saling menerima dalam keberlainan. Kupikir, apa yang disampaikan pastur ini sah-sah saja, walaupun ada beberapa poin dimana aku kontra dengan pendapatnya. Namun, itu tidak perlu dibahas disini.

Tibalah saatnya pembicara ketiga tampil. Narasumber yang kutunggu-tunggu. Inilah Ulil Abshar Abdalla, tokoh sentral dibalik gerakan Islam liberal se-antero Indonesia, bahkan sampai mancanegara. Seseorang yang pernah mendapat fatwa mati dari Forum Ulama Umat Islam (FUUI) ini, kini berada dihadapanku.

Ulil Abshar Abdalla
Terlintas sejenak dalam ingatan tentang seseorang yang mirip dengannya berabad yang lalu. Abdullah bin Ubay, yang dijuluki oleh penulis kitab-kitab sirah sebagai pemimpin para munafik di Madinah ketika zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kata-katanya manis, juga kelebihan lain yakni otak yang begitu encer. Namun dibalik itu semua, betapa dia mendengki Islam dan berusaha menghancurkannya dengan cara-cara yang penuh kemunafikkan.

Karena ini acara Ahmadiyah, Ulil memulai penjelasannya dengan mengatakan bahwa cobaan yang dialami Ahmadiyah menyiratkan banyak hikmah. Salah satunya, dengan cobaan-cobaan tersebut, dikatakan bahwa Ahmadiyah makin membuka diri. Ini dibuktikan dengan adanya acara ini dan diselenggarakan pula di dalam Universitas Islam kenamaan di Indonesia.

Mengapa banyak Muslim yang menolak Ahamadiyah? Menurut Ulil, ini dikarenakan adanya pemahaman yang salah tentang kemusliman. Muslim menurut Ulil ada dua definisi, yakni Muslim Minimalis dan Muslim Maksimalis. Muslim Minimalis adalah siapapun mereka yang mengucapkan kalimat syahadatain (saja), maka ia Muslim. Entah yang mengucapkan itu orang Sunni, Syiah, Ahmadiyah, Yahudi, Kristen, Kejawen, dan sebagainya. This is what Ulil believes about the true Muslim.

Sementara Muslim Maksimalis ialah ia yang membatasi keislamannya dengan madzhab tertentu. Inilah menurut Ulil yang menjadikan pemahaman agama begitu sempit, sehingga tidak membuka ruang-ruang bagi sekte-sekte semacam Syiah dan Ahmadiyah untuk hidup.

Padahal, bukankah kita perlu bermadzhab agar pemahaman kita akan agama mempunyai sandaran kepada ulama-ulama semacam Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Ahmad bin Hanbal, juga Abu Hanifah? Empat imam tersebut adalah orang-orang yang luar biasa dalam merumuskan berbagai fiqih hukum Islam, sehingga mereka menjadi acuan orang-orang sepeninggalnya. Walaupun perbedaan antarpenganut madzhab kadang menimbulkan permusuhan, namun hal itu bisa diatasi salah satunya yantu dengan kehadiran seorang Imam. Al-Imamu ittihadul khilafiyah, begitu bunyi kaidahnya.

Kemudian dengan tegas Ulil mengeluarkan pernyataan, bahwa Ahmadiyah adalah bagian dari Islam. Dia bahkan dengan begitu percaya diri mengatakan bahwa dia akan mempertanggungjawabkan apa yang ia yakini tadi di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala di Hari Akhir nanti.

Aku bingung bercampur kasihan padanya. Bingung akan cara dia berpikir dan kasihan akan nasibnya di akhirat nanti. Kenapa dia bisa begitu percaya diri dalam membela kesesatan? Memang ia berlatar belakang akademis dan intelek, namun ia telah melacurkan intelektualitasnya kepada Barat untuk kepentingan perutnya sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tuathail dan Dalby (1998), Imperialisme Barat modern dilaksanakan secara tidak langsung, salah satunya ialah secara formal (formal geopolitics), melalui lembaga-lembaga strategis, kelompok pemikir, dan para akademisi. Gembong-gembong liberal seperti Ulil adalah salah satu dari alat Barat untuk memecah belah Islam di Indonesia.

Aku hanya bisa menghela nafas ketika itu. Temanku yang duduk di sebelahku ternyata tidak tahan mendengar argumen-argumen Ulil yang kacau, sehingga ia keluar dari auditorium ini sambil mengucap kata-kata laknat yang ditujukan untuk Ulil. Dia benar-benar muak. Aku juga satu rasa dengannya, namun aku lebih memilih bertahan disini, untuk menjadi ‘saksi’ atas dusta-dusta yang mereka ucapkan.

Ulil pun mengakhiri pembicaraannya. Pembicara berikutnya pun menggantikan posisi Ulil di podium. Moderator acara memperkenalkan sang pembicara kepada sekalian hadirin, bahwa ia adalah dosen UIN dan juga orang Muhammadiyah. Namanya Ahmad Najib Burhani, Ph.D. Ketika ia memberi muqadimah, ia mengatakan bahwa setelah Muhammadiyah, maka Ahmadiyah adalah ‘rumahnya’ yang kedua. Miris aku mendengarnya bahwa organisasi sehebat Muhammadiyah dirusak dari dalam oleh salah satu anggotanya yang teracuni kerancuan akidah ini.

Ia menyampaikan presentasinya secara bilingual, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Salah satu yang kutangkap dari penjelasannya, bahwa Indonesia menjadi contoh yang ideal bagi masyarakat dunia untuk menampilkan wajah Islam yang moderat, toleran, dan penuh kedamaian. Berbeda dengan Islam di Timur Tengah yang begitu eksklusif, ekstrem, dan berdarah-darah. Pendapatnya persis sama dengan pendapat para pengusung istilah ‘Islam Nusantara’ yang menempatkan asas kebangsaan lebih tinggi dari asas ukhuwah Islam. Mereka menjadikan situasi kekacauan yang terjadi di dunia Islam saat ini sebagai sebab, bukan akibat. Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa kaum Muslim di Timur Tengah yang dilanda kekacauan adalah karena adanya intervensi kaum kafir penjajah Barat beserta boneka-bonekanya. Ditambah lagi kehadiran Zionis Yahudi yang tumbuh ibarat kanker, menggerogoti dan membinasakan.

Situasi di Indonesia yang menurut banyak orang begitu kondusif, maka ini hanya tampak luarnya saja. Padahal, bencana akidah dan sosial begitu melimpah di negeri ini. Betapa banyak orang munafik yang merongrong ke-Islaman kita. Betapa hancurnya akhlak dan moral penduduknya. Betapa bobroknya perekonomian kita. Betapa lemahnya hukum konstitusi dalam menangani berbagai persoalan. Hukum hanya menjadi barang pajangan yang ditampilkan dibalik etalase. Hanya orang-orang yang berkantong tebal saja yang dapat membelinya. Orang-orang miskin? Dengan terpaksa mereka hanya bisa meneteskan air liurnya, menatap hukum yang menjadi barang mewah di balik etalase itu. Mau beli tak ada biaya, apalah daya?

Maka setelah Ahmad Najib Burhani, Ph.D menyampaikan materinya, pembicara berikutnya tampil. Dia adalah seorang intelektual muda yang mengatasnamakan NU sebagai tempatnya bernaung. Zuhairi Misrawi, seorang lagi dari Jaringan Islam Liberal (JIL), sepak terjangnya di media massa dan media sosial begitu massif dalam menyuarakan paham kebebasannya. Pernah suatu ketika ia mencuit dalam twitternya, “kuperhatikan rak buku-buku Islam, maka halal-haram yang kudapat. Kutengok rak buku-buku Kristen, kedamaian dan cinta yang kudapat.” Pernyataan ini langsung ditanggapi oleh Hafidz Ary, seorang aktivis Indonesia Tanpa JIL (ITJ), “mau murtad tapi ragu..” begitu sindirnya.

Zuhairi Misrawi

Dalam presentasinya, Zuhairi mengemukakan pendapat bahwa identitas keberislaman itu ada tiga, Islam Sunni, Islam Syiah, dan Islam Ahmadiyah. Pembelaannya terhadap Ahmadiyah begitu terasa. Dia bahkan mengaku bahwa dia lebih ‘Ahmadiyah’ daripada pengikut Ahmadiyah sendiri. Dia akui, setiap ia selesai shalat, dalam zikirnya tak lupa senantiasa ia sampaikan shalawat kepada Mirza Ghulam Ahmad. Dia katakan, seharusnya umat Islam (Sunni) mencontoh Ahmadiyah, karena Ahmadiyah menjadikan shalat Tahajud sebagai shalat wajib, bukan sunnah, kacau sekali.

Kemudian, ia menyampaikan fakta-fakta tentang Ahmadiyah dan kegiatannya penganut-penganutnya. Ia sampaikan bahwa penganut Ahmadiyah di seluruh dunia saat ini mencapai 190 juta orang. Ahmadiyah juga memiliki organisasi yang berhasil mengirim para mubalighnya untuk ‘berdakwah’ ke Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika. Dengan ‘cinta damai’ mereka sebarkan ‘Islam’ ke seluruh pelosok dunia.

Pembicara terakhir ialah Dr. Sir. Iftikhar Ayaz, KBE, OBE. Seorang Pakistan yang berdomisili di London, Inggris. Dia juga seorang penganut Ahmadiyah. Ketika mengawali pidatonya, dia mengucapkan kalimat syahadatain dan muqadimah dalam bahasa Arab. Pengucapannya ia lagukan, dan suaranya yang berat itu seakan memenuhi seluruh isi ruangan auditorium yang luas dan besar. Inti dari pidatonya adalah toleransi dan perdamaian, as always.

Toleransi. Ini adalah sebuah sikap dan konsep yang luar biasa. Tapi ketika tema toleransi ini menjadi topik utama yang sering dibawakan oleh para liberalis, aku merasa bahwa tema toleransi ini telah dijadikan tameng oleh mereka untuk menyebarluaskan pahamnya yang sesat. Teringatlah aku dengan sebuah ayat al-Qur’an yang begitu pas untuk menggambarkan mereka,

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘janganlah berbuat kerusakan di Bumi!’ mereka menjawab, ‘sesungguhnya kami justru adalah orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, akan tetapi mereka tidak menyadarinya.” (TQS. Al-Baqarah : 11-12)

Sebagaimana yang mereka gaungkan, bahwa mereka sedang menebarkan kedamaian dan cinta kasih untuk kemanusiaan. Tetapi mereka tidak sadar, bahwa apa yang mereka perjuangkan sungguh membawa petaka bagi umat manusia. Yang mereka bela mati-matian justru membawa kemurkaan Tuhan Pencipta semesta alam. Walakin, laa yasy’uruun.. akan tetapi, mereka tidak menyadarinya.

Manusia pada fitrahnya memang selalu menghendaki kebaikan untuk dirinya sendiri atau orang lain. Jika ia ingin melakukan perbaikan namun di sisi lain ia mengabaikan ketentuan Allah, maka perbuatan yang ia lakukan adalah sia-sia belaka. Amal mereka akan terhapus bagai pasir yang ditiup angin badai.

Standar manusia tentang mana yang baik dan mana yang buruk selalu berubah-ubah. Banyak contoh tentang apa yang dahulu dianggap baik tapi zaman sekarang menjadi hal yang buruk. Begitupun sebaliknya. Berbeda dengan standar baik-buruk yang berasal dari Sang Pencipta. Standar ini tidak pernah berubah, selalu sesuai dengan fitrah manusia, dan senantiasa memuaskan akalnya.

Maka dari itu, jika kita hendak melakukan perbaikan, hendaklah untuk senantiasa berpegang kepada apa-apa yang Allah turunkan. Jika kita terlalu mendewakan akal kita, dan menganggap bahwa syariat Allah itu tidak relevan dengan modernitas, maka itulah tandanya bahwa penglihatan, pendengaran, dan hati kita tertutup dari rahmat Allah, dari hidayah Allah. Sehingga kita menjadi tidak sadar bahwa ternyata kita telah berbuat kerusakan. Walakin, laa yasy’uruun…

Itulah yang dialami oleh Ulil dan kawan-kawannya dalam kesesatan. Usaha mereka yang begitu massif dalam menebarkan kemungkaran pasti akan gagal, karena pada hakikatnya kebathilan itu akan hancur. Dan tiada yang tersisa setelah itu kecuali kebenaran.

Semoga shalawat serta salam selalu terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.



Yang sedang bingung gara-gara liberalis, Nicko Pandawa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar