My Teritory

Sabtu, 23 Januari 2016

Mengemban Tugas Nabi

La yu’minu ahadukum, hatta yuhibbu li akhihi ma yuhibbu li nafsi.

Tidak beriman seseorang diantara kamu, sampai kamu mencintai saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri, begitu sabda mulia Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Setiap manusia pasti mencintai dirinya sendiri. Hal itu diwujudkan dengan usaha dia untuk memenuhi apa-apa yang ia butuhkan. Kita berusaha untuk mencari makan, menikah, menuntut ilmu, mengerjakan ibadah, dan sebagainya, karena kita membutuhkan dan menginginkan hal-hal tersebut. Semua itu wajar, karena ia adalah fitrah. Namun Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan sebuah kaidah sosial agung, yang menjadi pembeda antara ‘beriman’ dan ‘tidak beriman’, yakni mencintai saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri! Perhatian kepada saudara seiman merupakan hal yang menjadikan ukhuwah Islam begitu erat mengikat.

Di antara tanda-tanda bahwa kita sudah mencintai saudara kita sebagaimana kita mencintai diri sendiri, salah satu contohnya ialah ketika kita mengetahui sesuatu hal yang begitu menggugah jiwa dan akal kita, dan kita begitu inginnya untuk menyampaikan hal tersebut kepada orang lain. Setelah itu, kita berharap agar orang tersebut juga tergugah dengan apa-apa yang menggugah kita.

Al-Qur’anul Karim merekam contoh dari sikap tersebut dalam sebuah surat yang sering sekali kita baca, yakni surat Yasin. Dalam surat itu, ada sepenggal kisah yang benar-benar pernah terjadi dalam sejarah dunia. “wadhrib lahum matsalan ashabal qaryah..” “dan buatlah suatu perumpamaan bagi mereka, yaitu penduduk suatu negeri..” inilah sebuah kisah yang terjadi di sebuah kota orang-orang Romawi, kota Antioch, yang sekarang terletak di Turki sebelah selatan, dekat dengan perbatasan Suriah. Dulunya, wilayah itu masuk ke dalam wilayah Romawi. “..idz jaa’ahal mursalun.” “ketika para utusan datang kepada mereka.” Menurut Ibnu Katsir, para utusan ini ialah murid-murid nabi Isa Alaihissalam.


Lokasi kota Antioch

Mereka datang berdua ke kota itu dan menyampaikan dakwah tauhid kepada penduduk Antioch, namun penduduknya menolak dakwah mereka. Akhirnya dikuatkanlah dakwah para utusan itu dengan satu utusan lagi, menjadi tiga orang. Mereka terus berdakwah, sampai akhirnya penduduk kota tersebut merasa muak dan jengkel dengan seruan kebaikan mereka dan mengatakan, “inna tathayyarna bikum!” “sesungguhnya kami bernasib sial gara-gara kalian!” dan akhirnya mengancam para da’i tersebut, “la’in lam tantahu lanarjumannakum wa layamassannakum minna adzabun alim!” “Sungguh, jika kamu tidak berhenti (mendakwahi kami), niscaya kami rajam kamu dan kamu pasti akan merasakan siksaan yang pedih dari kami!”

Mandetlah dakwah para da’i itu, ketika dakwah mereka ditolak mentah-mentah oleh penduduk kota Antioch, Romawi. Disaat-saat seperti itulah, “wa jaa’a min aqshal madinati rajuluy yas’a qala, ya qaumi, ittabi’ul mursalin!” “dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata, ‘wahai kaumku! Ikutilah para da’i tersebut!’”

Ia adalah seorang laki-laki dari ujung kota, daerah pinggiran, terpencil, sebuah kampung antah berantah. Ia datang di tengah-tengah penduduk kota itu ketika mereka sedang berkumpul di sebuah amphi-theatre, sebuah teater terbuka, dimana disana berkumpul masyarakat Romawi golongan Patrichia, yakni golongan bangsawan, dan golongan Plebeia, golongan masyarakat kelas dua. Bahkan disana juga ada golongan-golongan non-kasta, yang terdiri dari para budak dan para tawanan.

Laki-laki itu, tidak disebut namanya di dalam Al-Qur’an, seolah ingin menunjukkan bahwa mereka yang tak bernamapun bisa mengguncang dunia. Walaupun kita tahu dalam kitab-kitab tafsir namanya ialah Habib an-Najjar, dan pekerjaannya hanyalah seorang tukang kayu.

Walaupun ia hanya seorang tukang kayu, Habib an-Najjar tetap bersemangat mengajak kaumnya dengan dakwah yang sederhana tapi mengena, “ittabi’u man la yas’alukum ajran, wa hum muhtadun.” “ikutilah mereka yang tidak meminta bayaran (atas apa yang mereka sampaikan) kepadamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Betapa sederhana seruannya, hanya mengajak untuk ikut pengajian! Dan dia memberikan alasan kenapa harus mengikuti mereka, “walaupun saya hanya seorang tukang kayu, tapi saya tahu, bahwa mereka adalah orang-orang yang ikhlas!”

Bahwa dakwah itu, bukan berarti kita harus meraih gelar ustadz dan kyai dulu, baru kita bisa berdakwah. Dakwah itu sederhana, mungkin hanya sekedar whatsapp seorang teman untuk Shalat Jum’at atau ikut pengajian, maka itu adalah dakwah! Potensi apapun yang kita miliki, maka itu bisa menjadi dakwah kita, walaupun kita bukan orator handal.

Kemudian Habib an-Najjar memberikan sebuah alasan logis kepada kaumnya, “wa ma liya la a’budul ladzi fatharani wa ilaihi turja’un.” Tidak alasan bagiku untuk tidak menyembah Dzat yang menciptakan aku, Dan kepada Tuhan yang hakikilah kalian akan kembali, wahai kaumku!

Kemudian Habib an-Najjar melanjutkan statement-nya, “a’attakhidzu min dunihi alihatan, in yuridnir Rahmanu bidhurrin la tughni anni syafa’atuhum syai’an wa la yunqidzun..!” Mengapa aku harus menyembah tuhan-tuhan selain Allah, yakni patung-patung yang di-display di sepanjang amphi-theatre tersebut, yang terdiri dari Jupiter, Uranus, Saturnus, Neptunus, dan dewa-dewa masyarakat Romawi yang lain, Jika Allah yang Maha Rahman menghendaki bencana kepadaku, maka patung-patung tersebut tidak akan bisa menolong dan menyelamatkanku! “inni idzal lafi dhalalim mubin..” sungguh, jika aku berbuat demikian, aku benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.

Reruntuhan amphitheatre di Antioch

Setelah penyampaian Habib an-Najjar, gemparlah orang-orang yang berada di amphi-theater tersebut. Lebih-lebih golongan Plebeia, masyarakat kelas dua, yang selama ini merasa tertindas akibat totalitarian kaum Patrichia yang menggunakan dalih paganisme untuk menindas masyarakat golongan rendah. Mereka kaum Plebeia, membenarkan perkataan Habib an-Najjar. Lain halnya dengan golongan Patrichia, yang takut akan terjadi gejolak sosial dan politik akibat perkataan Habib an-Najjar tadi. Karena itu, mereka menyuruh keroco-keroco mereka, para tukang pukul mereka, untuk menghabisi Habib an-Najjar. Sang tukang kayu ini pun dihajar habis-habisan, diinjak-injak, bahkan sampai pecah perutnya. Ia ditinggalkan dalam keadaan sekarat.

Ketika maut hampir menjemput, datanglah para da’i tadi, para utusan yang dididik langsung oleh Nabiyullah Isa Alaihissalam, mentakjubi pengorbanan dakwah Habib an-Najjar. Para da’i tadi pun berkata kepada Habib an-Najjar yang sekarat, “engkau lebih mulia daripada kami!” Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Habib an-Najjar tersenyum dan mengatakan kepada para da’i murid-murid Nabi Isa Alaihissalam, “inni amantu bi rabbikum, fasma’un…!” “sesungguhnya aku beriman kepada Tuhan kalian, maka jadilah saksiku…!” setelah itu, wafatlah Habib an-Najjar, syahid saat berdakwah, berpulang ke haribaan ilahi.

Setelah rohnya terbang ke langit, dikatakan kepada Habib an-Najjar, “qila-adkhulil jannah!”Masuklah kedalam Surga!” Kenikmatan Surga, seharusnya cukup untuk menghapus dan menghilangkan ingatan seseorang tentang kesengsaraan tatkala berada di dunia. Namun lain halnya dengan Habib an-Najjar yang mengatakan, “ya laita qaumi ya’lamun.. bi ma ghafarali rabbi wa ja’alani minal mukramin” “aduhai, andaikan kaumku tahu.. apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.”

Aduhai, betapa pedulinya Habib an-Najjar kepada kaumnya, walaupun kaumnya mendustakan beliau. Betapa tukang kayu ini ingin kaumnya turut serta merasakan kenikmatan yang ia rasakan. Betapa agungnya teladan yang diberikan lelaki dari pinggiran kota ini kepada kita. Walaupun ia asing ditengah-tengah kaumnya, kisahnya menjadi salah satu kisah yang dicantumkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Kitabnya yang mulia, Al-Qur’anul Karim. Betapa mulianya ia, yang telah mencontohkan secara nyata hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam; la yu’minu ahadukum, hatta yuhibbu li akhihi ma yuhibbu li nafsi! Betapa ia mencintai saudara-saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

Maka, sikap dan mental inilah yang dibutuhkan oleh kaum Muslim saat ini. Sikap peduli kepada sesama dengan bentuk dakwah, dan mental baja untuk menyampaikan kebenaran walaupun itu pahit. Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata dengan perkataan yang sangat dalam maknanya, “Jalan dakwah ini sangatlah panjang, namun kita tidak diwajibkan untuk sampai diujungnya. Kita hanya diwajibkan untuk mati diatasnya.”

Mati diatas jalan dakwah, sungguh ia adalah kematian yang amat indah. Dan kematian yang indah tersebut siapapun bisa merasakannya, walaupun ia bukan ulama atau ustadz. Sebagaimana Habib an-Najjar, ia telah mencapai kematian yang indah karena dakwahnya, walaupun saat itu posisinya hanya sekedar tukang kayu.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “nahnu al-akhirun wa as-sabiqun! Kita adalah yang terakhir dan juga yang terawal!” para sahabat bertanya, “terakhir dan terawal dalam hal apa, ya Rasulullah?” “Kita adalah kaum yang terakhir kali ditampilkan oleh Allah di muka bumi, namun kita adalah kaum yang lebih awal memasuki surga. Tidak diizinkan umat lain untuk memasuki Surga sebelum umat ini masuk Surga” Jelas Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan perkataan Rasul diatas; Hal yang demikian karena umat ini memakai selendang yang dahulu hanya dipakai oleh para Rasul. Selendang itu adalah selendang dakwah.

Memang benar demikian. Lihatlah, di umatnya Nabi Nuh Alaihissalam, siapa yang berdakwah? Hanya Nuh sendirian. Nabi Hud Alaihissalam? Hud sendirian. Nabi Shalih, Ibrahim, Ishaq, Yaqub, Musa, Harun, begitu seterusnya, mereka hanyalah para Nabi dan Rasul yang diberi tugas dakwah. Dan jika ada yang mengambil tugas itu sementara ia bukan Nabi dan Rasul sebagaimana Habib an-Najjar yang kita sebutkan diatas, dan ia dimuliakan sedemikian rupa oleh Allah ‘Azza wa Jalla, maka bagaimana dengan umat Nabi Muhammad yang dibebankan kepada masing-masing pengikutnya kewajiban berdakwah, dimana dakwah itu adalah tugas para Nabi dan Rasul? Sungguh teramat sangat mulialah orang-orang yang mengambil jalan tersebut.

Balighu anni walau ayah. Semoga kita dimuliakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla walau sekedar menyampaikan satu ayat.


Nicko Pandawa





1 komentar:

  1. Segeralah bertaubat menghadap ALLAH ,sebelum anda ada di hadapanya langsung dan anda akan di bertanggung jawabkan atas semua yg anda lakukan di dunia,

    BalasHapus