Ust. Syahrie (kanan) bersama Habib Munzir al-Musawa (kiri), rahimahumallah |
Kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok mendapat reaksi yang beragam. Ada yang marah, ada yang biasa saja, bahkan ada yang membela. Namun, bagi seseorang yang mewakafkan dirinya untuk agama Islam sejak lama, penistaan yang Ahok lakukan terhadap al-Qur'an membuat ghirah dan kemarahannya memuncak. Hal itulah yang dirasakan oleh Ust. Syahrie Oemar Yunan (Oye) bin Umar, seorang sesepuh dan tokoh agama di komplek perumahanku, Binong Permai.
Sebenarnya, sudah semenjak lama beliau menolak keberadaan seorang pemimpin yang tak satu akidah dengannya. Penolakannya terhadap pemimpin kafir bukan berarti beliau anti-nonmuslim, bukan. Menurut penuturan istrinya, Ibu Hermalina, beliau senantiasa lembut dan tidak sungkan menolong siapapun, termasuk kepada orang nonmuslim. Hanya saja dalam masalah kepemimpinan, beliau menegaskan pendiriannya, kaum Muslim haram dipimpin orang kafir! Walaupun Ust. Syahrie Oye tinggal di Binong Permai, Tangerang, tidak membuat kepeduliannya sirna akan nasib penduduk Jakarta yang dipimpin Ahok yang kafir. Ia senantiasa tegas menyerukan sikapnya akan keharaman pemimpin kafir.
Sampai pada puncaknya pemimpin kafir tersebut, dengan seragam dinas, secara terang benderang menistakan al-Qur'an dan para ulama. Meledaklah amarah kaum Muslim yang benar imannya, termasuk Ust. Syahrie Oye. Terlebih lagi proses hukum yang dilakukan pihak kepolisian amat sangat lamban, juga sikap Jokowi yang terkesan melindungi Ahok. Siapa yang tidak mendidih amarah dan ghirahnya?
Ketika gaung panggilan demonstrasi besar-besaran di tanggal 4 November, beliau amat sangat sukacita menyambut seruan itu. Walaupun usianya sudah menua, 65 tahun, faktor tua nan renta bukanlah halangan baginya untuk turun ke jalan membela Islam.
Pikiranku terbang menuju masa lalu, jauh menembus tempat dan waktu, melintasi berbagai peristiwa bersejarah, sampai pikiranku sampai kepada sosok sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Abu Ayyub al-Anshari. Sahabat yang pernah menyediakan tempat tinggal kepada Rasulullah sewaktu proyek pembangunan Masjid Nabawi tengah berlangsung. Ketika masa Bani Umayyah di bawah Yazid bin Muawiyah, Yazid menyerukan jihad untuk menaklukkan Konstantinopel, sebuah kota yang dijanjikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam akan takluk di tangan kaum Muslim. Saat itu, usia Abu Ayyub tak lagi muda. Kulitnya telah keriput, rambutnya memutih, dan tenaga sudah tak seperkasa dulu. Namun, fisik boleh lemah, tapi satu yang tak boleh turun; Semangat Jihad!
Maka Abu Ayyub al-Anshari mendesak Yazid sang Khalifah agar mengikutsertakan dirinya dengan pasukan ekspedisi jihad menuju Konstantinopel. Tentu saja Yazid menolak. Bukan meragukan keimanan sang sahabat Nabi ini, tapi kasihan karena Abu Ayyub sendiri telah tua. Abu Ayyub terus memaksa, sampai akhirnya luluh hati Yazid. Ditanyalah sahabat Nabi yang tua renta itu, apa alasannya bersikeras untuk ikut berjihad? Dijawablah oleh Abu Ayyub dengan ayat, "Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah."
Kisah menakjubkan Abu Ayyub al-Anshari itulah yang langsung teringat di kepalaku ketika mendengar cerita Ibu Hermalina, istri dari Ust. Syahrie Oye, tadi sore. Ibunda menceritakan, ketika mendengar panggilan jihad untuk menuntut Ahok Si Kafir penista agama pada 4 November, Ust. Syahrie Oye begitu antusias. Dari jauh-jauh hari beliau menyiapkan perbekalan dan pakaian untuk nanti turun aksi ke Jakarta. Bahkan saking semangatnya, beliau mencuci dan menyetrika sendiri beberapa pakaian putih untuk dresscode ketika aksi yang akan datang. Selaku tokoh masyarakat, beliau juga berusaha mengajak sebanyak mungkin warga untuk turut serta mengikuti Aksi Bela Islam 4 November. Namun, dari sekian banyak yang beliau ajak, hanya tiga orang yang bersedia menuruti ajakannya.
Anak-anak Ust. Syahrie Oye merasa ayahnya tidak perlu ikut Aksi Bela Islam 4 November, karena dirinya mempunyai udzur sudah tua. Anak-anaknya membujuk agar Ust. Syahrie Oye tidak usah ikut. Namun semangat jihad membela Islam sudah membuncah-buncah keluar dari jiwa Ust. Syahrie Oye. Akhirnya, beliau tidak menghiraukan bujukan anak-anaknya dan tetap pergi berjihad ke Jakarta. Bahkan beliau sendiri yang menyetir mobil.
Aku sendiri mengikuti Aksi Bela Islam 4 November kemarin. Kurasakan betapa momen tersebut sangat mengharukan dan menggembirakan. Sekitar 2,3 juta kaum Muslim dari berbagai daerah di Indonesia datang berbondong-bondong ke Jakarta untuk satu tujuan: Tangkap Ahok. Mereka shalat, bertakbir, dan bersalawat bareng, menggetarkan langit Jakarta dengan kalimatul haq. Demonstrasi berjalan damai, sejuk, dan terkendali. Melihat kemaslahatan dan kondisi, aku dan teman-teman rombongan memutuskan pulang jam 16.30 WIB. Kami mengantri tiket commuter line dan kemudian naik kereta.
Sambil diperjalanan, aku melihat-lihat perkembangan berita tentang Aksi Bela Islam tadi. Tiba-tiba hatiku bergetar. Ternyata dari sebelum Jum'atan Jokowi sudah pergi dari Istana? Aku baru tahu tentang itu di kereta karena selama demonstrasi tadi benar-benar tidak ada sinyal. Hatiku berdegup makin kencang setelah mengetahui bahwa demonstrasi menjadi ricuh. Provokator mulai beraksi. Para polisi mulai menembakkan gas air mata ke arah para demonstan yang terdiri dari ulama, habaib, santri, mahasiswa, dll. Yang lebih perih lagi ketika aku mendengar bahwa korban mulai berjatuhan.
Kuikuti terus perkembangan informasi, sampai akhirnya kuketahui bahwa satu korban yang meninggal itu adalah Ust. Syahrie Oye, seorang tokoh agama di komplek perumahanku. Rumahnya dekat dengan SD-ku dahulu, SD Binong Permai. Maka bersama teman-teman GEMA Pembebasan, aku berangkat melayat ke kediaman almarhum.
Sesampai disana, kami disambut oleh keluarga dan para tetangga yang ditinggal wafat Ust. Syahrie Oye. Istri almarhum, Ibunda Hermalina, walaupun matanya masih memerah bekas tangisan, tapi wajahnya begitu tenang dan tegar. Beliau katakan, "Ibu tuh sedih-sedih tapi bahagia." Kemudian salah seorang anaknya menyampaikan kepada kami bahwa almarhum Ust. Syahrie Oye wafat memang karena gas air mata, bukan karena asmanya kambuh. Ust. Syahrie Oye tidak mempunyai riwayat penyakit asma sebagaimana yang diberitakan media. Adapun penyakit bawaannya adalah maag, bukan asma. Dan ketika demonstrasi berlangsung ricuh, pekatnya asap gas air mata membuat beliau sangat lemas dan pingsan, sampai ketika dibawa ke RS Gatot Subroto, beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un..
Persis seperti Abu Ayyub al-Anshari, beliau syahid dalam keadaan berjihad dengan fisik yang renta. Hanya beliau yang mati syahid di antara 2,3 juta kaum Muslim yang turun ke jalan pada hari itu, 4 November. Insya Allah, beliau akan berada di sisi Allah dalam keadaan diridhai dan satu barisan bersama Hamzah bin Abdul Muthallib, sayyidusy syuhada. Kematian Ust. Syahrie Oye bin Umar akan menjadi lecutan bagi umat Islam, khususnya kaum muda, untuk lebih garang lagi membela Islam dan berjihad untuk melanjutkan kehidupan Islam. Yang tua saja turun, masa yang muda duduk-duduk?
Namun, semua ini tidak akan terjadi andaikan pemerintah bersikap tegas kepada si kafir penista agama, Ahok. Proses hukum yang sengaja dilambatkan dan bertele-tele memicu kemarahan ummat meledak pada 4 November. Sistem demokrasi yang senantiasa digaungkan oleh pemerintah telah terbukti tidak ada untuk Islam dan kaum Muslim. Demokrasi hanya ada untuk para kapitalis yang mengendalikan negeri ini dengan bonekanya, Jokowi. Mungkin Ummat Islam saat ini diperlakukan tidak adil. Tapi nanti di pengadilan Allah di Akhirat, para penguasa kafir dan durjana tidak akan bisa lari kemana-mana!
Allahummanshurna alal qaumil Kafirin![]
Di makam sang syuhada aksi 411, Ust. Syahrie rahimahullah |
Makam sang syuhada aksi 411 |
Musholla pimpinan Ust. Syahrie Oye di Binong Permai Blok F, Musholla Bina Insani |
GEMA Pembebasan bertakziyah ke rumah keluarga Ust. Syahrie Oye rahimahullah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar