My Teritory

Selasa, 21 November 2017

Ideologi Pembebasan yang Murni dan Hakiki

Mural rakyat Palestina yang merindukan Khilafah Islamiyyah membebaskan negeri mereka


***
“Pengemban dakwah tidak akan memihak suatu bangsa manapun, ataupun bersikap kompromi. Ia tidak peduli lagi dengan beratnya menghadapi masyarakat dan para penguasa yang jahat, tidak bergaul dengan mereka, tidak berbasa-basi atau bermanis muka. Namun demikian mereka tetap berpegang teguh pada Ideologi tanpa memperhitungkan untung-rugi, kecuali Ideologi itu sendiri.”
-Taqiyuddin an-Nabhani-
***


Jual! Jual! Jual! Berseliweran kata-kata itu di jejaring informasi kita, walau tidak lebih dominan dibanding drama badut amatiran ala Setya Novanto dan tiang listrik-nya yang malang. Tingkah Jokowi yang menjual ke sana kemari aset-aset negara seperti jalan tol dan BUMN beserta turunan perusahaannya, secara tidak langsung mendeklarasikan pemerintahannya sebagai pemerintahan Kapitalis. Belum lagi dengan kebijakan-kebijakan seperti privatisasi sektor-sektor publik, perizinan Meikarta, pembakaran hutan, penghapusan subsidi, kenaikan TDL yang sangat meroket, dan lain sebagainya yang makin menunjukkan kecintaan Rezim terhadap ideologi Kapitalisme; walaupun mereka tak pernah melisankannya secara sharih dan lebih memilih ‘slogan manis’ seperti “Saya Pancasila! Saya Indonesia!”.

Rezim yang berlindung dibalik ketiak Kapitalisme senantiasa berteriak “hidup demokrasi!” dan “NKRI Harga Mati!” tapi secara nyata bersikap tiran kepada para penentang kekuasaan kapitalnya dengan ‘senjata pemusnah massal’ UU ITE atau UU Ormas yang baru saja dilegalkan. Siapapun yang masih punya kesadaran akan realitas yang rusak ini, pasti akan tergerak untuk melakukan perubahan. Hanya saja, senjata apa yang akan mereka angkat untuk melawan keangkuhan Kapitalisme?



Sosialisme-Komunisme

Tanah Eropa bergejolak tatkala kekuasaan kapitalis para raja digoyang-goyang oleh pemikiran-pemikiran radikal yang anti-kapitalis. Orang-orang seperti Claude Henri Saint Simon (1760), Robert Owen (1771-1858), Charles Fourier (1772-1837), maupun Wilhelm Wailting (1808-1871) terus menyerukan keadilan yang sama rasa sama rata dan keharusan memberontak terhadap kaum kapitalis. Namun karena ketidak-jelasan analisa yang mereka lakukan atas penderitaan yang dialami kaum buruh menjadikan konsep sosialisme mereka hanya sekedar mengawang-awang alias utopia.

Menanggapi problema itu, muncullah Karl Marx (1818-1883) yang menelurkan “sosialisme ilmiah” dimana ia memberikan pokok perhatian lebih pada konsep tentang relasi-relasi antar-manusia dalam proses produksi, yang kemudian kita sebut dengan “Marxist Humanism”. Pemaparan Marx yang menyeluruh tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan serta hubungan antara ketiga hal itu dengan apa-apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya selalu ia kembalikan kepada materi.

Materi! Materi! Materi! Jika orang Islam mengucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun” (sungguh kita ini berasal dari Allah dan akan kepadaNya jua kita akan kembali), maka Marx serta pengikutnya akan berkata “inna lil-maddah wa inna ilaiha raaji’uun” (sungguh kita ini berasal dari materi dan akan kepada materi jua kita akan kembali). Untuk memunculkan perubahan, maka materi-materi yang ada akan saling bertentangan (dialektika), yang kemudian konsep ini dinamakan diaklektika materialisme. Proses pertentangan yang terus berlangsung sepanjang hayat peradaban manusia oleh Marx dinamakan dialektika historis.

Ramalan “dialektika historis” yang disabdakan Marx seolah menemui pembenarannya tatkala V. I. Lenin (1870-1924) mengadopsi pemikiran Karl Marx dan sedikit memodifikasinya menjadi semacam ideologi dan dogma politik. Pertentangan sosialisme Lenin dengan kapitalisme Pemerintahan Tsar Rusia dan pemerintahan transisi setelahnya, pada puncaknya memunculkan apa yang kemudian dikenal sejarah sebagai Revolusi Bolshevik di tahun 1917.

Vladimir Ilyich Lenin

Setelah revolusi besar itu, untuk pertama kalinya Lenin melembagakan Marxisme dalam bentuk negara yang mengembangkan kepemimpinan “diktator ploretariat”. Hal ini menjadi kontradiksi tersendiri. Erich Fromm mempertanyakan, apa bedanya pembangunan di dunia sosialis-komunis dengan pembangunan di dunia kapitalis, jika negara dipakai untuk membangun monopoli industri yang dipimpin oleh suatu organisasi manajerial (negara) dengan metode sentralis dan industri birokratis?

Keresahan atas diktator ploretariat ala Lenin di kalangan kaum sosialis lain memunculkan “firqah” komunis baru bernama New Left (Kiri Baru). Aliran ini menekankan pada faktor kesadaran. Mereka juga menggagahkan diri sebagai “Marxis garis lurus” yang hendak mengembalikan ajaran Marx ke jalan yang lurus setelah dibengkokkan oleh Lenin dengan diktator ploretariat-nya. Walau begitu, angan-angan mereka kandas tatkala kaum Kiri Baru yang diwakili kelompok Brigade Merah di Italia tak tahan dengan syahwat untuk menggelar aksi-aksi kekerasan, aktivitas yang jelas berlawanan dengan manifesto mereka sendiri.

Di negeri ini Marxisme juga menjalani sepak terjangnya, bahkan dengan penuh kelucuan tatkala mereka mencoba merevisi pandangan mereka menjadi “sosialisme-religius”. Ketika Hendricus Josephus Fransiscus Marie (H.J.F.M) Sneevliet, seorang Komunis Belanda, tampil ke muka melawan Kapitalisme Pemerintah Kolonial, banyak orang-orang Jawa kagum kepadanya. Bisa-bisanya ada orang Belanda dengan teori-teori Marxisme-nya membela mati-matian  kaum pribumi dan rela melepaskan pekerjaannya yang bergaji sangat besar. Di antara yang kagum kepada sosok Sneevliet itu adalah beberapa aktivis Sarekat Islam seperti Semaun, Alimin, Darsono, Haji Misbach, Mas Marco, dan lain-lain. Mereka pun ‘ngaji’ komunisme kepada Sneevliet, kemudian mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging) yang kemudian hari menjadi PKI.

Haji Misbach misalnya, dengan serampangan menyamakan konsep masyarakat tanpa kelas ala Marx dengan “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” dimana di dalamnya kaum mustadh’afin yang berkuasa. Ia berkata, “seharoesnjalah orang Islam jang sedjati menjokong kepada maksoednja komoenisme.” Pemikiran-pemikiran Haji Misbach yang menggado-gado Komunisme dengan Islam sering kali dikutip oleh para aktivis kekiri-kirian zaman now. Padahal sering mereka menyindir kaum Islamis yang merambah pada persoalan politik dan pemerintahan  dengan tuduhan “jualan agama”. Tapi dalam kenyataannya kita menemukan mereka yang mengklaim diri sebagai sosialis-religius lebih terang-terangan menjual agama mereka kepada doktrin materialisme-dialektika-historis yang menihilkan keberadaan Sang Pencipta. Absurd!

Barang tentu kaum sosialis-marxis-religius ini akan kesulitan men-sintesakan pandangan agama dari Marx dengan agama itu sendiri, yang pada kasus kita adalah Islam. Secara tegas Karl Marx telah bersabda dalam Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Law,

“Kesengsaraan agamis mengekspresikan kesengsaraan riil sekaligus merupakan protes terhadap kesengsaraan itu. Agama adalah keluhan para makhluk tertindas, jantung-hati sebuah dunia tanpa hati, jiwa untuk keadaan tak berjiwa. Agama menjadi candu rakyat. Menghapuskan agama sebagai kebahagiaan ilusioner untuk rakyat, berarti menuntut agar rakyat dibahagiakan dalam kenyataan. Maka tuntutan agar kita melepaskan ilusi tentang keadaan yang ada, menjadi tuntunan agar kita melepaskan keadaan di mana ilusi itu diperlukan..”

Baiklah jika para aktivis kiri itu benar-benar kaffah dalam ke-marxis-an mereka. Benar-benar menafikkan keberadaan Allah dalam kehidupan mereka. Juga begitu sungguh-sungguh untuk merealisasikan “cita-cita luhur” mereka dalam membangkitkan sebuah masyarakat tanpa kelas. Namun kawan, sungguh kenyataan hari ini berkata lain. Apa yang kita dapati hari ini pada kalangan sosialis, sungguh suara perjuangan membela kaum proletar mereka kini telah redup, diganti dengan suara dengkuran pulas karena kini mereka sudah tertidur nyenyak di bawah selangkangan rezim yang jelas-jelas kapitalis dan neo-liberalis. Meminjam pendeskripsian Isaiah Berlin, mereka telah membentuk sebuah persenyawaan sok ilmiah dengan keangkuhan, penuh paradoks dari hal-hal yang tak jelas ujung pangkalnya, dan sok prasasti yang dibungkus dengan prosa aliteratif dari permainan kata.

Kaum kiri di Indonesia telah mati dalam metodenya yang kebingungan. Gerakan aksi ekstra-parlementernya yang berkiblat pada sosialisme otoritarian sudah tak relevan dengan kondisi kekinian. Mari kita ambil contoh kaum Buruh, yang dilegendakan sebagai kekuatan inti revolusi, seiring perjalanan waktu toh tidak lagi menampakkan keciriannya sebagai ploretariat miskin, melainkan ploretariat yang semakin bersosok “karyawan” dan borjuasi.

Kita dapati pula kaum kiri yang menjadikan parlemen sebagai wadah tempatnya berjuang, yang kita kenal sebagai aliran “Sosialis-demokrasi” (Sosdem), tidak menampakkan sesuatu kecuali pengkhianatan ideologi. Mari kita tengok Uni-Eropa. Pada awal tahun 2000, 13 dari 15 pemerintahannya diklaim sebagai pemerintahan yang beraliran sosialisme atau sosialisme-demokrasi, termasuk tiga negara utama: Inggris (Tony Blair); Prancis (Liones Jospin); dan Jerman (Gerhard Schroeder). Namun semua orang bisa melihat dengan mata telanjang, tidak ada bedanya karakter negara-negara itu dengan negara kapitalis.

Kejadian serupa juga terjadi di Indonesia. Partai yang berhaluan Marhaen dan sedikit banyak memiliki irisan dengan Sosialisme begitu getol menjargonkan dirinya sebagai partainya wong cilik. Namun ketika sudah berkuasa tanpa tahu malu mereka memainkan sebuah drama yang berjudul “Perselingkuhan Penguasa dan Pengusaha”. Sampai hari ini masih bisa kita saksikan drama itu di layar kaca dan layar smartphone masing-masing, tentu dengan membayar listrik dan membeli kuota terdahulu!


Nasionalisme

Dalam konstelasi politik di Indonesia saat ini, yang tersisa dalam medan pertarungan tinggal partai-partai nasionalis dan partai-partai Islam (baik yang parlemen maupun non-parlemen), sedangkan yang partai beraliran Sosialis-Komunis sudah terkubur di perut bumi, atau menjadi setan gentayangan yang malu-malu memunculkan penampakannya.

Jelas, semenjak awal kemerdekaan negeri ini, golongan yang menonjolkan paham nasionalisme senantiasa berseteru dengan golongan yang menonjolkan syari’at Islam dalam perjuangannya. Perseteruan itu bisa kita dapati dalam perdebatan para founding fathers tatkala merumuskan ideologi negara ketika Sidang Konstituante pada tahun 1956. Sidang yang berlangsung di gedung Sociteit de Corcordia di Bandung itu memperdebatkan apakah Islam, Pancasila, atau Sosial Ekonomi yang akan dijadikan dasar negara. Golongan Islam mempresentasikan perjuangannya dengan menawarkan dasar Islam, golongan nasionalis dengan Pancasila-nya, dan golongan Komunis dengan Sosial-Ekonomi-nya. Pada perkembangannya, pejuang dasar Sosial-Ekonomi merapat pula ke pejuang Pancasila.

Pemungutan suara kedua dalam Sidang Konstituante 1 Juni 1959

Amat keras penentangan kaum Islam kepada Pancasila yang diusung kaum nasionalis saat itu. Jika hari ini ramai stempel “anti-Pancasila” ala rezim Suharto dan Jokowi untuk memberangus siapapun yang tak sesuai dengan garis kebijakan kapitalnya, mungkin saja para kaum Islam saat itu akan merebut stempel “anti-Pancasila” dan mencapnya dengan penuh kebanggaan di dada mereka.

Buya Hamka misalkan -sebagaimana penuturan anaknya, K.H. Irfan Hamka, dalam biografi ayahnya- dengan amat lantang dalam Sidang Konstituante mengucapkan, “bila negara ini mengambil dasar negara Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke Neraka!”

Bukan tanpa alasan Buya Hamka mengatakan sedemikian kerasnya. Beliau berkata, “...jiwa atau yang menjiwai proklamasi tanggal 17 Agustus, bukan Pancasila. Sungguh, saudara ketua, Pancasila itu belum pernah dan tidak pernah dikenal, tidak populer dan belum pernah terdengar! Yang terdengar hanya sorak ‘Allahu Akbar!’. Dan api yang nyala di dalam dada ini sampai sekarang, saudara ketua, bukanlah Pancasila, tapi ‘Allahu Akbar’!”

Dalam kesempatan lain, beliau menggunakan tamsil yang menggugah. “Jika saya tanyakan pada hati ini, kepada salah seorang pembela Pancasila, apakah yang terasa dalam hatinya ketika puteranya yang dicintainya tewas dan diantarkannya ke pusara; Pancasilakah atau Allahu Akbar? Niscaya dia akan menjawab: ‘Allahu Akbar’. Dengan demikian baru hatinya akan puas. Hati sanubari yang tidak pernah berdusta!” (Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila: Pustaka Panjimas, 2001, hal. 100)

Walaupun ada sila ketuhanan dalam Pancasila, namun Muhammad Natsir menganggap bahwa sejatinya asas Pancasila bukanlah ketuhanan, namun “la diniyyah”, netral agama. Mirip dengan konsep agnostik yang mengakui Tuhan namun menegasikan agama, apalagi syari’at Islam. Jatuhnya sudah pasti sekulerisme. Wajarlah jika hari ini sering dikatakan sebuah ungkapan yang tidak jelas apa maksudnya, seperti “Indonesia bukan negara agama, bukan juga negara sekuler.” Sebuah ungkapan yang mengada-ada, tidak ilmiah, pragmatis, dan penuh jebakan.


Kritik Untuk “Tukang Gado-Gado”

Bukan maksud saya untuk mengkritik para peracik hidangan gado-gado yang menggoyang lidah dan mengganjal perut. Tukang gado-gado yang dimaksud ialah mereka yang kerap kali mengimpor pemikiran-pemikiran dari luar Islam seperti sosialisme-komunisme, kapitalisme, nasionalisme, demokrasi, pluralisme, dan isme-isme lain yang absurd, untuk kemudian dicocok-cocokkan dengan Islam.

Sering kali kaidah yang mereka gunakan adalah “apa yang bukan Islam, asal sesuai dan tidak bertentangan dengan Islam, tidak bisa disebut kufur.” Padahal kaidah ini adalah kaidah yang digunakan orang-orang kafir untuk memasukkan ideologi dan sistem kufur di tubuh kaum Muslim sehingga bisa diterima sebagai bagian dari Islam, padahal bukan. Seharusnya kaidah yang digunakan bukan “sesuai dengan tidak dengan Islam” atau kaidah “bertentangan atau tidak dengan Islam”, tetapi apakah sistem tersebut “dibangun berdasarkan Islam atau tidak?” atau “terpancar dari akidah Islam atau tidak?” (Hafidz Abdurrahman dalam al-Wa’ie no. 191 Tahun XVI, hal. 44-46)

Dalam pembahasan kita tentang Sosialisme-Komunisme yang digado-gadokan menjadi “sosialis-religius”, telah kita bahas kerancuannya di narasi sebelumnya. Adapun terkait paham Nasionalisme, maka paham itu bukanlah suatu paham yang lahir dari Islam, melainkan lahir dan berkembang dari Eropa, yang kemudian mereka ekspor ke negeri-negeri kaum Muslim.

J. Verkuyl, sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Djaelani, mengatakan bahwa sesungguhnya Nasionalisme itu mengangkat kebangsaan menjadi suatu ilah (sesembahan), membuat kepentingan nasional menjadi kepentingan tertinggi, norma-norma untuk perbuatannya tidak diambil dari firman Tuhan, melainkan dari sumber-sumber yang keruh, yakni ‘darah’ dan ‘bumi’.

Dr. Kalin Siddique mengemukakan fakta menarik terkait pertentangan antara Nasionalisme dan Islam dalam bukunya Towards a New Destiny, yang ia paparkan dalam beberapa poin, seperti:

1. Nasionalisme adalah suatu bentuk pengagungan ‘Tribalisme’, sedangkan Islam justru menghancurkan Tribalisme. Malah seluruh perjuangan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah pernyataan perang terhadap Tribalisme yang berada pada masa itu;

2. Nasionalisme telah menumbuhkan struktur negara bangsa (nation-state) yang menuntut pemuasan, kepentingan diri sendiri dengan menafikkan harga kepentingan kelompok lain, yang akan membidani lahirnya imperialisme dan fasisme, baik yang terang-terangan maupun terselubung;

3. Nasionalisme berakar pada berbagai faktor, seperti wilayah, bahasa, kebudayaan, dan keunggulan ras. Sedangkan Islam tak mengenal batas-batas geografis linguistik dan rasial;

4. Pada kenyataannya, nasionalisme –setelah mencapai dunia Islam di Afrika Utara, Timur Tengah, dan Timur Dekat- merupakan ‘terompet maut’ yang menandai peluruhan dunia-dunia Islam menjadi negara-negara bangsa. Nasionalisme Arab khususnya, telah menjadikan Arab terasing dari Islam, dan nasionalisme-nasionalisme parokial lainnya, seperti Pakistan, Afghanistan, dan Indonesia.

Gunawan Mangunkusumo, seorang aktivis Budi Utomo yang sangat Kejawen, mengeluhkan Islam yang menurutnya tidak sesuai dengan “semangat nasionalis Jawa”, yang ia tuangkan dalam Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo dengan judul One Stadpunt dan Godsdientst,

“...dalam banjak hal igama Islam bahkan koerang akrab dan koerang ramah hingga sering nampak bermoesoehan dengan tabiat kebiasaan kita, pertama-tama dalam hal ini terboekti dari larangan oentoek menjalin Qoer’an ke dalam bahasa Djawa. Rakjat Djawa biasa moengkin sekali memandang hal itoe biasa sadja. Akan tetapi, seorang nasionalis Djawa, berpikir dan merasakan hal itoe sebagai hinaan jang sangat rendah. Apakah bahasa kita jang indah itoe koerang patoet, terlaloe profan oentoek menjampaikan pesan Nabi?”

Pandangan anti-Islam tersebut muncul lagi pada hari ini, dibungkus dengan konsep ‘Islam Nusantara’ yang pokok’e berbeda dengan ‘Islam Timur Tengah’. Mereka-mereka yang rajin mempropagandakan Islam Nusantara sering kali memakai qaul Hadhratus-Syaikh Hasyim Asy’ari yang mengatakan “hubbul wathan minal Iman”. Padahal yang dimaksud Kyai Hasyim Asy’ari itu adalah dari segi substansi, yakni cinta tanah air dan membelanya dari penjajahan kolonial, agar penjajah kafir kolonial itu tidak memurtadkan kaum Muslim di tanah air mereka sendiri. Jika slogan “hubbul wathan minal iman” itu justru digunakan untuk menolak penerapan Syariah Islam dan Khilafah, maka sejatinya itu bukan “hubbul wathan minal iman”, tapi “hubbul wathan minal kufri”!


Khatimah

Berbagai persoalan yang merajalela negeri ini pada hakikatnya bukan berasal dari Islam. Islam sering dituduh sebagai penyebab kerusuhan, baik pada skala nasional maupun internasional. Pada akhirnya dibentuklah program-program absurd seperti War On Terrorism-nya Amerika pasca peristiwa 11 September yang kemudian diikuti secara latah oleh penguasa-penguasa despotik negeri Muslim.

Di Saudi, Pangeran ‘koboi’ Muhammad bin Salman menjalankan program moderasi kerajaan yang diikuti dengan kebijakan-kebijakan kontroversial seperti pembukaan pantai yang membolehkan bikini, penangkapan imam-imam yang dianggap radikal, dan keramahan hubungan bilateral dengan Israel.

Begitu pula kita dapati pada rezim Jokowi. Sejak kekuasaannya, sudah banyak terjadi penangkapan sejumlah ustadz dan aktivis Islam yang kritis terhadap kebijakan politik-ekonomi negara. Mereka pun melegalkan UU Ormas yang tidak disetujui oleh mayoritas rakyat dengan alasan “keg(p)entingan yang memaksa”, yang berefek pada pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia dan ILUNI UI. Sementara alasan yang serupa tidak mereka gunakan dalam mengatasi gerakan separatis di Papua, perampokkan SDA oleh perusahaan swasta dan asing, juga pada kasus Ketua DPR-RI yang terjerat mega-korupsi E-KTP dimana dalam kasus ini sempat terjadi drama yang menggelikan sekaligus menjengkelkan sampai akhirnya yang bersangkutan mengenakan rompi oranye KPK dengan raut muka yang laknat.

Ideologi Islam adalah satu-satunya ideologi yang sahih. Ideologi ini bersumber dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Mahabenar dan Mahabijak sehingga menjadi satu-satunya yang layak untuk diambil dan diterapkan bagi manusia. Sebenarnya bukan hanya layak, lebih dari itu, bahkan wajib untuk mengambil dan menerapkan ideologi Islam dalam sistem Islam yang pernah diterapkan oleh para al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk), yaitu Khilafah yang mengikuti metode kenabian.

Jika kita mempertanyakan apa masa depan yang pasti untuk dunia ini, maka secara realitas bukanlah Kapitalisme yang dulu digadang-gadang Francis Fukuyama sebagai “the end of history”. Apalagi Sosialisme-Komunisme yang sudah menjadi hantu gentayangan yang menunggu untuk diazab di Neraka. Namun ia adalah Islam, yang diemban dan diterapkan oleh institusi negara internasional bernama Khilafah Islamiyyah yang sudah pasti akan tegak, karena keberadaannya menjadi nubuwwah dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan sabdanya yang mulia:

“’Kemudian akan ada Khilafah yang berdasarkan metode kenabian.’ Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad)

Wallahu A’lam bish-Shawwab..



Ciputat, 20 November 2017







Tidak ada komentar:

Posting Komentar