Semenjak 1619, kota pelabuhan Jayakarta (sekarang Jakarta)
di pesisir Jawa sudah dijajah Belanda yang diwakili oleh organisasi VOC. Orang-orang
Eropa ini mengganti nama wilayah yang tadinya bagian dari Kesultanan Demak itu
menjadi Batavia, merujuk kepada nama nenek moyang bangsa Belanda, Bataaf.
Walau dijajah VOC, tidak semua penduduk pribumi terusir dari Batavia. Sebagian dari mereka tetap bermukim di sana, tentu dengan perjuangan untuk bertahan hidup yang besar. Pribumi yang tetap di Batavia lama kelamaan disebut kaum Betawi, pelafalan bahasa Arab untuk menyebut nama ‘Batavia’.
Tahun 1799, VOC yang bangkrut mewariskan wilayah kekuasaan mereka kepada Pemerintah Kerajaan Belanda yang kemudian dikenal sebagai Pemerintah Hindia Belanda. Daendels sebagaimana gubernur jenderal pertama, menjual tanah-tanah di Batavia dan sekitarnya kepada pihak swasta, yaitu orang-orang Eropa dan Cina. Maka banyak tanah di Batavia pada zaman kolonial lazim dikenal sebagai tanah partikelir (milik swasta/tuan tanah, bukan milik umum maupun pemerintah).
Walau dijajah VOC, tidak semua penduduk pribumi terusir dari Batavia. Sebagian dari mereka tetap bermukim di sana, tentu dengan perjuangan untuk bertahan hidup yang besar. Pribumi yang tetap di Batavia lama kelamaan disebut kaum Betawi, pelafalan bahasa Arab untuk menyebut nama ‘Batavia’.
Tahun 1799, VOC yang bangkrut mewariskan wilayah kekuasaan mereka kepada Pemerintah Kerajaan Belanda yang kemudian dikenal sebagai Pemerintah Hindia Belanda. Daendels sebagaimana gubernur jenderal pertama, menjual tanah-tanah di Batavia dan sekitarnya kepada pihak swasta, yaitu orang-orang Eropa dan Cina. Maka banyak tanah di Batavia pada zaman kolonial lazim dikenal sebagai tanah partikelir (milik swasta/tuan tanah, bukan milik umum maupun pemerintah).
Pemerintah Kolonial Belanda sangat lemah pengawasan dan kepengaturannya terhadap kepemilikan tanah partikelir, sehingga para tuan tanah yang notabene kaum Eropa dan Cina menindas tanpa batas masyarakat petani di Batavia. Para tuan tanah memeras dan menindas petani melalui pembayaran cuké atau pajak dan bayaran sewa tanah. Jika tidak sanggup membayar pajak pada waktu yang ditentukan, maka para tuan tanah tidak segan-segan untuk menyita harta benda para petani, bahkan membakar rumah mereka.
Peraturan-peraturan yang sangat zalim ini tentu tidak bisa terus dibiarkan. Segolongan kaum Betawi yang jago “maen pukulan” atau para jawara tergerak untuk melakukan perlawanan terhadap kezaliman ini. Salah satu perlawanan para jawara yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Haji Entong Gendut di Condet, Jakarta Timur, pada 1916.
Menurut laporan kolonial, selain Entong Gendut, perkumpulan jawara ini juga dipimpin oleh Entong Maliki, Entong Modin, Amat Wahab, dan H. Apin. Perkumpulan Jawara Condet ini beranggotakan 400 orang dan didukung oleh tokoh masyarakat seperti Sayyid Kramat dan Dullah, serta beberapa ulama keturunan Arab seperti Sayyid Taba bin Akhmad al-Haddad dan Sayyid Muksin bin Akhmad al-Attas dari Cawang, serta Sayyid Umar bin Alaydrus dari Cililitan. (GJ Nawi, 2016: 42-43).
Mengadu Kepada Khalifah
Setelah menyaksikan beberapa pembakaran dan perampasan tuan tanah yang didukung Belanda terhadap kaum petani, para pemimpin Jawara Condet yang sesak dadanya ini berinisiatif untuk mengadu dan mengirimkan surat kepada Khalifah kaum Muslim dari Turki Utsmani saat itu, Sultan Muhammad Rasyad V.
Surat ini dilayangkan mereka melalui Konsul Usmani yang ada di Batavia pada tahun 1916, Rif’at Bey. Entong Gendut meminta kepada rekannya, Entong Maliki, untuk menulis surat aduan kepada Sultan Muhammad Rasyad V melalui Rif’at Bey. Saat ini, surat tersebut masih tersimpan di Kantor Arsip Kedutaan Besar Utsmani (Başbakanlık Osmanlı Arşivi, BOA) yang ada di Istanbul, Turki, dengan nomor panggil HR. SYS 2422/19, dan bertanggal 25 Maret 1916.
“Dengen segala hormat dateng kepada toean Konsol General hamba poenja radja Soeltan di atas sekalian orang Islam sekalian doenia adanja, Soeltan Moehammad Rasad,” tulis Entong Maliki mengawali suratnya. “Hamba mengadoe hal sama padoeka toe(an) bessar Consol Hamba mengadoe hal ini di kampoeng Tjondet hamba harap toean bessar toeloeng hamba ini sekalian orang Moeslim.”
“Soesah sekali orang Moeslim poenja pen(g)hidoepan,” keluh Entong Maliki. Menurutnya, rumah para petani sering dibakar karena tidak sanggup membayar pajak kepada para “Toean Tanah Tjondet Oost (Timur)” yang membakar rumah mereka “kira kira lebi dari 100 orang”. Selain itu, para tuan tanah juga sering me-“lela(ng) apa jang ada di dalem roemanja dan di ambil roemahnja orangnja di oessir. Kessian sekali orang Moeslim di ini Negri.”
Entong Maliki berharap, agar “toean bessar (Konsul Utsmani) poenja pertolongan”. Karena yang membakar rumah-rumah mereka tidak hanya para tuan tanah beserta centeng-centengnya, tapi juga alat-alat resmi Pemerintah Kolonial Belanda seperti “Wedana, Mantri Politi, Oepas Djoeragan, Mandor, dan laen laen orang Kompanian.”
Begitulah inti dari pengaduan Entong Maliki yang mewakili Jawara Condet yang lain kepada Khalifah Sultan Muhammad Rasyad V, melalui konsulnya yang ada di Batavia, Rif’at Bey. Dari sini tersirat bahwa para khalifah dari Khilafah Utsmani masih menjadi rujukan dan tempat memohon pertolongan dari kaum Muslim di Indonesia bahkan sampai masa-masa terpuruknya Kekhalifahan Utsmani.
Walau tidak dapat menurunkan bala bantuan militer secara langsung, kemungkinan besar Rif’at Bey memberikan bendera Khilafah Utsmani kepada Entong Maliki, sebagai legitimasi bahwa Khilafah mendukung perjuangan mereka.
Sabilillah Tidak Takut
Setelah mengalami berbagai macam penindasan dari tuan tanah Eropa dan Pemerintah Kolonial Belanda, para Jawara Condet akhirnya turun gunung melakukan perlawanan. Aksi pertama terjadi pada 7 Maret 1916. Saat itu, para petani Condet berkisar 50 orang berkumpul di sebuah perkebunan salak untuk mencegah usaha penyitaan rumah salah satu petani. Aksi ini lebih bersifat demonstrasi dan tidak terjadi benturan secara fisik.
Suasana sidang di Pengadilan Distrik Wedana Meester Cornelis. (Collectie Troepen Museum, 1913). |
Aksi kedua terjadi pada 5 April 1916 di landhuis (rumah peristirahatan) milik
seorang tuan tanah berkebangsaan Inggris bernama Lady Rollinson, yang beralamat
di Cililitan. Saat itu, di landhuis Lady Rollinson sedang diadakan pesta. Mobil
milik tuan tanah Tandjong Oost, D. C. Ament dilempari batu dan dirusak oleh
anak buah Entong Gendut. Pesta tersebut akhirnya dibubarkan secara paksa oleh
para Jawara Condet tanpa menimbulkan kerusuhan.
Keesokan harinya, Wedana Meester Cornelis memerintahkan anak buahnya untuk menyeret Entong Gendut ke Pengadilan Distrik. Ketika didatangi ke markasnya, para anak buah Wedana mendapati Entong Gendut sedang berkumpul dengan para Jawara Condet lainnya. Ketika ditanya alasannya menghentikan pesta di landhuis Lady Rollinson, Entong Gendut menjawab bahwa itu untuk kepentingan agama dan untuk mencegah perjudian.
Entong Gendut juga menyatakan kenapa rakyat menentang polisi, karena menurutnya, polisi membantu kepentingan orang Kristen, yaitu dengan menjual paksa rumah rakyat dan kadang-kadang membakarnya. Sambil berdebat dengan anak buah Wedana, Entong Gendut memegang golok di tangannya dan menghentak-hentakkan kakinya.
Tiba-tiba Entong Gendut berkata, “Gua injek bumi, bumi bakal jadi laut!” maka berdatanganlah orang banyak dari semak-semak, siap dengan senjatanya. Dikepung oleh anak buah Entong Gendut, maka usaha petugas wedana untuk menangkap Jawara Betawi tersebut gagal (Poesponegoro, 2008: 415-416).
Polemik berlanjut beberapa hari kemudian. Pada 9 dan 10 April 1916, pasukan Pemerintah Kolonial Belanda dipimpin oleh Wedana Meester Cornelis langsung mengepung kediaman Entong Gendut. Sang Jawara Condet ini segera menampakkan dirinya sambil membawa golok dan bendera merah bergambar bulan sabit putih, yang tidak lain merupakan bendera Khilafah Utsmani.
Dengan suara lantang, Entong Gendut mengatakan bahwa ia adalah ‘raja’ dan tidak perlu tunduk pada siapa pun, baik kepada hukum maupun kepada Belanda. Sejurus kemudian, keluarlah pasukan Entong Gendut dan menyerbu pasukan Belanda. Dalam kerusuhan itu, Meester Cornelis dan pasukannya berhasil ditawan.
Tidak lama kemudian, pasukan bantuan Belanda di bawah pimpinan Asisten Residen datang menyelamatkan Wedana Meester Cornelis dan pasukannya yang tertawan. Melihat kedatangan bala bantuan musuh ini, Entong Gendut dan pasukannya menyambut mereka dengan teriakan, “Sabilillah gua kagak takut!” (Ridwan Saidi, 2010: 139).
Kemudian pasukan Entong Gendut datang secara bergelombang sambil membawa bendera Khilafah Utsmani dan memainkan goloknya sembari mengeluarkan jurus-jurus silat.
Karena tidak mengindahkan peringatan dari pasukan Belanda, akhirnya pasukan Entong Gendut tercerai-berai, berlubang-lubang badannya diserbu peluru yang dimuntahkan dari bedil kompeni. Entong Gendut sendiri mendapat luka yang cukup parah, sehingga akhirnya dia syahid sambil memanggul bendera Khilafah. Allahu Akbar![]
Nicko Pandawa | mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dimuat pada rubrik KISAH Tabloid Media Umat edisi 236
Awal Februari 2019
Keesokan harinya, Wedana Meester Cornelis memerintahkan anak buahnya untuk menyeret Entong Gendut ke Pengadilan Distrik. Ketika didatangi ke markasnya, para anak buah Wedana mendapati Entong Gendut sedang berkumpul dengan para Jawara Condet lainnya. Ketika ditanya alasannya menghentikan pesta di landhuis Lady Rollinson, Entong Gendut menjawab bahwa itu untuk kepentingan agama dan untuk mencegah perjudian.
Entong Gendut juga menyatakan kenapa rakyat menentang polisi, karena menurutnya, polisi membantu kepentingan orang Kristen, yaitu dengan menjual paksa rumah rakyat dan kadang-kadang membakarnya. Sambil berdebat dengan anak buah Wedana, Entong Gendut memegang golok di tangannya dan menghentak-hentakkan kakinya.
Tiba-tiba Entong Gendut berkata, “Gua injek bumi, bumi bakal jadi laut!” maka berdatanganlah orang banyak dari semak-semak, siap dengan senjatanya. Dikepung oleh anak buah Entong Gendut, maka usaha petugas wedana untuk menangkap Jawara Betawi tersebut gagal (Poesponegoro, 2008: 415-416).
Polemik berlanjut beberapa hari kemudian. Pada 9 dan 10 April 1916, pasukan Pemerintah Kolonial Belanda dipimpin oleh Wedana Meester Cornelis langsung mengepung kediaman Entong Gendut. Sang Jawara Condet ini segera menampakkan dirinya sambil membawa golok dan bendera merah bergambar bulan sabit putih, yang tidak lain merupakan bendera Khilafah Utsmani.
Dengan suara lantang, Entong Gendut mengatakan bahwa ia adalah ‘raja’ dan tidak perlu tunduk pada siapa pun, baik kepada hukum maupun kepada Belanda. Sejurus kemudian, keluarlah pasukan Entong Gendut dan menyerbu pasukan Belanda. Dalam kerusuhan itu, Meester Cornelis dan pasukannya berhasil ditawan.
Tidak lama kemudian, pasukan bantuan Belanda di bawah pimpinan Asisten Residen datang menyelamatkan Wedana Meester Cornelis dan pasukannya yang tertawan. Melihat kedatangan bala bantuan musuh ini, Entong Gendut dan pasukannya menyambut mereka dengan teriakan, “Sabilillah gua kagak takut!” (Ridwan Saidi, 2010: 139).
Kemudian pasukan Entong Gendut datang secara bergelombang sambil membawa bendera Khilafah Utsmani dan memainkan goloknya sembari mengeluarkan jurus-jurus silat.
Karena tidak mengindahkan peringatan dari pasukan Belanda, akhirnya pasukan Entong Gendut tercerai-berai, berlubang-lubang badannya diserbu peluru yang dimuntahkan dari bedil kompeni. Entong Gendut sendiri mendapat luka yang cukup parah, sehingga akhirnya dia syahid sambil memanggul bendera Khilafah. Allahu Akbar![]
Nicko Pandawa | mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dimuat pada rubrik KISAH Tabloid Media Umat edisi 236
Awal Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar