My Teritory

Selasa, 02 Juli 2019

Kerinduan Akan Khilafah yang Hilang: Resensi Buku Longing for the Lost Caliphate oleh Mona Hassan




Bagaimana rasanya ketika sesuatu yang sudah diyakini mapan kedudukannya tiba-tiba hancur oleh kekuatan yang tak terduga? Terjebak dalam dilema, namun tentu saja harus dicari pemecahannya. Itulah yang dirasakan oleh kaum Muslim sedunia tatkala Khilafah, institusi negara yang diwariskan oleh Nabi mereka, lenyap.

Ketika Khilafah Utsmaniyyah yang menjadi objek kaum Muslimin untuk menyerahkan bai’atnya dihancurkan oleh penjajah pada 1924, tidak hanya Muslim Turki yang terperanjat, namun juga Muslim di berbagai belahan bumi lain, salah satunya adalah seorang ulama muda Mesir yang sedang menyelesaikan studinya di Prancis, Abdurrazzaq as-Sanhuri. 


Dalam tesis doktoralnya di University of Lyon, Fiqh al-Khilafah, as-Sanhuri menyadari bahwa kejatuhan Khilafah Utsmani pada 1924 seolah mengulangi kejatuhan Khilafah Abbasiyyah pada 1258 oleh Mongol. Untuk kedua kalinya dalam sejarah Islam, as-Sanhuri katakan, seorang Muslim seperti dirinya tidak lagi memiliki Khalifah yang akan mengurus umat Islam, walaupun hanya sekedar simbolis. Karena itu, dia rasa, isu ini menjadi isu terpenting yang harus dipecahkan pada zamannya.
Khilafah adalah institusi kaum Muslimin yang sudah berjalan berabad-abad dan mempunyai legalitas yang kuat dalam hukum Islam. Kedua fragmen sejarah kejatuhan Khilafah yang penuh pilu pada 1258 dan tujuh abad kemudian di 1924 ini memancing reaksi yang penuh emosional di kalangan kaum Muslim. Bagaimana mereka menyelesaikan problema ini?


Merekam Sejarah Mentalitas Tentang Khilafah

Komparasi peristiwa kejatuhan Khilafah pada 1258 dan 1924 ini dijadikan sebagai tema disertasi oleh Mona Hassan, berjudul Longing for the Lost Caliphate: A Transregional History, dan diterbitkan oleh Princeton University Press pada tahun 2016.

Dengan merujuk kepada 753 referensi yang terdiri dari buku, kitab, jurnal, sumber daring, dan manuskrip berbahasa Arab, Persia, Turki Utsmani, Turki Modern, Inggris, dan Prancis, serta dokumen resmi dan artikel koran yang tersebar di berbagai negara, Mona Hassan yang merupakan Associate Professor of Islamic Studies and History di Duke University ini mencoba untuk menjawab dua pertanyaan: Apa yang kaum Muslim bayangkan pada masing-masing masanya terkait kehancuran Khilafah Abbasiyyah pada 1258 dan Khilafah Utsmani pada 1924, serta bagaimana usaha mereka untuk merekonstruksi kembali Khilafah dalam situasi yang tak terbayangkan itu.

Ketimbang menjelaskan sabab-musabab kedua peristiwa tersebut sebagai hasil sepak terjang Mongol di bawah Hulegü Khan dan Majelis Nasional Turki pimpinan Kemal Attaturk, Mona Hassan yang menyabet penghargaan American Academy of Religion’s 2017 Award untuk kategori Historical Studies atas bukunya ini lebih fokus untuk melihat bagaimana respon kaum Muslim sedunia setelah Khilafah hancur. Respon atas kehilangan ini diekspresikan lewat ijtihad hukum, kronik sejarah, khutbah, artikel koran, puisi, bahkan musik oleh berbagai kalangan kaum Muslim, entah itu fuqaha, mufasir, ahli hadis, sejarawan, musisi, penyair, intelektual, birokrat, aktivis, dan jurnalis.

Inilah yang disebut Kuntowijoyo sebagai Sejarah Mentalitas, yakni sejarah yang menyajikan perkembangan pemikiran kolektif suatu kaum akan suatu hal dalam durasi yang panjang (longue durée). Kedua peristiwa kejatuhan Khilafah pada 1258 dan 1924 terjadi di dua masa yang berbeda, dua tempat yang berbeda (Baghdad dan Istanbul), namun tetap menjadi isu prestisius yang tak dikekang oleh tempat dan waktu. Dalam kasus Abbasiyah pada abad ke-13, respon akan keruntuhannya muncul dari Spanyol sampai India, terlepas dari banyaknya wilayah yang independen dari otoritas Khalifah sebagai penguasa politik; atau di bawah kekuasaan penjajah asing, seperti wilayah Eropa Tenggara, Afrika Utara, Asia Selatan, dan Asia Tenggara dalam kasus Utsmani pada abad ke-20.


Jatuhnya Abbasiyyah dan Legalitas Mamluk

Pada 1950, Bernard Lewis berargumen bahwa Khilafah di Baghdad begitu mudah jatuh dihancurkan Mongol karena institusi Khilafah itu sendiri sudah lama ‘mati’. Patricia Crone pada 2004 seolah mengamini dengan menyatakan bahwa sumber-sumber primer dari masa itu seolah ‘cuek’ akan jatuhnya Abbasiyyah di Baghdad. Namun pembacaan sumber yang lebih luas oleh Mona Hassan ternyata bercerita lain.

Manuver penguasa Mamluk di Mesir seperti al-Malik azh-Zhahir Baybars al-Bunduqdari yang mengklaim Khilafah pasca-keruntuhan Abbasiyyah ternyata mendapat penentangan dari ulama tersohor seperti Izzuddin bin Abdissalam (w. 1262) yang menyentil status budak mereka. Selain itu, status penguasa yang bukan Quraisy juga menjadi polemik yang dilematis. Namun al-Malik azh-Zhahir yang memberi suaka kepada keturunan Abbasiyyah yang berhasil lolos dari Mongol, al-Mustanshir Billah (w. 1261), pada akhirnya memicu perdebatan yang lebih luas lagi tentang legalitas Khilafah di Mesir, dimana Khalifah Abbasiyah berfungsi sebagai ‘penguasa spiritual’, dan Sultan Mamluk sebagai ‘penguasa politik’.

Perdebatan lain juga berkutat antara pandangan Syiah dan Sunni tentang Khilafah. Ulama Syiah, di antaranya Hasan bin al-Muthahhar al-Hilli yang menjadi penasihat dinasti Ilkhan, Öljeitü (1311), menulis Minhaj al-Karamah fi Ma’rifat al-Imamah yang menantang konsep Sunni tentang legitimasi kepemimpinan, yang kemudian dibalas dengan karya Ibnu Taymiyyah (w. 1328) Minhaj as-Sunnah fi Naqd Kalam asy-Syi’ah wal Qadariyah dan Syamsuddin Muhammad adz-Dzahabi (w. 1348) yang menulis al-Muqaddimah az-Zahra fi Idhah al-Imamah al-Kubra.

Pada akhirnya, sebagaimana yang ditandaskan Mona Hassan, para ulama yang hidup menjelang dan pasca-1258 merekronstruksi “solusi kreatif” untuk menjawab permasalahan legalitas Khilafah yang berkedudukan di Mesir. Salah satunya diekspresikan oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) yang menyatakan bahwa “yang berwenang untuk dibai’at adalah Khalifah. Sementara pihak yang berkuasa dan menaati Khalifah dalam penyebutan khutbah Jumat dan mencetak namanya pada mata uang, adalah Sultan yang melaksanakan hukum dan keadilan dengan sah.”


Pasca-Utsmani: Islam vs Sekularisme

Setelah Perang Dunia I, arena internasional dipolarisasi oleh dua kutub yang saling bertarung: Liberalisme yang diusung Liga Bangsa-Bangsa dan Sosialisme oleh Komunis Internasional. Di tengah konstelasi bipolar itu, kaum Muslim digemparkan oleh Penghapusan Institusi Khilafah Utsmaniyyah oleh Majelis Nasional Turki pada 1924. Dunia Islam begitu sedih, bagaimana bisa seorang Kemal Pasha yang dielukan sebagai pahlawan Islam setelah mengalahkan Sekutu di Selat Dardanella pada 1922 kini malah menghapus Khilafah. 

Para ulama al-Azhar merespon dengan sigap keruntuhan Khilafah Utsmani dengan menginisiasi sebuah konferensi internasional untuk memilih Khalifah baru. Mereka mengirim 610 undangan ke berbagai representasi kaum Muslim di berbagai tempat untuk mendatangkan delegasi konferensi Khilafah. 

Para cendekiawan Muslim saat itu banyak yang menuliskan manifesto untuk model Khilafah yang akan datang, seperti Mohammad Barakatullah (w. 1927) dan Inayatullah Khan (w. 1963) dari India, Asosiasi Islam di China (Jam’iyyat al-Islamiyyah as-Shinniyyah), Syakib Arslan (w. 1946), termasuk Abdurrazzaq as-Sanhuri. Namun karena politik dalam negeri Mesir sendiri berseteru untuk mencegah Raja Fuad mengintervensi konferensi Khilafah, ditambah dengan ambisi penguasa Muslim lain untuk menjadi Khalifah, seperti Ibn Saud dan Syarif Husain di Hijaz, maka konferensi ini tidak membuahkan hasil.

Ada pula beberapa orang yang mendukung penghapusan Khilafah, seperti dari ‘jubir’-nya Attaturk, Mehmed Seyyid Çelebizade (w. 1925) dalam bukunya, Hilafet ve Hakimiyet-i Milliye dan Ali Abdurraziq (w. 1966) dalam tulisannya, al-Islam wa Ushul al-Hukmi. Tulisan mereka mendapat bantahan keras dari para ulama seperti Musthafa Shabri yang juga merupakan Syaikh al-Islam di masa Utsmani. Dalam kritikannya, Mushthafa Shabri menyebut bahwa jika Seyyid Çelebizade menolak legilitas Khilafah Utsmani memanfaatkan hadis Nabi yang menyatakan bahwa ‘Khilafah hanya 30 tahun’ (masa Khulafaur-Rasyidin saja), maka Ali Abdurraziq telah bertindak lebih jauh dengan menegasikan Khulafaur-Rasyidin sekaligus.

Ada banyak lagi diskusi mengenai Khilafah pasca-1924 yang direkam oleh Mona Hassan. Diskursus yang terlontar tentang Khilafah pada saat itu turut berpengaruh pula sampai hari ini, dimana Khilafah mulai ramai kembali diperbincangkan. [] 

Nicko Pandawa | Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dimuat di Rubrik Kisah Tabloid Media Umat Edisi 244
Akhir Juni 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar