My Teritory

Rabu, 09 Agustus 2017

Alasan Beragama dan Bernegara; Antara Kepentingan dan Kebenaran

Patung Vladimir I bin Svyastoslaw di kota Novgorod, Rusia.

Ribuan tahun lalu, kerajaan Rusia sedang dipimpin oleh Vladimir I, anak dari raja Svyastoslaw yang kekuatannya sanggup membuat ciut raja Bulgaria, raja Khazar, bahkan kaisar Byzantium di Konstantinopel.
Vladimir I sedang bingung. Walau kekuatannya ditakuti, namun ia menyadari bahwa kekuasaannya tak akan bisa disejajarkan dengan rival-rivalnya di Eropa jika negaranya masih memeluk agama penyembah berhala warisan founding fathers bangsa Rusia. Vladimir melihat, setidaknya ada empat agama dunia yang mampu memperkokoh hegemoninya karena jaringan agama-agama itu transnasional; Islam, Yahudi, Katolik Roma, dan Kristen Ortodoks.

Putra Svyastoslaw ini mulai mencermati satu per satu agama, sampai pilihannya jatuh kepada Kristen Ortodoks. Lah, kenapa dia menolak Islam? Karena menurutnya Islam itu sangat ekstrem; melarang minum alkohol dan makan babi, dimana aturan itu tidak sesuai dengan "kearifan lokal" masyarakat Rusia yang gemar mengkonsumsi keduanya.
Ia pun menolak agama Yahudi dan Katolik Roma, karena melihat potret peradaban fisik mereka yang amburadul pada saat itu di akhir abad ke-10. Dibaptislah Vladimir sebagai Kristen Ortodoks yang menurut pandangannya begitu bagus dengan potret peradaban fisik Ortodoks di Konstantinopel yang mengagumkan, tidak mengganggu "kearifan lokal" masyarakat Rusia, juga yang paling penting; mensejajarkannya dengan kerajaan-kerajaan lain di Eropa.
Dari kisah tersebut kita dapati, bahwa yang menjadi motif Vladimir I untuk mencari agama baru adalah unsur kepentingan, bukan kebenaran. Bukan hanya raja Rusia itu, namun berapa banyak penguasa-penguasa di setiap tempat dan zaman yang menjadikan kepentingan dunia sebagai motifnya untuk menganut suatu aturan hidup?
Begitu pun hari ini. Ada seorang penguasa di negeri mayoritas Muslim yang mengaku beragama Islam dan dekat dengan 'ulama'. Namun, ia enggan menerapkan aturan Islam karena dituduhnya penerapan Islam secara keseluruhan itu akan mengancam stabilitas nasional, menghambat investasi, mengganggu kearifan lokal, dsb. Ia melihat Islam dengan kacamata kepentingan, bukan kacamata kebenaran.
Padahal andai penguasa ybs melihat Islam dengan melepas kacamata kudanya dan jernih menggunakan akal serta nuraninya dalam melihat Islam, maka tidak akan ada keraguan baginya untuk menerapkan syariat agama ini tanpa kompromi dan parsial!

Image may contain: 1 person
Penguasa Indonesia 2017

Keangkuhan si penguasa itu dalam menolak penerapan Syariat Islam karena tersandung kepentingannya mulai berbuah petaka. Bagaimana mungkin, negara di bawah kekuasaannya yang memiliki garis pantai sepanjang 99.093 km masih mengimpor garam dari luar negeri? Negara dengan SDA melimpah masih mengharap utang kesana-kemari?
Hobinya mencari utang hingga menumpuk sebesar Rp. 4.274 triliun pun menyebabkan ia terancam impeachment oleh hukum yang dibuat sendiri. Belum lagi kekalapannya terhadap seruan-seruan kebenaran yang diwaswasi mengancam kepentingan kubu penguasa, menjelmakan tangannya menjadi tangan besi, yang membuat dirinya makin dibenci.
Yakinlah, bahwa tidak ada penguasa kalap-diktator yang bisa tidur nyenyak di malam hari. Kezaliman penguasa angkuh yang terpampang nyata akan memunculkan gerakan rakyat dari hati nurani. Di sisi lain, seruan kebenaran Islam yang terus digaungkan oleh kelompok yang saat ini ditakuti rezim, makin mendapat tempat di hati rakyat. Pada akhirnya, penguasa itu akan tertegun; mempertahankan status-quo kepentingan tidak akan pernah sanggup menghalangi arus deras kebenaran. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar