Kulihat di gerbang UIN ada banner
besar. Yang membuatku agak kaget ternyata pembicaranya adalah Ulil Abshar
Abdalla dan Zuhairi Misrawi, pentolan liberal yang selama ini sepak terjangnya
di media sosial begitu kontroversial. Ada juga pembicara yang lain yaitu Prof.
Romo Franz Magnez Suseno, SJ., seorang pendeta dari Jerman. Kemudian Maulana
Abdul Basit, Sy. dan Ahmad Najib Burhani, Ph.D, juga seorang dari Inggris yang
bernama Dr. Sir. Iftikhar Ayaz, KBE, OBE. Saat kulihat tema acara itu, ternyata
tentang implementasi toleransi untuk kemanusiaan dan keharmonisan. Sebuah tema
yang begitu mainstream di kalangan liberal.
Rabu, 30 September 2015/16
Dzulhijjah 1436, aku rela tidak ikut kuliah demi menghadiri acara ini. Aku ingin
mengetahui pemikiran mereka ‘langsung’ dari sumbernya, agar aku tidak menjadi
orang yang sekedar ‘ikut-ikutan’.
Acara berlangsung di Auditorium
Harun Nasution. Di belakang pintu masuk kulihat ada stand. Isinya adalah
buku-buku dan mushaf-mushaf al-Qur’an yang diterjemahkan ke berbagai bahasa. Tapi
yang membuatku terkejut, di samping stand buku itu ada tiga standing banner
yang berisi info-info kegiatan Ahmadiyah di seluruh dunia. Terpampang pula foto
Mirza Ghulam Ahmad, ‘Imam Mahdi’ versi Ahmadiyah dengan perpaduan background
yang telah diedit sehingga menimbulkan kesan soft and smooth,
seolah ingin disampaikan bahwa dia adalah seorang yang membawa cinta damai.
Lalu aku masuk dan mengambil tempat
duduk. Sebelum narasumber naik ke atas panggung, ada sambutan dari orang-orang
Fakultas Ushuluddin. Acara ini memang diselenggarakan oleh fakultas tersebut. Dari
sambutan yang disampaikan salah seorang dari mereka, baru kusadari ternyata
acara ini adalah acara dalam rangka memperingati satu abad Ahmadiyah. Pantas saja
foto Mirza bisa terpampang di depan tadi. Temanku mengatakan, betapa khianatnya
Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan wadah kepada Ahmadiyah untuk tampil
dan menancapkan pengaruhnya di kampus Islam ini, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Kemudian, hadir sebagai pembicara
pertama, Maulana Abdul Basit, Sy. seseorang dari perwakilan Ahmadiyah. Dia menyampaikan
materi tentang pengimplementasian toleransi yang dimulai dari diri sendiri,
kemudian diajarkan ke seluruh penghuni rumah, didukung oleh institusi
pemerintahan, dan disokong oleh para tokoh masyarakat.
Menurutku, karena sekarang mereka
minoritas, maka mereka bersikap baik nan lembut, serta mendambakan sebuah
perdamaian dunia. Tapi, bagaimana jika seandainya mereka mayoritas? Tabiat orang
sesat adalah selalu ingin berbuat kerusakan dan keresahan. Sikap mereka saat
ini yang begitu ‘menyejukkan’ tidak lain adalah manuver mereka untuk merebut
hati masyarakat. Padahal dalam sejarahnya, Ahmadiyah diciptakan oleh Inggris
untuk memecah belah kaum Muslim di India yang waktu itu adalah jajahan Inggris.
Metode khas bangsa kafir, devide et impera. Pecah belah, lalu kuasai!
Pembicaranya berikutnya adalah Prof.
Dr. Romo Franz Magnez Suseno, SJ. Pastur ini memaparkan tentang realitas fakta
di abad ke-21 ini, bahwa dunia sedang menghadapi tantangan dari pihak yang
melakukan kekerasan atas nama agama. Menurutnya, setelah jatuhnya kekuasaan
sekuler totaliter, kaum fundamentalis menggunakan ruang kosong itu untuk
mengekspresikan sikapnya. Untuk itu, diperlukan kemampuan untuk saling menerima
dalam keberlainan. Kupikir, apa yang disampaikan pastur ini sah-sah saja,
walaupun ada beberapa poin dimana aku kontra dengan pendapatnya. Namun, itu
tidak perlu dibahas disini.
Tibalah saatnya pembicara ketiga tampil.
Narasumber yang kutunggu-tunggu. Inilah Ulil Abshar Abdalla, tokoh sentral dibalik
gerakan Islam liberal se-antero Indonesia, bahkan sampai mancanegara. Seseorang
yang pernah mendapat fatwa mati dari Forum Ulama Umat Islam (FUUI) ini, kini
berada dihadapanku.
Ulil Abshar Abdalla |
Terlintas sejenak dalam ingatan
tentang seseorang yang mirip dengannya berabad yang lalu. Abdullah bin Ubay,
yang dijuluki oleh penulis kitab-kitab sirah sebagai pemimpin para munafik di
Madinah ketika zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kata-katanya
manis, juga kelebihan lain yakni otak yang begitu encer. Namun dibalik itu
semua, betapa dia mendengki Islam dan berusaha menghancurkannya dengan
cara-cara yang penuh kemunafikkan.
Karena ini acara Ahmadiyah, Ulil memulai
penjelasannya dengan mengatakan bahwa cobaan yang dialami Ahmadiyah menyiratkan
banyak hikmah. Salah satunya, dengan cobaan-cobaan tersebut, dikatakan bahwa
Ahmadiyah makin membuka diri. Ini dibuktikan dengan adanya acara ini dan
diselenggarakan pula di dalam Universitas Islam kenamaan di Indonesia.
Mengapa banyak Muslim yang menolak
Ahamadiyah? Menurut Ulil, ini dikarenakan adanya pemahaman yang salah tentang
kemusliman. Muslim menurut Ulil ada dua definisi, yakni Muslim Minimalis dan
Muslim Maksimalis. Muslim Minimalis adalah siapapun mereka yang mengucapkan kalimat
syahadatain (saja), maka ia Muslim. Entah yang mengucapkan itu orang Sunni,
Syiah, Ahmadiyah, Yahudi, Kristen, Kejawen, dan sebagainya. This is what
Ulil believes about the true Muslim.
Sementara Muslim Maksimalis ialah ia
yang membatasi keislamannya dengan madzhab tertentu. Inilah menurut Ulil yang
menjadikan pemahaman agama begitu sempit, sehingga tidak membuka ruang-ruang
bagi sekte-sekte semacam Syiah dan Ahmadiyah untuk hidup.
Padahal, bukankah kita perlu
bermadzhab agar pemahaman kita akan agama mempunyai sandaran kepada ulama-ulama
semacam Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Ahmad bin Hanbal, juga Abu Hanifah? Empat
imam tersebut adalah orang-orang yang luar biasa dalam merumuskan berbagai
fiqih hukum Islam, sehingga mereka menjadi acuan orang-orang sepeninggalnya. Walaupun
perbedaan antarpenganut madzhab kadang menimbulkan permusuhan, namun hal itu
bisa diatasi salah satunya yantu dengan kehadiran seorang Imam. Al-Imamu
ittihadul khilafiyah, begitu bunyi kaidahnya.
Kemudian dengan tegas Ulil
mengeluarkan pernyataan, bahwa Ahmadiyah adalah bagian dari Islam. Dia bahkan
dengan begitu percaya diri mengatakan bahwa dia akan mempertanggungjawabkan apa
yang ia yakini tadi di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala di Hari Akhir
nanti.
Aku bingung bercampur kasihan
padanya. Bingung akan cara dia berpikir dan kasihan akan nasibnya di akhirat
nanti. Kenapa dia bisa begitu percaya diri dalam membela kesesatan? Memang ia
berlatar belakang akademis dan intelek, namun ia telah melacurkan
intelektualitasnya kepada Barat untuk kepentingan perutnya sendiri. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Tuathail dan Dalby (1998), Imperialisme Barat modern dilaksanakan secara
tidak langsung, salah satunya ialah secara formal (formal geopolitics),
melalui lembaga-lembaga strategis, kelompok pemikir, dan para akademisi. Gembong-gembong
liberal seperti Ulil adalah salah satu dari alat Barat untuk memecah belah
Islam di Indonesia.
Aku hanya bisa menghela nafas ketika
itu. Temanku yang duduk di sebelahku ternyata tidak tahan mendengar argumen-argumen
Ulil yang kacau, sehingga ia keluar dari auditorium ini sambil mengucap
kata-kata laknat yang ditujukan untuk Ulil. Dia benar-benar muak. Aku juga satu
rasa dengannya, namun aku lebih memilih bertahan disini, untuk menjadi ‘saksi’
atas dusta-dusta yang mereka ucapkan.
Ulil pun mengakhiri pembicaraannya. Pembicara
berikutnya pun menggantikan posisi Ulil di podium. Moderator acara memperkenalkan
sang pembicara kepada sekalian hadirin, bahwa ia adalah dosen UIN dan juga
orang Muhammadiyah. Namanya Ahmad Najib Burhani, Ph.D. Ketika ia memberi
muqadimah, ia mengatakan bahwa setelah Muhammadiyah, maka Ahmadiyah adalah ‘rumahnya’
yang kedua. Miris aku mendengarnya bahwa organisasi sehebat Muhammadiyah
dirusak dari dalam oleh salah satu anggotanya yang teracuni kerancuan akidah
ini.
Ia menyampaikan presentasinya secara
bilingual, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Salah satu yang
kutangkap dari penjelasannya, bahwa Indonesia menjadi contoh yang ideal bagi
masyarakat dunia untuk menampilkan wajah Islam yang moderat, toleran, dan penuh
kedamaian. Berbeda dengan Islam di Timur Tengah yang begitu eksklusif, ekstrem,
dan berdarah-darah. Pendapatnya persis sama dengan pendapat para pengusung
istilah ‘Islam Nusantara’ yang menempatkan asas kebangsaan lebih tinggi dari
asas ukhuwah Islam. Mereka menjadikan situasi kekacauan yang terjadi di dunia
Islam saat ini sebagai sebab, bukan akibat. Padahal, sudah menjadi rahasia umum
bahwa kaum Muslim di Timur Tengah yang dilanda kekacauan adalah karena adanya
intervensi kaum kafir penjajah Barat beserta boneka-bonekanya. Ditambah lagi
kehadiran Zionis Yahudi yang tumbuh ibarat kanker, menggerogoti dan
membinasakan.
Situasi di Indonesia yang menurut
banyak orang begitu kondusif, maka ini hanya tampak luarnya saja. Padahal,
bencana akidah dan sosial begitu melimpah di negeri ini. Betapa banyak orang
munafik yang merongrong ke-Islaman kita. Betapa hancurnya akhlak dan moral
penduduknya. Betapa bobroknya perekonomian kita. Betapa lemahnya hukum
konstitusi dalam menangani berbagai persoalan. Hukum hanya menjadi barang
pajangan yang ditampilkan dibalik etalase. Hanya orang-orang yang berkantong
tebal saja yang dapat membelinya. Orang-orang miskin? Dengan terpaksa mereka
hanya bisa meneteskan air liurnya, menatap hukum yang menjadi barang mewah di
balik etalase itu. Mau beli tak ada biaya, apalah daya?
Maka setelah Ahmad Najib Burhani,
Ph.D menyampaikan materinya, pembicara berikutnya tampil. Dia adalah seorang
intelektual muda yang mengatasnamakan NU sebagai tempatnya bernaung. Zuhairi
Misrawi, seorang lagi dari Jaringan Islam Liberal (JIL), sepak terjangnya di
media massa dan media sosial begitu massif dalam menyuarakan paham
kebebasannya. Pernah suatu ketika ia mencuit dalam twitternya, “kuperhatikan
rak buku-buku Islam, maka halal-haram yang kudapat. Kutengok rak buku-buku
Kristen, kedamaian dan cinta yang kudapat.” Pernyataan ini langsung ditanggapi
oleh Hafidz Ary, seorang aktivis Indonesia Tanpa JIL (ITJ), “mau murtad tapi
ragu..” begitu sindirnya.
Zuhairi Misrawi |
Dalam presentasinya, Zuhairi
mengemukakan pendapat bahwa identitas keberislaman itu ada tiga, Islam Sunni,
Islam Syiah, dan Islam Ahmadiyah. Pembelaannya terhadap Ahmadiyah begitu
terasa. Dia bahkan mengaku bahwa dia lebih ‘Ahmadiyah’ daripada pengikut
Ahmadiyah sendiri. Dia akui, setiap ia selesai shalat, dalam zikirnya tak lupa senantiasa
ia sampaikan shalawat kepada Mirza Ghulam Ahmad. Dia katakan, seharusnya umat
Islam (Sunni) mencontoh Ahmadiyah, karena Ahmadiyah menjadikan shalat Tahajud
sebagai shalat wajib, bukan sunnah, kacau sekali.
Kemudian, ia menyampaikan
fakta-fakta tentang Ahmadiyah dan kegiatannya penganut-penganutnya. Ia sampaikan
bahwa penganut Ahmadiyah di seluruh dunia saat ini mencapai 190 juta orang. Ahmadiyah
juga memiliki organisasi yang berhasil mengirim para mubalighnya untuk ‘berdakwah’
ke Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika. Dengan ‘cinta damai’ mereka sebarkan ‘Islam’
ke seluruh pelosok dunia.
Pembicara terakhir ialah Dr. Sir.
Iftikhar Ayaz, KBE, OBE. Seorang Pakistan yang berdomisili di London, Inggris. Dia
juga seorang penganut Ahmadiyah. Ketika mengawali pidatonya, dia mengucapkan
kalimat syahadatain dan muqadimah dalam bahasa Arab. Pengucapannya ia lagukan,
dan suaranya yang berat itu seakan memenuhi seluruh isi ruangan auditorium yang
luas dan besar. Inti dari pidatonya adalah toleransi dan perdamaian, as
always.
Toleransi. Ini adalah sebuah sikap
dan konsep yang luar biasa. Tapi ketika tema toleransi ini menjadi topik utama
yang sering dibawakan oleh para liberalis, aku merasa bahwa tema toleransi ini
telah dijadikan tameng oleh mereka untuk menyebarluaskan pahamnya yang sesat. Teringatlah
aku dengan sebuah ayat al-Qur’an yang begitu pas untuk menggambarkan mereka,
“Dan apabila dikatakan kepada
mereka, ‘janganlah berbuat kerusakan di Bumi!’ mereka menjawab, ‘sesungguhnya
kami justru adalah orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ingatlah,
sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, akan tetapi mereka tidak
menyadarinya.” (TQS.
Al-Baqarah : 11-12)
Sebagaimana yang mereka gaungkan,
bahwa mereka sedang menebarkan kedamaian dan cinta kasih untuk kemanusiaan. Tetapi
mereka tidak sadar, bahwa apa yang mereka perjuangkan sungguh membawa petaka
bagi umat manusia. Yang mereka bela mati-matian justru membawa kemurkaan Tuhan
Pencipta semesta alam. Walakin, laa yasy’uruun.. akan tetapi, mereka
tidak menyadarinya.
Manusia pada fitrahnya memang selalu
menghendaki kebaikan untuk dirinya sendiri atau orang lain. Jika ia ingin
melakukan perbaikan namun di sisi lain ia mengabaikan ketentuan Allah, maka
perbuatan yang ia lakukan adalah sia-sia belaka. Amal mereka akan terhapus
bagai pasir yang ditiup angin badai.
Standar manusia tentang mana yang
baik dan mana yang buruk selalu berubah-ubah. Banyak contoh tentang apa yang
dahulu dianggap baik tapi zaman sekarang menjadi hal yang buruk. Begitupun sebaliknya.
Berbeda dengan standar baik-buruk yang berasal dari Sang Pencipta. Standar ini
tidak pernah berubah, selalu sesuai dengan fitrah manusia, dan senantiasa
memuaskan akalnya.
Maka dari itu, jika kita hendak
melakukan perbaikan, hendaklah untuk senantiasa berpegang kepada apa-apa yang
Allah turunkan. Jika kita terlalu mendewakan akal kita, dan menganggap bahwa
syariat Allah itu tidak relevan dengan modernitas, maka itulah tandanya bahwa
penglihatan, pendengaran, dan hati kita tertutup dari rahmat Allah, dari
hidayah Allah. Sehingga kita menjadi tidak sadar bahwa ternyata kita telah
berbuat kerusakan. Walakin, laa yasy’uruun…
Itulah yang dialami oleh Ulil dan
kawan-kawannya dalam kesesatan. Usaha mereka yang begitu massif dalam
menebarkan kemungkaran pasti akan gagal, karena pada hakikatnya kebathilan itu
akan hancur. Dan tiada yang tersisa setelah itu kecuali kebenaran.
Semoga shalawat serta salam selalu
terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Yang sedang bingung gara-gara liberalis, Nicko Pandawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar