My Teritory

Rabu, 11 Mei 2016

Tigaraksa, Tiga Mujahiddin

Patung Tigaraksa

Tigaraksa adalah ibukota kabupaten Tangerang. Jika kita ingin pergi ke pusat pemerintahan kabupaten Tangerang di Tigaraksa dari arah Tangerang atau Cikupa, kita akan menjumpai sebuah monumen stainless steel besar berbentuk manusia berjumlah tiga orang, yang dikelilingi frame besar sekaligus penyangga monumen tersebut yang bernuansa ungu sebagai ciri khas Kabupaten Tangerang. Begitu juga jika kita datang dari arah Cisoka dan Cibadak, kita akan melewati monumen tersebut.

            Monumen itu dikenal di masyarakat dengan banyak nama. Ada yang menyebutnya Patung Tiga Utusan, Patung Tiga Jawara, Patung Tiga Ksatria, Patung Tiga Tumenggung, dan Patung Tigaraksa. Banyak orang yang tidak mengetahui apa makna dibalik monumen tersebut. Padahal itu adalah monumen yang dibangun untuk mengenang tiga orang pejuang yang berjihad melawan orang-orang kafir Belanda yang bernaung di bawah perusahaan dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie).

            Dalam sejarah, ketiga orang itu ialah; Aria Yudanegara, Aria Wangsakara, dan Aria Santika. Mereka adalah tiga orang Tumenggung yang berasal dari Sumedang, ditugasi untuk memimpin sebuah wilayah di Kesultanan Banten yang mencakup daerah Tangerang, Jasinga, dan Lebak. Oleh masyarakat, ketiga pemimpin ini dikenal dengan sebutan Tigaraksa, yang berarti tiga tiang atau tiga pemimpin.


Ukhuwah Antar-Kesultanan di Jawa

      Semenjak Kesultanan Demak berdiri pada tahun 1482, Kesultanan yang didirikan oleh perjuangan para Walisongo ini menggelorakan dakwah dan jihad Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Satu persatu daerah-daerah di Jawa yang berada pada kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Pajajaran masuk ke dalam pelukan Islam. Walisongo, yang merupakan tim dakwah bentukan Sultan Muhammad I dari Kesultanan Turki Utsmani ini berhasil memanajemen dan mengatur strategi dakwah dengan amat cemerlang. Masing-masing wali ditugaskan di tempat yang berbeda-beda, seperti Banten, Cirebon, Demak, Surabaya, Jawa Tengah, dan sebagainya.

       Apalagi ketika Fatahillah, seorang pemuda dari Kesultanan Samudera Pasai yang berjuang di Jawa, berhasil mengusir bangsa kafir Portugis yang hendak menganeksasi wilayah Sunda Kelapa (Jakarta). Kekuasaan Negara Islam Demak makin kokoh di Pulau Jawa. Wilayah Banten diserahkan kepada putra Sunan Gunung Jati, Hasanuddin, untuk dipimpin dengan syari’at Islam. Begitu juga dengan wilayah Sunda Kelapa, yang sudah diganti namanya menjadi Jayakarta, diserahi kepemimpinannya kepada Fatahillah. Wilayah Cirebon tetap berada pada kepengaturan Sunan Gunung Jati. Dan mereka semua berafiliasi kepada Kesultanan Demak yang terpusat di Jawa Timur.

     Ketika terjadi krisis kepemimpinan akibat terbunuhnya Sunan Prawoto pada tahun 1549, Kesultanan Demak runtuh dan derajatnya turun menjadi setingkat kadipaten. Kepemimpinan Kesultanan Demak diambil alih oleh Jaka Tingkir, yang memindahkan pusat kekuasaan Demak ke Pajang, sehingga berubahlah kekuasaan itu menjadi Kesultanan Pajang. Hasanuddin yang berkuasa di Banten berinisiasi untuk melepaskan Banten dari kekuasaan Pajang, hingga berdirilah Kesultanan Banten pada tahun 1552. Hal yang sama juga dilakukan oleh Cirebon.

       Walaupun sudah menjadi kesultanan yang terpisah dan saling berdiri sendiri, hubungan politik dan keagamaan antara Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon tetap jalan. Seabad kemudian, tepatnya pada tahun 1680, Sultan Banten, Abu Nashr Abdul Qahhar yang dikenal sebagai Sultan Haji, menjalin hubungan dengan Cirebon dan Sumedang. Pada akhir tahun tersebut, Sultan Haji mengadakan pertemuan dengan wakil penguasa Sumedang dan Cirebon. Dalam pertemuan itu, disepakati kedudukan Tangerang dalam struktur pemerintahan Kesultanan Banten adalah Kemaulanaan.

       Kemaulanaan ini mencakup wilayah Tangerang, Jasinga, dan Lebak, sebagaimana yang sudah disebutkan di atas. Kesultanan Cirebon mengutus tiga orang Tumenggung dari Sumedang untuk memimpin Kemaulanaan Tangerang. Mereka ialah; Aria Yudanegara, Aria Wangsakara, dan Aria Santika. Lambat laun mereka dikenal oleh masyarakat sebagai Tigaraksa, yang berarti Tiga Pemimpin.

           
Banten V.S. Belanda

        Bangsa Eropa mulai gencar datang ke Indonesia semenjak dikukuhkannya Perjanjian Tordesillas pada tahun 1494 oleh Paus Alexander VI. Melalui perjanjian itu, Paus memberi wewenang kepada Kerajaan Spanyol dan Portugal untuk menjajah dan menghisap kekayaan di negeri-negeri lain. Portugal yang menjajah dunia timur, terutama Nusantara, mendapatkan kekayaan yang berlimpah dan Portugal menjadi pusat kekuatan ekonomi di seluruh Eropa. Hal ini membuat kerajaan-kerajaan lain di seluruh Eropa juga berniat untuk mencari kekayaan di Nusantara.

Cornelis de Houtman
     Orang Belanda yang pertama kali datang ke Nusantara adalah Cornelis de Houtman beserta anak buahnya. Mereka menjejakkan kakinya di Pelabuhan Banten yang saat itu menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara pada 23 Juni 1596. Setelah dia, kedatangan orang-orang Belanda di Nusantara makin intensif. Tercatat pada tahun 1598 saja ada 22 kapal milik perorangan dan perserikatan dagang dari Belanda menuju Nusantara. Bahkan pada tahun 1602 ada 65 kapal yang kembali dari kepulauan Indonesia dengan muatan penuh.

        Keserakahan mulai menggerogoti bangsa Belanda. Mereka sudah tidak murni lagi ingin berdagang, bahkan mereka mulai membawa pasukan. Akhirnya VOC Belanda dibawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen menguasai kota Jayakarta pada 30 Mei 1619 dan mengubah nama kota Jayakarta menjadi Batavia, sebagai peringatan kepada leluhur bangsa Belanda, Bataaf.

      Jatuhnya Jayakarta ke tangan VOC ini berhasil merubah Jayakarta/Batavia menjadi sebuah sarang musuh yang berbahaya bagi kesultanan-kesultanan di Nusantara, ibarat seperti duri dalam daging. Sultan Agung dari Kesultanan Mataram berusaha mengusir orang-orang kafir Belanda, namun belum mencapai kesuksesan sampai wafatnya. Tragisnya, anak Sultan Agung sendiri, Amangkurat I, malah berkhianat dan menjalin persahabatan yang sangat erat kepada VOC Belanda. Ketika VOC sudah berhasil menjinakkan Mataram, maka ancaman satu-satunya bagi VOC di Pulau Jawa ialah Kesultanan Banten.

      Banten saat itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Beliau berhasil membangun Banten menjadi negara yang kuat serta kaya. Islamisasi berkembang pesat pada masanya, ditambah lagi dengan kehadiran seorang ‘ulama sekaligus mujahid besar, Syaikh Yusuf al-Maqassari.

Syaikh Yusuf al-Maqassari
       Sultan Ageng mempunyai dua putra mahkota, yakni Sultan Abu Nashr Abdul Qahhar/Sultan Haji dan Pangeran Purbaya. Setelah memerintah Banten dengan gemilang selama sepuluh tahun, Sultan Ageng berusaha menyiapkan anaknya, Sultan Haji, untuk menjadi pengganti dirinya. Sultan Haji diberikan jabatan sebagai sultan muda. Tetapi, melihat pergaulan Sultan Haji yang cukup akrab dengan orang-orang Belanda membuat kredibiltas Sultan Haji turun di mata rakyat. Apalagi setelah melihat kenyataan bahwa adik Sultan Haji, Pangeran Purbaya, lebih saleh dan cakap dalam urusan negara. Orang-orang Belanda menghasut Sultan Haji dengan mengatakan bahwa kekuasaannya akan dikhianati oleh ayah dan adiknya sendiri. Sultan Haji terpedaya dan akhinya terjerumus ke dalam kubangan lumpur yang dibuat VOC.

     Pada 1 Maret 1680, Sultan Haji dengan bantuan VOC mengkudeta Sultan Ageng Tirtayasa sebagai pemimpin tertinggi Kesultanan Banten. Rakyat Banten yang dipimpin oleh para ‘ulama marah dan protes besar, melihat Sultan yang mereka cintai diturunkan paksa oleh anak sultan yang bersekongkol dengan kafir Belanda. Perlawanan pun berkobar. Kaum Muslimin dipimpin Sultan Ageng Tirtayasa dan Syaikh Yusuf al-Maqassari mengobarkan jihad melawan kezaliman yang didalangi oleh VOC.

     Para Tigaraksa -Aria Yudanegara, Aria Wangsakerta, dan Aria Santika- walau mereka dulu dilantik oleh Sultan Haji untuk menjadi Tumenggung di wilayah Tangerang, namun mereka membelot dari kubu Sultan Haji yang bersekongkol dengan VOC dan memilih ikut berjuang bersama kaum Muslim pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa dan Syaikh Yusuf al-Maqassari.

       Setelah bertahun-tahun pertempuran berjalan, angin kemenangan berpihak kepada kubu Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap pada Maret 1683 dan dikurung di Batavia sampai wafatnya di tahun 1695. Syaikh Yusuf al-Maqassari juga ditangkap dan dibuang ke Srilangka, lalu dipindahkan ke Afrika Selatan sampai wafat di sana.

          Tujuh tahun (1680-1687) Sultan Haji berkuasa sebagai pucuk pimpinan Banten. Namun selama tujuh tahun kepemimpinannya ia memposisikan dirnya sebagai antek Belanda. Ia menjadi anjing yang setia kepada tuannya dengan mengorbankan keluarga dan rakyatnya sendiri. Sepeninggal Sultan Haji, jabatan ‘sultan’ di Banten tinggallah sekedar penguasa boneka. Mereka senantiasa patuh akan segala perintah dari Batavia.

Ilustrasi Perang Banten pada 1682.
       Walaupun kenyataan begitu pahit, para Tigaraksa tetap tak goyah imannya. Mereka senantiasa mengobarkan semangat jihad dan gigih bertempur melawan orang-orang kafir. Pertempuran berdarah selalu mereka lancarkan, demi terbebasnya tanah amanat Allah, Banten, dari kuku cengkeraman kafir Belanda. Pada tahun 1717, para Tigaraksa beserta rakyat Tangerang bertempur dengan Belanda di Kebon Besar. Pada pertempuran ini, salah satu dari Tigaraksa, yakni Aria Santika, syahid dalam berjihad.

     Setahun kemudian, 1718, pertempuran kembali pecah di Cikokol. Kali ini Aria Yudanegara gugur, meninggalkan senyum di wajahnya dan berpulang ke sisi Allah. Jasadnya dimakamkan di Desa Sangiang, Tangerang.

      Tak kenal lelah, satu-satunya Tigaraksa yang tersisa, yakni Aria Wangsakara, tetap meneruskan perjuangan sahabat-sahabat yang sudah mendahului dirinya. Dua tahun kemudian, Aria Wangsakara syahid dalam sebuah pertempuran di Ciledug. Jasadnya dimakamkan di Desa Lengkong, Tangerang. Berakhirlah riwayat para Tigaraksa, ikhlas dan rela untuk menumpahkan darahnya demi mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

    Setelah Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda, Pemerintah Kabupaten Tangerang menamakan jalan-jalan besar di Balaraja, Tangerang, menggunakan beberapa nama para Tigaraksa, seperti Jln. Raya Aria Jaya Santika dan Jln. Aria Wangsakara. Dibangun pula sebuah monumen di ujung jalan yang menuju ke pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang untuk mengenang tiga pahlawan itu. 

         Tangerang, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, selama ini hanya dikenal sebagai Industry City semata. Namun lebih dari itu, Tangerang mempunyai sejarah yang luar biasa. Ia menjadi tanah tumpah darah bagi para mujahid Islam yang berjuang untuk membebaskan tanah ini dari penjajahan kekuatan kufur Belanda. Selain itu, nama Tangerang sendiri berasal dari kata 'Tengger' yang berarti perang. Maka, tak berlebihan jika Tangerang disebut juga sebagai medan peperangan, tanah jihad, sebagaimana Yarmuk di Jordan, Ain Jalut di Syam, Konstantinopel di Turki, Sunda Kelapa di Jakarta, dan yang lainnya. Maka tanah ini adalah tanah wakaf para mujahiddin Banten yang membayar tanah ini dengan darah dan air mata.

Rahimakumullah, Yaa Mujahiddin Bantam...




***

Daftar Bacaan


Abdullah, Rachmad, Wali Songo; Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa (1404-1482), Al-Wafi, Solo, 2015.

Djaelani, Abdul Qadir, Perang Sabil Versus Perang Salib, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah, Jakarta, 1999.

Kusnandar, Mas Iman, Rekam Jejak H. Ismet Iskandar, Tangerang, 2015.

Triana, Ovi Hanif, Proses Islamisasi di Banten; Cuplikan Buku Catatan Masa Lalu Banten, Dinas Pendidikan Provinsi Banten, tanpa tahun.

3 komentar:

  1. Terima kasih postingannya sangat bermanfaat.

    BalasHapus
  2. Hatur nuhun atas info nya,kalau boleh terangkanlah silsilah dari Aria Yuda Negara,atas segala info nya saya ucapkan banyak terima kasih.

    BalasHapus
  3. Tengger merupakan singkatan dari kata teng dari asal kata anteng dan ger dari kata seger. Anteng mengandung arti ‘sifat tidak banyak tingkah’, dan ‘tidak mudah terusik’.

    BalasHapus