'3'; Alif, Lam, Mim |
Ketika
malam tahun baru kemarin, aku menonton sebuah film di Net TV, judulnya adalah 3
(tiga). Diceriterakan dalam film tersebut, Indonesia pada tahun 2036 telah
menjadikan paham liberalisme sebagai asas negara, yang menjunjung HAM sangat
tinggi. Sila pertama Pancasila dihapus sehingga bukan Pancasila lagi namanya,
melainkan Catursila. Dengan kata lain, saat itu Indonesia telah menjadi negara
sekuler dan amat memusuhi orang-orang yang terlihat agamis.
Suatu
hari, terjadi kasus pemboman di sebuah kafe, dan orang-orang bergamis nan
bersorban yang ada di kafe tersebut diciduk sebagai pelaku kasus terorisme
tersebut. Singkat cerita, ternyata yang melakukan pemboman tersebut adalah
sebuah organisasi rahasia (Freemason) yang melakukan konspirasi dan menggunakan
orang-orang Islam sebagai kambinghitam atas kejahatan-kejahatan yang mereka
lakukan.
Setelah
menonton film tersebut, rasa kagum menyeruak dari dalam hatiku atas film ini. Betapa
berani, betapa berbeda, dan betapa
kreatifnya! Memang pada bagian awalnya, film ini seakan-akan mengisyaratkan
bahwa Muslim memang biang keladi terorisme, namun jika ditonton sampai habis,
kita akan tahu bahwa Muslim-lah yang dijadikan korban, dan dalam film itu,
digambarkan perjuangan Muslim melawan konspirasi Freemason tersebut. Itulah kenapa
sang pembuat film membuat maklumat ketika di awal film ditayangkan agar kita
menonton film ini sampai habis, supaya tak timbul prasangka-prasangka buruk.
Yang
membuatku tergelitik untuk menulis tulisan ini, yaitu karena film 3 menempatkan
Kaum Muslim sebagai protagonis, dan mereka tidak berpecah belah. Berbeda dengan
film-film ‘Islami’ seperti My Name Is Khan, Ayat-Ayat Cinta, 99 Cahaya di
Langit Eropa, dan sebagainya, dalam beberapa adegannya mereka cenderung
menempatkan Kaum Muslim sebagai sosok antagonis. Atau mungkin yang lebih sering
adalah perseteruan antara ‘Muslim Moderat’ dan ‘Muslim Radikal’. Mungkin niat
mereka baik, yakni dalam rangka war on terrorism, menangkal paham
radikal, mengutamakan dakwah yang moderat, dan seterusnya. Namun, penyampaian
dakwah dengan cara menggambarkan perseteruan sesama Muslim kupandang kurang
baik, seakan ingin menceritakan bahwa kita senantiasa ‘berantem sendiri’.
Juga
dalam kaitannya dengan realitas kekinian, kulihat banyak Kaum Muslim yang
mungkin niatnya baik untuk berdakwah, mencoba untuk berlemah lembut dan
berwelas asih kepada orang-orang kafir, demi menghilangkan persepsi buruk Kaum
Muslim sebagai teroris. Namun yang disayangkan adalah, di saat yang sama mereka
malah galak dan kasar terhadap saudara sesama Muslim yang berghirah tinggi
untuk menjadikan Islam tinggi diatas segala-galanya. Mereka menuduh orang-orang
yang memandang bahwa Islam lebih baik dari agama lain sebagai orang-orang
berideologi keras, berotak jumud, dan cenderung ekstrimis. Orang-orang yang
mendakwahkan dan mensyiarkan Islam secara tegas dan lugas dianggap bertentangan
dengan konsep rahmatan lil ‘aalamin.
Ketika
kita berdakwah, mungkin wajar bagi orang-orang kafir untuk menolak seruan kita,
toh mereka memang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya. Tetapi yang
memilukan hati ialah, penentangan dakwah kita yang terbesar justru berasal dari
Kaum Muslim sendiri.. padahal kita sama-sama mentauhidkan Allah, menjadikan
Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai uswatun hasanah,
melaksanakan shalat, dan membayar zakat, namun kenapa senjata kita bukan
teracung kepada mereka yang jelas-jelas memusuhi Islam, melainkan kepada
saudara-saudara kita sendiri?
Apakah
hanya karena perbedaan dalam masalah madzhab, harakah, pemahaman, negara, atau
yang lainnya yang membuat kita saling mencaci? Sementara itu, orang-orang kafir
nun jauh disana kegirangan dan bertepuk tangan melihat Kaum Muslim terpecah
dari dalam.
Ketahuilah,
ada pihak yang mengadu-domba kita. Metode lama penjajahan devide et impera
masih digunakan sampai hari ini. Sebagaimana di film ‘3’, musuh-musuh Islam
bekerja siang malam untuk menghancurkan kita dan mereka berkedok bahwa apa yang
mereka lakukan demi ‘perdamaian dunia’ dan ‘persaudaraan’. Sekali-kali tidak! Apa
yang mereka inginkan sesungguhnya hanya untuk memuaskan nafsu mereka sendiri. Mereka
tertawa diatas penderitaan orang lain. Sebagaimana yang dikatakan tokoh Mim
dalam film tersebut, “merekalah teroris sebenarnya!”
Akhirul
kalam, kembali menukil kata-kata dari tokoh Kyai dalam film ‘3’, “rapatkan shaf
kalian!”
Pengamat
film dadakan,
Nicko
Pandawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar