Bagaimana
rasanya ketika sesuatu yang sudah diyakini mapan kedudukannya tiba-tiba hancur
oleh kekuatan yang tak terduga? Terjebak dalam dilema, namun tentu saja harus
dicari pemecahannya. Itulah yang dirasakan oleh kaum Muslim sedunia tatkala
Khilafah, institusi negara yang diwariskan oleh Nabi mereka, lenyap.
Ketika
Khilafah Utsmaniyyah yang menjadi objek kaum Muslimin untuk menyerahkan
bai’atnya dihancurkan oleh penjajah pada 1924, tidak hanya Muslim Turki yang
terperanjat, namun juga Muslim di berbagai belahan bumi lain, salah satunya
adalah seorang ulama muda Mesir yang sedang menyelesaikan studinya di Prancis,
Abdurrazzaq as-Sanhuri.
Dalam tesis
doktoralnya di University of Lyon, Fiqh al-Khilafah, as-Sanhuri
menyadari bahwa kejatuhan Khilafah Utsmani pada 1924 seolah mengulangi
kejatuhan Khilafah Abbasiyyah pada 1258 oleh Mongol. Untuk kedua kalinya dalam
sejarah Islam, as-Sanhuri katakan, seorang Muslim seperti dirinya tidak lagi
memiliki Khalifah yang akan mengurus umat Islam, walaupun hanya sekedar
simbolis. Karena itu, dia rasa, isu ini menjadi isu terpenting yang harus
dipecahkan pada zamannya.
Khilafah
adalah institusi kaum Muslimin yang sudah berjalan berabad-abad dan mempunyai
legalitas yang kuat dalam hukum Islam. Kedua fragmen sejarah kejatuhan Khilafah
yang penuh pilu pada 1258 dan tujuh abad kemudian di 1924 ini memancing reaksi
yang penuh emosional di kalangan kaum Muslim. Bagaimana mereka menyelesaikan
problema ini?
Merekam
Sejarah Mentalitas Tentang Khilafah
Komparasi
peristiwa kejatuhan Khilafah pada 1258 dan 1924 ini dijadikan sebagai tema disertasi
oleh Mona Hassan, berjudul Longing for the Lost Caliphate: A Transregional
History, dan diterbitkan oleh Princeton University Press pada tahun 2016.
Dengan
merujuk kepada 753 referensi yang terdiri dari buku, kitab, jurnal, sumber daring,
dan manuskrip berbahasa Arab, Persia, Turki Utsmani, Turki Modern, Inggris, dan
Prancis, serta dokumen resmi dan artikel koran yang tersebar di berbagai
negara, Mona Hassan yang merupakan Associate Professor of Islamic Studies
and History di Duke University ini mencoba untuk menjawab dua pertanyaan:
Apa yang kaum Muslim bayangkan pada masing-masing masanya terkait kehancuran
Khilafah Abbasiyyah pada 1258 dan Khilafah Utsmani pada 1924, serta bagaimana
usaha mereka untuk merekonstruksi kembali Khilafah dalam situasi yang tak
terbayangkan itu.
Ketimbang
menjelaskan sabab-musabab kedua peristiwa tersebut sebagai hasil sepak terjang
Mongol di bawah Hulegü Khan dan Majelis Nasional Turki pimpinan Kemal Attaturk,
Mona Hassan yang menyabet penghargaan American Academy of Religion’s 2017
Award untuk kategori Historical Studies atas bukunya ini lebih fokus
untuk melihat bagaimana respon kaum Muslim sedunia setelah Khilafah hancur.
Respon atas kehilangan ini diekspresikan lewat ijtihad hukum, kronik sejarah,
khutbah, artikel koran, puisi, bahkan musik oleh berbagai kalangan kaum Muslim,
entah itu fuqaha, mufasir, ahli hadis, sejarawan, musisi, penyair, intelektual,
birokrat, aktivis, dan jurnalis.
Inilah yang
disebut Kuntowijoyo sebagai Sejarah Mentalitas, yakni sejarah yang menyajikan
perkembangan pemikiran kolektif suatu kaum akan suatu hal dalam durasi yang
panjang (longue durée). Kedua peristiwa kejatuhan Khilafah pada 1258 dan
1924 terjadi di dua masa yang berbeda, dua tempat yang berbeda (Baghdad dan
Istanbul), namun tetap menjadi isu prestisius yang tak dikekang oleh tempat dan
waktu. Dalam kasus Abbasiyah pada abad ke-13, respon akan keruntuhannya muncul
dari Spanyol sampai India, terlepas dari banyaknya wilayah yang independen dari
otoritas Khalifah sebagai penguasa politik; atau di bawah kekuasaan penjajah
asing, seperti wilayah Eropa Tenggara, Afrika Utara, Asia Selatan, dan Asia
Tenggara dalam kasus Utsmani pada abad ke-20.
Jatuhnya
Abbasiyyah dan Legalitas Mamluk
Pada 1950,
Bernard Lewis berargumen bahwa Khilafah di Baghdad begitu mudah jatuh
dihancurkan Mongol karena institusi Khilafah itu sendiri sudah lama ‘mati’.
Patricia Crone pada 2004 seolah mengamini dengan menyatakan bahwa sumber-sumber
primer dari masa itu seolah ‘cuek’ akan jatuhnya Abbasiyyah di Baghdad. Namun
pembacaan sumber yang lebih luas oleh Mona Hassan ternyata bercerita lain.
Manuver
penguasa Mamluk di Mesir seperti al-Malik azh-Zhahir Baybars al-Bunduqdari yang
mengklaim Khilafah pasca-keruntuhan Abbasiyyah ternyata mendapat penentangan
dari ulama tersohor seperti Izzuddin bin Abdissalam (w. 1262) yang menyentil
status budak mereka. Selain itu, status penguasa yang bukan Quraisy juga menjadi
polemik yang dilematis. Namun al-Malik azh-Zhahir yang memberi suaka kepada
keturunan Abbasiyyah yang berhasil lolos dari Mongol, al-Mustanshir Billah (w.
1261), pada akhirnya memicu perdebatan yang lebih luas lagi tentang legalitas
Khilafah di Mesir, dimana Khalifah Abbasiyah berfungsi sebagai ‘penguasa
spiritual’, dan Sultan Mamluk sebagai ‘penguasa politik’.
Perdebatan
lain juga berkutat antara pandangan Syiah dan Sunni tentang Khilafah. Ulama
Syiah, di antaranya Hasan bin al-Muthahhar al-Hilli yang menjadi penasihat
dinasti Ilkhan, Öljeitü (1311), menulis Minhaj al-Karamah fi Ma’rifat
al-Imamah yang menantang konsep Sunni tentang legitimasi kepemimpinan, yang
kemudian dibalas dengan karya Ibnu Taymiyyah (w. 1328) Minhaj as-Sunnah fi
Naqd Kalam asy-Syi’ah wal Qadariyah dan Syamsuddin Muhammad adz-Dzahabi (w.
1348) yang menulis al-Muqaddimah az-Zahra fi Idhah al-Imamah al-Kubra.
Pada
akhirnya, sebagaimana yang ditandaskan Mona Hassan, para ulama yang hidup
menjelang dan pasca-1258 merekronstruksi “solusi kreatif” untuk menjawab
permasalahan legalitas Khilafah yang berkedudukan di Mesir. Salah satunya
diekspresikan oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) yang menyatakan bahwa
“yang berwenang untuk dibai’at adalah Khalifah. Sementara pihak yang berkuasa
dan menaati Khalifah dalam penyebutan khutbah Jumat dan mencetak namanya pada
mata uang, adalah Sultan yang melaksanakan hukum dan keadilan dengan sah.”
Pasca-Utsmani:
Islam vs Sekularisme
Setelah Perang
Dunia I, arena internasional dipolarisasi oleh dua kutub yang saling bertarung:
Liberalisme yang diusung Liga Bangsa-Bangsa dan Sosialisme oleh Komunis
Internasional. Di tengah konstelasi bipolar itu, kaum Muslim digemparkan oleh
Penghapusan Institusi Khilafah Utsmaniyyah oleh Majelis Nasional Turki pada
1924. Dunia Islam begitu sedih, bagaimana bisa seorang Kemal Pasha yang
dielukan sebagai pahlawan Islam setelah mengalahkan Sekutu di Selat Dardanella
pada 1922 kini malah menghapus Khilafah.
Para ulama
al-Azhar merespon dengan sigap keruntuhan Khilafah Utsmani dengan menginisiasi
sebuah konferensi internasional untuk memilih Khalifah baru. Mereka mengirim
610 undangan ke berbagai representasi kaum Muslim di berbagai tempat untuk
mendatangkan delegasi konferensi Khilafah.
Para
cendekiawan Muslim saat itu banyak yang menuliskan manifesto untuk model
Khilafah yang akan datang, seperti Mohammad Barakatullah (w. 1927) dan
Inayatullah Khan (w. 1963) dari India, Asosiasi Islam di China (Jam’iyyat
al-Islamiyyah as-Shinniyyah), Syakib Arslan (w. 1946), termasuk Abdurrazzaq
as-Sanhuri. Namun karena politik dalam negeri Mesir sendiri berseteru untuk
mencegah Raja Fuad mengintervensi konferensi Khilafah, ditambah dengan ambisi
penguasa Muslim lain untuk menjadi Khalifah, seperti Ibn Saud dan Syarif Husain
di Hijaz, maka konferensi ini tidak membuahkan hasil.
Ada pula
beberapa orang yang mendukung penghapusan Khilafah, seperti dari ‘jubir’-nya
Attaturk, Mehmed Seyyid Çelebizade (w. 1925) dalam bukunya, Hilafet ve
Hakimiyet-i Milliye dan Ali Abdurraziq (w. 1966) dalam tulisannya, al-Islam
wa Ushul al-Hukmi. Tulisan mereka mendapat bantahan keras dari para ulama
seperti Musthafa Shabri yang juga merupakan Syaikh al-Islam di masa Utsmani.
Dalam kritikannya, Mushthafa Shabri menyebut bahwa jika Seyyid Çelebizade
menolak legilitas Khilafah Utsmani memanfaatkan hadis Nabi yang menyatakan
bahwa ‘Khilafah hanya 30 tahun’ (masa Khulafaur-Rasyidin saja), maka Ali Abdurraziq
telah bertindak lebih jauh dengan menegasikan Khulafaur-Rasyidin sekaligus.
Ada banyak
lagi diskusi mengenai Khilafah pasca-1924 yang direkam oleh Mona Hassan. Diskursus
yang terlontar tentang Khilafah pada saat itu turut berpengaruh pula sampai
hari ini, dimana Khilafah mulai ramai kembali diperbincangkan. []
Nicko
Pandawa | Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dimuat di
Rubrik Kisah Tabloid Media Umat Edisi 244
Akhir Juni
2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar