Patung Tigaraksa |
Tigaraksa adalah ibukota kabupaten Tangerang.
Jika kita ingin pergi ke pusat pemerintahan kabupaten Tangerang di Tigaraksa
dari arah Tangerang atau Cikupa, kita akan menjumpai sebuah monumen stainless
steel besar berbentuk manusia berjumlah tiga orang, yang dikelilingi frame
besar sekaligus penyangga monumen tersebut yang bernuansa ungu sebagai ciri
khas Kabupaten Tangerang. Begitu juga jika kita datang dari arah Cisoka dan
Cibadak, kita akan melewati monumen tersebut.
Monumen
itu dikenal di masyarakat dengan banyak nama. Ada yang menyebutnya Patung Tiga
Utusan, Patung Tiga Jawara, Patung Tiga Ksatria, Patung Tiga Tumenggung, dan
Patung Tigaraksa. Banyak orang yang tidak mengetahui apa makna dibalik monumen
tersebut. Padahal itu adalah monumen yang dibangun untuk mengenang tiga orang
pejuang yang berjihad melawan orang-orang kafir Belanda yang bernaung di bawah
perusahaan dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie).
Dalam
sejarah, ketiga orang itu ialah; Aria Yudanegara, Aria Wangsakara, dan Aria
Santika. Mereka adalah tiga orang Tumenggung yang berasal dari Sumedang,
ditugasi untuk memimpin sebuah wilayah di Kesultanan Banten yang mencakup
daerah Tangerang, Jasinga, dan Lebak. Oleh masyarakat, ketiga pemimpin ini dikenal
dengan sebutan Tigaraksa, yang berarti tiga tiang atau tiga pemimpin.
Ukhuwah Antar-Kesultanan di Jawa
Semenjak
Kesultanan Demak berdiri pada tahun 1482, Kesultanan yang didirikan oleh
perjuangan para Walisongo ini menggelorakan dakwah dan jihad Islam ke seluruh
pelosok Nusantara. Satu persatu daerah-daerah di Jawa yang berada pada
kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Pajajaran masuk ke dalam pelukan Islam.
Walisongo, yang merupakan tim dakwah bentukan Sultan Muhammad I dari Kesultanan
Turki Utsmani ini berhasil memanajemen dan mengatur strategi dakwah dengan amat
cemerlang. Masing-masing wali ditugaskan di tempat yang berbeda-beda, seperti
Banten, Cirebon, Demak, Surabaya, Jawa Tengah, dan sebagainya.
Apalagi
ketika Fatahillah, seorang pemuda dari Kesultanan Samudera Pasai yang berjuang
di Jawa, berhasil mengusir bangsa kafir Portugis yang hendak menganeksasi
wilayah Sunda Kelapa (Jakarta). Kekuasaan Negara Islam Demak makin kokoh di
Pulau Jawa. Wilayah Banten diserahkan kepada putra Sunan Gunung Jati,
Hasanuddin, untuk dipimpin dengan syari’at Islam. Begitu juga dengan wilayah
Sunda Kelapa, yang sudah diganti namanya menjadi Jayakarta, diserahi
kepemimpinannya kepada Fatahillah. Wilayah Cirebon tetap berada pada
kepengaturan Sunan Gunung Jati. Dan mereka semua berafiliasi kepada Kesultanan
Demak yang terpusat di Jawa Timur.
Ketika
terjadi krisis kepemimpinan akibat terbunuhnya Sunan Prawoto pada tahun 1549,
Kesultanan Demak runtuh dan derajatnya turun menjadi setingkat kadipaten.
Kepemimpinan Kesultanan Demak diambil alih oleh Jaka Tingkir, yang memindahkan
pusat kekuasaan Demak ke Pajang, sehingga berubahlah kekuasaan itu menjadi
Kesultanan Pajang. Hasanuddin yang berkuasa di Banten berinisiasi untuk
melepaskan Banten dari kekuasaan Pajang, hingga berdirilah Kesultanan Banten
pada tahun 1552. Hal yang sama juga dilakukan oleh Cirebon.
Walaupun
sudah menjadi kesultanan yang terpisah dan saling berdiri sendiri, hubungan
politik dan keagamaan antara Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon tetap
jalan. Seabad kemudian, tepatnya pada tahun 1680, Sultan Banten, Abu Nashr
Abdul Qahhar yang dikenal sebagai Sultan Haji, menjalin hubungan dengan Cirebon
dan Sumedang. Pada akhir tahun tersebut, Sultan Haji mengadakan pertemuan
dengan wakil penguasa Sumedang dan Cirebon. Dalam pertemuan itu, disepakati
kedudukan Tangerang dalam struktur pemerintahan Kesultanan Banten adalah
Kemaulanaan.
Kemaulanaan
ini mencakup wilayah Tangerang, Jasinga, dan Lebak, sebagaimana yang sudah
disebutkan di atas. Kesultanan Cirebon mengutus tiga orang Tumenggung dari
Sumedang untuk memimpin Kemaulanaan Tangerang. Mereka ialah; Aria Yudanegara,
Aria Wangsakara, dan Aria Santika. Lambat laun mereka dikenal oleh masyarakat
sebagai Tigaraksa, yang berarti Tiga Pemimpin.
Banten V.S. Belanda
Bangsa
Eropa mulai gencar datang ke Indonesia semenjak dikukuhkannya Perjanjian
Tordesillas pada tahun 1494 oleh Paus Alexander VI. Melalui perjanjian itu,
Paus memberi wewenang kepada Kerajaan Spanyol dan Portugal untuk menjajah dan
menghisap kekayaan di negeri-negeri lain. Portugal yang menjajah dunia timur,
terutama Nusantara, mendapatkan kekayaan yang berlimpah dan Portugal menjadi
pusat kekuatan ekonomi di seluruh Eropa. Hal ini membuat kerajaan-kerajaan lain
di seluruh Eropa juga berniat untuk mencari kekayaan di Nusantara.
Cornelis de Houtman |
Orang
Belanda yang pertama kali datang ke Nusantara adalah Cornelis de Houtman
beserta anak buahnya. Mereka menjejakkan kakinya di Pelabuhan Banten yang saat
itu menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara pada 23 Juni 1596. Setelah dia,
kedatangan orang-orang Belanda di Nusantara makin intensif. Tercatat pada tahun
1598 saja ada 22 kapal milik perorangan dan perserikatan dagang dari Belanda
menuju Nusantara. Bahkan pada tahun 1602 ada 65 kapal yang kembali dari
kepulauan Indonesia dengan muatan penuh.
Keserakahan
mulai menggerogoti bangsa Belanda. Mereka sudah tidak murni lagi ingin
berdagang, bahkan mereka mulai membawa pasukan. Akhirnya VOC Belanda dibawah
pimpinan Jan Pieterzoon Coen menguasai kota Jayakarta pada 30 Mei 1619 dan
mengubah nama kota Jayakarta menjadi Batavia, sebagai peringatan kepada leluhur
bangsa Belanda, Bataaf.
Jatuhnya
Jayakarta ke tangan VOC ini berhasil merubah Jayakarta/Batavia menjadi sebuah
sarang musuh yang berbahaya bagi kesultanan-kesultanan di Nusantara, ibarat
seperti duri dalam daging. Sultan Agung dari Kesultanan Mataram berusaha
mengusir orang-orang kafir Belanda, namun belum mencapai kesuksesan sampai
wafatnya. Tragisnya, anak Sultan Agung sendiri, Amangkurat I, malah berkhianat
dan menjalin persahabatan yang sangat erat kepada VOC Belanda. Ketika VOC sudah
berhasil menjinakkan Mataram, maka ancaman satu-satunya bagi VOC di Pulau Jawa
ialah Kesultanan Banten.
Banten
saat itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Beliau berhasil membangun Banten
menjadi negara yang kuat serta kaya. Islamisasi berkembang pesat pada masanya,
ditambah lagi dengan kehadiran seorang ‘ulama sekaligus mujahid besar, Syaikh
Yusuf al-Maqassari.
Syaikh Yusuf al-Maqassari |
Sultan
Ageng mempunyai dua putra mahkota, yakni Sultan Abu Nashr Abdul Qahhar/Sultan
Haji dan Pangeran Purbaya. Setelah memerintah Banten dengan gemilang selama
sepuluh tahun, Sultan Ageng berusaha menyiapkan anaknya, Sultan Haji, untuk
menjadi pengganti dirinya. Sultan Haji diberikan jabatan sebagai sultan muda.
Tetapi, melihat pergaulan Sultan Haji yang cukup akrab dengan orang-orang
Belanda membuat kredibiltas Sultan Haji turun di mata rakyat. Apalagi setelah
melihat kenyataan bahwa adik Sultan Haji, Pangeran Purbaya, lebih saleh dan
cakap dalam urusan negara. Orang-orang Belanda menghasut Sultan Haji dengan
mengatakan bahwa kekuasaannya akan dikhianati oleh ayah dan adiknya sendiri.
Sultan Haji terpedaya dan akhinya terjerumus ke dalam kubangan lumpur yang
dibuat VOC.
Pada
1 Maret 1680, Sultan Haji dengan bantuan VOC mengkudeta Sultan Ageng Tirtayasa
sebagai pemimpin tertinggi Kesultanan Banten. Rakyat Banten yang dipimpin oleh
para ‘ulama marah dan protes besar, melihat Sultan yang mereka cintai
diturunkan paksa oleh anak sultan yang bersekongkol dengan kafir Belanda.
Perlawanan pun berkobar. Kaum Muslimin dipimpin Sultan Ageng Tirtayasa dan
Syaikh Yusuf al-Maqassari mengobarkan jihad melawan kezaliman yang didalangi
oleh VOC.
Para Tigaraksa -Aria Yudanegara, Aria
Wangsakerta, dan Aria Santika- walau mereka dulu dilantik oleh Sultan Haji
untuk menjadi Tumenggung di wilayah Tangerang, namun mereka membelot dari kubu
Sultan Haji yang bersekongkol dengan VOC dan memilih ikut berjuang bersama kaum
Muslim pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa dan Syaikh Yusuf al-Maqassari.
Setelah
bertahun-tahun pertempuran berjalan, angin kemenangan berpihak kepada kubu
Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap pada Maret 1683 dan dikurung
di Batavia sampai wafatnya di tahun 1695. Syaikh Yusuf al-Maqassari juga
ditangkap dan dibuang ke Srilangka, lalu dipindahkan ke Afrika Selatan sampai
wafat di sana.
Tujuh
tahun (1680-1687) Sultan Haji berkuasa sebagai pucuk pimpinan Banten. Namun
selama tujuh tahun kepemimpinannya ia memposisikan dirnya sebagai antek
Belanda. Ia menjadi anjing yang setia kepada tuannya dengan mengorbankan
keluarga dan rakyatnya sendiri. Sepeninggal Sultan Haji, jabatan ‘sultan’ di
Banten tinggallah sekedar penguasa boneka. Mereka senantiasa patuh akan segala
perintah dari Batavia.
Ilustrasi Perang Banten pada 1682. |
Walaupun
kenyataan begitu pahit, para Tigaraksa tetap tak goyah imannya. Mereka
senantiasa mengobarkan semangat jihad dan gigih bertempur melawan orang-orang
kafir. Pertempuran berdarah selalu mereka lancarkan, demi terbebasnya tanah
amanat Allah, Banten, dari kuku cengkeraman kafir Belanda. Pada tahun 1717,
para Tigaraksa beserta rakyat Tangerang bertempur dengan Belanda di Kebon
Besar. Pada pertempuran ini, salah satu dari Tigaraksa, yakni Aria Santika,
syahid dalam berjihad.
Setahun
kemudian, 1718, pertempuran kembali pecah di Cikokol. Kali ini Aria Yudanegara
gugur, meninggalkan senyum di wajahnya dan berpulang ke sisi Allah. Jasadnya
dimakamkan di Desa Sangiang, Tangerang.
Tak
kenal lelah, satu-satunya Tigaraksa yang tersisa, yakni Aria Wangsakara, tetap
meneruskan perjuangan sahabat-sahabat yang sudah mendahului dirinya. Dua tahun kemudian,
Aria Wangsakara syahid dalam sebuah pertempuran di Ciledug. Jasadnya dimakamkan
di Desa Lengkong, Tangerang. Berakhirlah riwayat para Tigaraksa, ikhlas dan
rela untuk menumpahkan darahnya demi mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Setelah
Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda, Pemerintah Kabupaten Tangerang
menamakan jalan-jalan besar di Balaraja, Tangerang, menggunakan beberapa nama
para Tigaraksa, seperti Jln. Raya Aria Jaya Santika dan Jln. Aria Wangsakara. Dibangun
pula sebuah monumen di ujung jalan yang menuju ke pusat pemerintahan Kabupaten
Tangerang untuk mengenang tiga pahlawan itu.
Tangerang, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, selama ini hanya dikenal sebagai Industry City semata. Namun lebih dari itu, Tangerang mempunyai sejarah yang luar biasa. Ia menjadi tanah tumpah darah bagi para mujahid Islam yang berjuang untuk membebaskan tanah ini dari penjajahan kekuatan kufur Belanda. Selain itu, nama Tangerang sendiri berasal dari kata 'Tengger' yang berarti perang. Maka, tak berlebihan jika Tangerang disebut juga sebagai medan peperangan, tanah jihad, sebagaimana Yarmuk di Jordan, Ain Jalut di Syam, Konstantinopel di Turki, Sunda Kelapa di Jakarta, dan yang lainnya. Maka tanah ini adalah tanah wakaf para mujahiddin Banten yang membayar tanah ini dengan darah dan air mata.
Rahimakumullah, Yaa Mujahiddin Bantam...
***
Daftar Bacaan
Abdullah, Rachmad, Wali Songo; Gelora
Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa (1404-1482), Al-Wafi, Solo, 2015.
Djaelani, Abdul Qadir, Perang Sabil
Versus Perang Salib, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah,
Jakarta, 1999.
Kusnandar, Mas Iman, Rekam Jejak H.
Ismet Iskandar, Tangerang, 2015.
Triana, Ovi Hanif, Proses Islamisasi di
Banten; Cuplikan Buku Catatan Masa Lalu Banten, Dinas Pendidikan Provinsi
Banten, tanpa tahun.
Terima kasih postingannya sangat bermanfaat.
BalasHapusHatur nuhun atas info nya,kalau boleh terangkanlah silsilah dari Aria Yuda Negara,atas segala info nya saya ucapkan banyak terima kasih.
BalasHapusTengger merupakan singkatan dari kata teng dari asal kata anteng dan ger dari kata seger. Anteng mengandung arti ‘sifat tidak banyak tingkah’, dan ‘tidak mudah terusik’.
BalasHapus