La yu’minu ahadukum, hatta yuhibbu
li akhihi ma yuhibbu li nafsi.
Tidak beriman seseorang diantara
kamu, sampai kamu mencintai saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu
sendiri, begitu sabda mulia Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Setiap manusia pasti mencintai
dirinya sendiri. Hal itu diwujudkan dengan usaha dia untuk memenuhi apa-apa
yang ia butuhkan. Kita berusaha untuk mencari makan, menikah, menuntut ilmu,
mengerjakan ibadah, dan sebagainya, karena kita membutuhkan dan menginginkan
hal-hal tersebut. Semua itu wajar, karena ia adalah fitrah. Namun Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam mengajarkan sebuah kaidah sosial agung, yang menjadi
pembeda antara ‘beriman’ dan ‘tidak beriman’, yakni mencintai saudaramu
sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri! Perhatian kepada saudara seiman
merupakan hal yang menjadikan ukhuwah Islam begitu erat mengikat.
Di antara tanda-tanda bahwa kita
sudah mencintai saudara kita sebagaimana kita mencintai diri sendiri, salah
satu contohnya ialah ketika kita mengetahui sesuatu hal yang begitu menggugah
jiwa dan akal kita, dan kita begitu inginnya untuk menyampaikan hal tersebut
kepada orang lain. Setelah itu, kita berharap agar orang tersebut juga tergugah
dengan apa-apa yang menggugah kita.
Al-Qur’anul Karim merekam contoh
dari sikap tersebut dalam sebuah surat yang sering sekali kita baca, yakni
surat Yasin. Dalam surat itu, ada sepenggal kisah yang benar-benar pernah
terjadi dalam sejarah dunia. “wadhrib lahum matsalan ashabal qaryah..” “dan
buatlah suatu perumpamaan bagi mereka, yaitu penduduk suatu negeri..”
inilah sebuah kisah yang terjadi di sebuah kota orang-orang Romawi, kota Antioch,
yang sekarang terletak di Turki sebelah selatan, dekat dengan perbatasan Suriah.
Dulunya, wilayah itu masuk ke dalam wilayah Romawi. “..idz jaa’ahal
mursalun.” “ketika para utusan datang kepada mereka.” Menurut Ibnu
Katsir, para utusan ini ialah murid-murid nabi Isa Alaihissalam.
Lokasi kota Antioch |
Mereka datang berdua ke kota itu dan
menyampaikan dakwah tauhid kepada penduduk Antioch, namun penduduknya menolak
dakwah mereka. Akhirnya dikuatkanlah dakwah para utusan itu dengan satu utusan
lagi, menjadi tiga orang. Mereka terus berdakwah, sampai akhirnya penduduk kota
tersebut merasa muak dan jengkel dengan seruan kebaikan mereka dan mengatakan, “inna
tathayyarna bikum!” “sesungguhnya kami bernasib sial gara-gara kalian!” dan
akhirnya mengancam para da’i tersebut, “la’in lam tantahu lanarjumannakum wa
layamassannakum minna adzabun alim!” “Sungguh, jika kamu tidak berhenti
(mendakwahi kami), niscaya kami rajam kamu dan kamu pasti akan merasakan
siksaan yang pedih dari kami!”
Mandetlah dakwah para da’i itu,
ketika dakwah mereka ditolak mentah-mentah oleh penduduk kota Antioch, Romawi. Disaat-saat
seperti itulah, “wa jaa’a min aqshal madinati rajuluy yas’a qala, ya qaumi,
ittabi’ul mursalin!” “dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki
dengan bergegas dia berkata, ‘wahai kaumku! Ikutilah para da’i tersebut!’”
Ia adalah seorang laki-laki dari
ujung kota, daerah pinggiran, terpencil, sebuah kampung antah berantah. Ia datang
di tengah-tengah penduduk kota itu ketika mereka sedang berkumpul di sebuah amphi-theatre,
sebuah teater terbuka, dimana disana berkumpul masyarakat Romawi golongan Patrichia,
yakni golongan bangsawan, dan golongan Plebeia, golongan masyarakat
kelas dua. Bahkan disana juga ada golongan-golongan non-kasta, yang terdiri
dari para budak dan para tawanan.
Laki-laki itu, tidak disebut namanya
di dalam Al-Qur’an, seolah ingin menunjukkan bahwa mereka yang tak bernamapun
bisa mengguncang dunia. Walaupun kita tahu dalam kitab-kitab tafsir namanya
ialah Habib an-Najjar, dan pekerjaannya hanyalah seorang tukang kayu.
Walaupun ia hanya seorang tukang
kayu, Habib an-Najjar tetap bersemangat mengajak kaumnya dengan dakwah yang
sederhana tapi mengena, “ittabi’u man la yas’alukum ajran, wa hum muhtadun.”
“ikutilah mereka yang tidak meminta bayaran (atas apa yang mereka sampaikan)
kepadamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Betapa sederhana
seruannya, hanya mengajak untuk ikut pengajian! Dan dia memberikan alasan
kenapa harus mengikuti mereka, “walaupun saya hanya seorang tukang kayu, tapi
saya tahu, bahwa mereka adalah orang-orang yang ikhlas!”
Bahwa dakwah itu, bukan berarti kita
harus meraih gelar ustadz dan kyai dulu, baru kita bisa berdakwah. Dakwah itu
sederhana, mungkin hanya sekedar whatsapp seorang teman untuk Shalat Jum’at
atau ikut pengajian, maka itu adalah dakwah! Potensi apapun yang kita miliki,
maka itu bisa menjadi dakwah kita, walaupun kita bukan orator handal.
Kemudian Habib an-Najjar memberikan
sebuah alasan logis kepada kaumnya, “wa ma liya la a’budul ladzi fatharani
wa ilaihi turja’un.” Tidak alasan bagiku untuk tidak menyembah Dzat yang
menciptakan aku, Dan kepada Tuhan yang hakikilah kalian akan kembali, wahai
kaumku!
Kemudian Habib an-Najjar melanjutkan
statement-nya, “a’attakhidzu min dunihi alihatan, in yuridnir Rahmanu
bidhurrin la tughni anni syafa’atuhum syai’an wa la yunqidzun..!” Mengapa
aku harus menyembah tuhan-tuhan selain Allah, yakni patung-patung yang di-display
di sepanjang amphi-theatre tersebut, yang terdiri dari Jupiter, Uranus,
Saturnus, Neptunus, dan dewa-dewa masyarakat Romawi yang lain, Jika Allah yang
Maha Rahman menghendaki bencana kepadaku, maka patung-patung tersebut tidak
akan bisa menolong dan menyelamatkanku! “inni idzal lafi dhalalim mubin..”
sungguh, jika aku berbuat demikian, aku benar-benar berada dalam kesesatan yang
nyata.
Reruntuhan amphitheatre di Antioch |
Setelah penyampaian Habib an-Najjar,
gemparlah orang-orang yang berada di amphi-theater tersebut. Lebih-lebih
golongan Plebeia, masyarakat kelas dua, yang selama ini merasa tertindas
akibat totalitarian kaum Patrichia yang menggunakan dalih paganisme
untuk menindas masyarakat golongan rendah. Mereka kaum Plebeia, membenarkan
perkataan Habib an-Najjar. Lain halnya dengan golongan Patrichia, yang
takut akan terjadi gejolak sosial dan politik akibat perkataan Habib an-Najjar
tadi. Karena itu, mereka menyuruh keroco-keroco mereka, para tukang pukul
mereka, untuk menghabisi Habib an-Najjar. Sang tukang kayu ini pun dihajar
habis-habisan, diinjak-injak, bahkan sampai pecah perutnya. Ia ditinggalkan
dalam keadaan sekarat.
Ketika maut hampir menjemput,
datanglah para da’i tadi, para utusan yang dididik langsung oleh Nabiyullah Isa
Alaihissalam, mentakjubi pengorbanan dakwah Habib an-Najjar. Para da’i tadi
pun berkata kepada Habib an-Najjar yang sekarat, “engkau lebih mulia daripada
kami!” Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Habib an-Najjar tersenyum dan
mengatakan kepada para da’i murid-murid Nabi Isa Alaihissalam, “inni
amantu bi rabbikum, fasma’un…!” “sesungguhnya aku beriman kepada Tuhan
kalian, maka jadilah saksiku…!” setelah itu, wafatlah Habib an-Najjar, syahid
saat berdakwah, berpulang ke haribaan ilahi.
Setelah rohnya terbang ke langit,
dikatakan kepada Habib an-Najjar, “qila-adkhulil jannah!” “Masuklah
kedalam Surga!” Kenikmatan Surga, seharusnya cukup untuk menghapus dan
menghilangkan ingatan seseorang tentang kesengsaraan tatkala berada di dunia. Namun
lain halnya dengan Habib an-Najjar yang mengatakan, “ya laita qaumi ya’lamun..
bi ma ghafarali rabbi wa ja’alani minal mukramin” “aduhai, andaikan kaumku
tahu.. apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku
termasuk orang-orang yang dimuliakan.”
Aduhai, betapa pedulinya Habib
an-Najjar kepada kaumnya, walaupun kaumnya mendustakan beliau. Betapa tukang
kayu ini ingin kaumnya turut serta merasakan kenikmatan yang ia rasakan. Betapa
agungnya teladan yang diberikan lelaki dari pinggiran kota ini kepada kita. Walaupun
ia asing ditengah-tengah kaumnya, kisahnya menjadi salah satu kisah yang
dicantumkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Kitabnya yang mulia, Al-Qur’anul
Karim. Betapa mulianya ia, yang telah mencontohkan secara nyata hadits
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam; la yu’minu ahadukum, hatta
yuhibbu li akhihi ma yuhibbu li nafsi! Betapa ia mencintai
saudara-saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Maka, sikap dan mental inilah yang
dibutuhkan oleh kaum Muslim saat ini. Sikap peduli kepada sesama dengan bentuk
dakwah, dan mental baja untuk menyampaikan kebenaran walaupun itu pahit. Syaikh
Nashiruddin al-Albani berkata dengan perkataan yang sangat dalam maknanya, “Jalan
dakwah ini sangatlah panjang, namun kita tidak diwajibkan untuk sampai
diujungnya. Kita hanya diwajibkan untuk mati diatasnya.”
Mati diatas jalan dakwah, sungguh ia
adalah kematian yang amat indah. Dan kematian yang indah tersebut siapapun bisa
merasakannya, walaupun ia bukan ulama atau ustadz. Sebagaimana Habib an-Najjar,
ia telah mencapai kematian yang indah karena dakwahnya, walaupun saat itu
posisinya hanya sekedar tukang kayu.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
pernah bersabda, “nahnu al-akhirun wa as-sabiqun! Kita adalah yang terakhir
dan juga yang terawal!” para sahabat bertanya, “terakhir dan terawal dalam hal
apa, ya Rasulullah?” “Kita adalah kaum yang terakhir kali ditampilkan oleh
Allah di muka bumi, namun kita adalah kaum yang lebih awal memasuki surga. Tidak
diizinkan umat lain untuk memasuki Surga sebelum umat ini masuk Surga” Jelas Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Imam an-Nawawi dalam Syarah
Shahih Muslim menjelaskan perkataan Rasul diatas; Hal yang demikian karena
umat ini memakai selendang yang dahulu hanya dipakai oleh para Rasul. Selendang
itu adalah selendang dakwah.
Memang benar demikian. Lihatlah, di umatnya
Nabi Nuh Alaihissalam, siapa yang berdakwah? Hanya Nuh sendirian. Nabi
Hud Alaihissalam? Hud sendirian. Nabi Shalih, Ibrahim, Ishaq, Yaqub,
Musa, Harun, begitu seterusnya, mereka hanyalah para Nabi dan Rasul yang diberi
tugas dakwah. Dan jika ada yang mengambil tugas itu sementara ia bukan Nabi dan
Rasul sebagaimana Habib an-Najjar yang kita sebutkan diatas, dan ia dimuliakan
sedemikian rupa oleh Allah ‘Azza wa Jalla, maka bagaimana dengan umat
Nabi Muhammad yang dibebankan kepada masing-masing pengikutnya kewajiban
berdakwah, dimana dakwah itu adalah tugas para Nabi dan Rasul? Sungguh teramat
sangat mulialah orang-orang yang mengambil jalan tersebut.
Balighu anni walau ayah. Semoga kita dimuliakan oleh Allah ‘Azza
wa Jalla walau sekedar menyampaikan satu ayat.
Nicko Pandawa
Segeralah bertaubat menghadap ALLAH ,sebelum anda ada di hadapanya langsung dan anda akan di bertanggung jawabkan atas semua yg anda lakukan di dunia,
BalasHapus