Mural rakyat Palestina yang merindukan Khilafah Islamiyyah membebaskan negeri mereka |
***
“Pengemban dakwah tidak akan memihak suatu bangsa manapun, ataupun
bersikap kompromi. Ia tidak peduli lagi dengan beratnya menghadapi masyarakat
dan para penguasa yang jahat, tidak bergaul dengan mereka, tidak berbasa-basi
atau bermanis muka. Namun demikian mereka tetap berpegang teguh pada Ideologi
tanpa memperhitungkan untung-rugi, kecuali Ideologi itu sendiri.”
-Taqiyuddin an-Nabhani-
***
Jual!
Jual! Jual! Berseliweran kata-kata itu di jejaring informasi kita, walau tidak
lebih dominan dibanding drama badut amatiran ala Setya Novanto dan tiang
listrik-nya yang malang. Tingkah Jokowi yang menjual ke sana kemari aset-aset
negara seperti jalan tol dan BUMN beserta turunan perusahaannya, secara tidak
langsung mendeklarasikan pemerintahannya sebagai pemerintahan Kapitalis. Belum
lagi dengan kebijakan-kebijakan seperti privatisasi sektor-sektor publik, perizinan
Meikarta, pembakaran hutan, penghapusan subsidi, kenaikan TDL yang sangat
meroket, dan lain sebagainya yang makin menunjukkan kecintaan Rezim terhadap
ideologi Kapitalisme; walaupun mereka tak pernah melisankannya secara sharih
dan lebih memilih ‘slogan manis’ seperti “Saya Pancasila! Saya Indonesia!”.
Rezim
yang berlindung dibalik ketiak Kapitalisme senantiasa berteriak “hidup
demokrasi!” dan “NKRI Harga Mati!” tapi secara nyata bersikap tiran kepada para
penentang kekuasaan kapitalnya dengan ‘senjata pemusnah massal’ UU ITE atau UU
Ormas yang baru saja dilegalkan. Siapapun yang masih punya kesadaran akan
realitas yang rusak ini, pasti akan tergerak untuk melakukan perubahan. Hanya
saja, senjata apa yang akan mereka angkat untuk melawan keangkuhan Kapitalisme?
Sosialisme-Komunisme
Tanah
Eropa bergejolak tatkala kekuasaan kapitalis para raja digoyang-goyang oleh
pemikiran-pemikiran radikal yang anti-kapitalis. Orang-orang seperti Claude
Henri Saint Simon (1760), Robert Owen (1771-1858), Charles Fourier (1772-1837),
maupun Wilhelm Wailting (1808-1871) terus menyerukan keadilan yang sama rasa
sama rata dan keharusan memberontak terhadap kaum kapitalis. Namun karena
ketidak-jelasan analisa yang mereka lakukan atas penderitaan yang dialami kaum
buruh menjadikan konsep sosialisme mereka hanya sekedar mengawang-awang alias
utopia.
Menanggapi
problema itu, muncullah Karl Marx (1818-1883) yang menelurkan “sosialisme
ilmiah” dimana ia memberikan pokok perhatian lebih pada konsep tentang relasi-relasi
antar-manusia dalam proses produksi, yang kemudian kita sebut dengan “Marxist
Humanism”. Pemaparan Marx yang menyeluruh tentang manusia, alam semesta,
dan kehidupan serta hubungan antara ketiga hal itu dengan apa-apa yang terjadi
sebelum dan sesudahnya selalu ia kembalikan kepada materi.
Materi!
Materi! Materi! Jika orang Islam mengucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi
raaji’uun” (sungguh kita ini berasal dari Allah dan akan kepadaNya jua kita
akan kembali), maka Marx serta pengikutnya akan berkata “inna lil-maddah wa
inna ilaiha raaji’uun” (sungguh kita ini berasal dari materi dan akan
kepada materi jua kita akan kembali). Untuk memunculkan perubahan, maka
materi-materi yang ada akan saling bertentangan (dialektika), yang kemudian
konsep ini dinamakan diaklektika materialisme. Proses pertentangan yang terus
berlangsung sepanjang hayat peradaban manusia oleh Marx dinamakan dialektika
historis.
Ramalan
“dialektika historis” yang disabdakan Marx seolah menemui pembenarannya tatkala
V. I. Lenin (1870-1924) mengadopsi pemikiran Karl Marx dan sedikit
memodifikasinya menjadi semacam ideologi dan dogma politik. Pertentangan
sosialisme Lenin dengan kapitalisme Pemerintahan Tsar Rusia dan pemerintahan
transisi setelahnya, pada puncaknya memunculkan apa yang kemudian dikenal
sejarah sebagai Revolusi Bolshevik di tahun 1917.
Vladimir Ilyich Lenin |
Setelah
revolusi besar itu, untuk pertama kalinya Lenin melembagakan Marxisme dalam
bentuk negara yang mengembangkan kepemimpinan “diktator ploretariat”. Hal ini
menjadi kontradiksi tersendiri. Erich Fromm mempertanyakan, apa bedanya
pembangunan di dunia sosialis-komunis dengan pembangunan di dunia kapitalis,
jika negara dipakai untuk membangun monopoli industri yang dipimpin oleh suatu
organisasi manajerial (negara) dengan metode sentralis dan industri birokratis?
Keresahan
atas diktator ploretariat ala Lenin di kalangan kaum sosialis lain memunculkan
“firqah” komunis baru bernama New Left (Kiri Baru). Aliran ini
menekankan pada faktor kesadaran. Mereka juga menggagahkan diri sebagai “Marxis
garis lurus” yang hendak mengembalikan ajaran Marx ke jalan yang lurus setelah
dibengkokkan oleh Lenin dengan diktator ploretariat-nya. Walau begitu,
angan-angan mereka kandas tatkala kaum Kiri Baru yang diwakili kelompok Brigade
Merah di Italia tak tahan dengan syahwat untuk menggelar aksi-aksi kekerasan,
aktivitas yang jelas berlawanan dengan manifesto mereka sendiri.
Di
negeri ini Marxisme juga menjalani sepak terjangnya, bahkan dengan penuh
kelucuan tatkala mereka mencoba merevisi pandangan mereka menjadi “sosialisme-religius”.
Ketika Hendricus Josephus Fransiscus Marie (H.J.F.M) Sneevliet, seorang Komunis
Belanda, tampil ke muka melawan Kapitalisme Pemerintah Kolonial, banyak
orang-orang Jawa kagum kepadanya. Bisa-bisanya ada orang Belanda dengan
teori-teori Marxisme-nya membela mati-matian
kaum pribumi dan rela melepaskan pekerjaannya yang bergaji sangat besar.
Di antara yang kagum kepada sosok Sneevliet itu adalah beberapa aktivis Sarekat
Islam seperti Semaun, Alimin, Darsono, Haji Misbach, Mas Marco, dan lain-lain.
Mereka pun ‘ngaji’ komunisme kepada Sneevliet, kemudian mendirikan ISDV (Indische
Sociaal Democratische Vereniging) yang kemudian hari menjadi PKI.
Haji
Misbach misalnya, dengan serampangan menyamakan konsep masyarakat tanpa kelas
ala Marx dengan “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” dimana di
dalamnya kaum mustadh’afin yang berkuasa. Ia berkata, “seharoesnjalah
orang Islam jang sedjati menjokong kepada maksoednja komoenisme.” Pemikiran-pemikiran
Haji Misbach yang menggado-gado Komunisme dengan Islam sering kali dikutip oleh
para aktivis kekiri-kirian zaman now. Padahal sering mereka menyindir
kaum Islamis yang merambah pada persoalan politik dan pemerintahan dengan tuduhan “jualan agama”. Tapi dalam
kenyataannya kita menemukan mereka yang mengklaim diri sebagai
sosialis-religius lebih terang-terangan menjual agama mereka kepada doktrin
materialisme-dialektika-historis yang menihilkan keberadaan Sang Pencipta.
Absurd!
Barang
tentu kaum sosialis-marxis-religius ini akan kesulitan men-sintesakan pandangan
agama dari Marx dengan agama itu sendiri, yang pada kasus kita adalah Islam.
Secara tegas Karl Marx telah bersabda dalam Contribution to the Critique of
Hegel’s Philosophy of Law,
“Kesengsaraan agamis mengekspresikan kesengsaraan riil sekaligus
merupakan protes terhadap kesengsaraan itu. Agama adalah keluhan para makhluk
tertindas, jantung-hati sebuah dunia tanpa hati, jiwa untuk keadaan tak
berjiwa. Agama menjadi candu rakyat. Menghapuskan agama sebagai kebahagiaan
ilusioner untuk rakyat, berarti menuntut agar rakyat dibahagiakan dalam
kenyataan. Maka tuntutan agar kita melepaskan ilusi tentang keadaan yang ada,
menjadi tuntunan agar kita melepaskan keadaan di mana ilusi itu diperlukan..”
Baiklah
jika para aktivis kiri itu benar-benar kaffah dalam ke-marxis-an mereka.
Benar-benar menafikkan keberadaan Allah dalam kehidupan mereka. Juga begitu
sungguh-sungguh untuk merealisasikan “cita-cita luhur” mereka dalam
membangkitkan sebuah masyarakat tanpa kelas. Namun kawan, sungguh kenyataan
hari ini berkata lain. Apa yang kita dapati hari ini pada kalangan sosialis, sungguh
suara perjuangan membela kaum proletar mereka kini telah redup, diganti dengan
suara dengkuran pulas karena kini mereka sudah tertidur nyenyak di bawah
selangkangan rezim yang jelas-jelas kapitalis dan neo-liberalis. Meminjam
pendeskripsian Isaiah Berlin, mereka telah membentuk sebuah persenyawaan sok
ilmiah dengan keangkuhan, penuh paradoks dari hal-hal yang tak jelas ujung
pangkalnya, dan sok prasasti yang dibungkus dengan prosa aliteratif dari
permainan kata.
Kaum
kiri di Indonesia telah mati dalam metodenya yang kebingungan. Gerakan aksi
ekstra-parlementernya yang berkiblat pada sosialisme otoritarian sudah tak
relevan dengan kondisi kekinian. Mari kita ambil contoh kaum Buruh, yang
dilegendakan sebagai kekuatan inti revolusi, seiring perjalanan waktu toh tidak
lagi menampakkan keciriannya sebagai ploretariat miskin, melainkan ploretariat
yang semakin bersosok “karyawan” dan borjuasi.
Kita
dapati pula kaum kiri yang menjadikan parlemen sebagai wadah tempatnya
berjuang, yang kita kenal sebagai aliran “Sosialis-demokrasi” (Sosdem), tidak
menampakkan sesuatu kecuali pengkhianatan ideologi. Mari kita tengok Uni-Eropa.
Pada awal tahun 2000, 13 dari 15 pemerintahannya diklaim sebagai pemerintahan
yang beraliran sosialisme atau sosialisme-demokrasi, termasuk tiga negara
utama: Inggris (Tony Blair); Prancis (Liones Jospin); dan Jerman (Gerhard
Schroeder). Namun semua orang bisa melihat dengan mata telanjang, tidak ada
bedanya karakter negara-negara itu dengan negara kapitalis.
Kejadian
serupa juga terjadi di Indonesia. Partai yang berhaluan Marhaen dan sedikit
banyak memiliki irisan dengan Sosialisme begitu getol menjargonkan dirinya
sebagai partainya wong cilik. Namun ketika sudah berkuasa tanpa tahu malu
mereka memainkan sebuah drama yang berjudul “Perselingkuhan Penguasa dan
Pengusaha”. Sampai hari ini masih bisa kita saksikan drama itu di layar kaca
dan layar smartphone masing-masing, tentu dengan membayar listrik dan membeli
kuota terdahulu!
Nasionalisme
Dalam
konstelasi politik di Indonesia saat ini, yang tersisa dalam medan pertarungan
tinggal partai-partai nasionalis dan partai-partai Islam (baik yang parlemen
maupun non-parlemen), sedangkan yang partai beraliran Sosialis-Komunis sudah
terkubur di perut bumi, atau menjadi setan gentayangan yang malu-malu
memunculkan penampakannya.
Jelas,
semenjak awal kemerdekaan negeri ini, golongan yang menonjolkan paham
nasionalisme senantiasa berseteru dengan golongan yang menonjolkan syari’at Islam
dalam perjuangannya. Perseteruan itu bisa kita dapati dalam perdebatan para founding
fathers tatkala merumuskan ideologi negara ketika Sidang Konstituante pada
tahun 1956. Sidang yang berlangsung di gedung Sociteit de Corcordia di
Bandung itu memperdebatkan apakah Islam, Pancasila, atau Sosial Ekonomi yang
akan dijadikan dasar negara. Golongan Islam mempresentasikan perjuangannya
dengan menawarkan dasar Islam, golongan nasionalis dengan Pancasila-nya, dan
golongan Komunis dengan Sosial-Ekonomi-nya. Pada perkembangannya, pejuang dasar
Sosial-Ekonomi merapat pula ke pejuang Pancasila.
Pemungutan suara kedua dalam Sidang Konstituante 1 Juni 1959 |
Amat
keras penentangan kaum Islam kepada Pancasila yang diusung kaum nasionalis saat
itu. Jika hari ini ramai stempel “anti-Pancasila” ala rezim Suharto dan Jokowi
untuk memberangus siapapun yang tak sesuai dengan garis kebijakan kapitalnya,
mungkin saja para kaum Islam saat itu akan merebut stempel “anti-Pancasila” dan
mencapnya dengan penuh kebanggaan di dada mereka.
Buya
Hamka misalkan -sebagaimana penuturan anaknya, K.H. Irfan Hamka, dalam biografi
ayahnya- dengan amat lantang dalam Sidang Konstituante mengucapkan, “bila
negara ini mengambil dasar negara Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke
Neraka!”
Bukan
tanpa alasan Buya Hamka mengatakan sedemikian kerasnya. Beliau berkata, “...jiwa
atau yang menjiwai proklamasi tanggal 17 Agustus, bukan Pancasila. Sungguh,
saudara ketua, Pancasila itu belum pernah dan tidak pernah dikenal, tidak
populer dan belum pernah terdengar! Yang terdengar hanya sorak ‘Allahu Akbar!’.
Dan api yang nyala di dalam dada ini sampai sekarang, saudara ketua, bukanlah
Pancasila, tapi ‘Allahu Akbar’!”
Dalam
kesempatan lain, beliau menggunakan tamsil yang menggugah. “Jika saya
tanyakan pada hati ini, kepada salah seorang pembela Pancasila, apakah yang terasa
dalam hatinya ketika puteranya yang dicintainya tewas dan diantarkannya ke
pusara; Pancasilakah atau Allahu Akbar? Niscaya dia akan menjawab: ‘Allahu
Akbar’. Dengan demikian baru hatinya akan puas. Hati sanubari yang tidak pernah
berdusta!” (Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila: Pustaka Panjimas, 2001,
hal. 100)
Walaupun
ada sila ketuhanan dalam Pancasila, namun Muhammad Natsir menganggap bahwa
sejatinya asas Pancasila bukanlah ketuhanan, namun “la diniyyah”, netral
agama. Mirip dengan konsep agnostik yang mengakui Tuhan namun menegasikan
agama, apalagi syari’at Islam. Jatuhnya sudah pasti sekulerisme. Wajarlah jika
hari ini sering dikatakan sebuah ungkapan yang tidak jelas apa maksudnya,
seperti “Indonesia bukan negara agama, bukan juga negara sekuler.” Sebuah
ungkapan yang mengada-ada, tidak ilmiah, pragmatis, dan penuh jebakan.
Kritik
Untuk “Tukang Gado-Gado”
Bukan
maksud saya untuk mengkritik para peracik hidangan gado-gado yang menggoyang
lidah dan mengganjal perut. Tukang gado-gado yang dimaksud ialah mereka yang
kerap kali mengimpor pemikiran-pemikiran dari luar Islam seperti
sosialisme-komunisme, kapitalisme, nasionalisme, demokrasi, pluralisme, dan
isme-isme lain yang absurd, untuk kemudian dicocok-cocokkan dengan Islam.
Sering
kali kaidah yang mereka gunakan adalah “apa yang bukan Islam, asal sesuai
dan tidak bertentangan dengan Islam, tidak bisa disebut kufur.” Padahal
kaidah ini adalah kaidah yang digunakan orang-orang kafir untuk memasukkan
ideologi dan sistem kufur di tubuh kaum Muslim sehingga bisa diterima sebagai
bagian dari Islam, padahal bukan. Seharusnya kaidah yang digunakan bukan “sesuai
dengan tidak dengan Islam” atau kaidah “bertentangan atau tidak dengan
Islam”, tetapi apakah sistem tersebut “dibangun berdasarkan Islam atau
tidak?” atau “terpancar dari akidah Islam atau tidak?” (Hafidz
Abdurrahman dalam al-Wa’ie no. 191 Tahun XVI, hal. 44-46)
Dalam
pembahasan kita tentang Sosialisme-Komunisme yang digado-gadokan menjadi
“sosialis-religius”, telah kita bahas kerancuannya di narasi sebelumnya. Adapun
terkait paham Nasionalisme, maka paham itu bukanlah suatu paham yang lahir dari
Islam, melainkan lahir dan berkembang dari Eropa, yang kemudian mereka ekspor
ke negeri-negeri kaum Muslim.
J.
Verkuyl, sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Djaelani, mengatakan bahwa
sesungguhnya Nasionalisme itu mengangkat kebangsaan menjadi suatu ilah
(sesembahan), membuat kepentingan nasional menjadi kepentingan tertinggi,
norma-norma untuk perbuatannya tidak diambil dari firman Tuhan, melainkan dari
sumber-sumber yang keruh, yakni ‘darah’ dan ‘bumi’.
Dr.
Kalin Siddique mengemukakan fakta menarik terkait pertentangan antara
Nasionalisme dan Islam dalam bukunya Towards a New Destiny, yang ia
paparkan dalam beberapa poin, seperti:
1. Nasionalisme
adalah suatu bentuk pengagungan ‘Tribalisme’, sedangkan Islam justru
menghancurkan Tribalisme. Malah seluruh perjuangan Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi wa Sallam adalah pernyataan perang terhadap Tribalisme yang berada
pada masa itu;
2. Nasionalisme
telah menumbuhkan struktur negara bangsa (nation-state) yang menuntut
pemuasan, kepentingan diri sendiri dengan menafikkan harga kepentingan kelompok
lain, yang akan membidani lahirnya imperialisme dan fasisme, baik yang
terang-terangan maupun terselubung;
3. Nasionalisme
berakar pada berbagai faktor, seperti wilayah, bahasa, kebudayaan, dan
keunggulan ras. Sedangkan Islam tak mengenal batas-batas geografis linguistik
dan rasial;
4. Pada
kenyataannya, nasionalisme –setelah mencapai dunia Islam di Afrika Utara, Timur
Tengah, dan Timur Dekat- merupakan ‘terompet maut’ yang menandai peluruhan
dunia-dunia Islam menjadi negara-negara bangsa. Nasionalisme Arab khususnya,
telah menjadikan Arab terasing dari Islam, dan nasionalisme-nasionalisme
parokial lainnya, seperti Pakistan, Afghanistan, dan Indonesia.
Gunawan
Mangunkusumo, seorang aktivis Budi Utomo yang sangat Kejawen, mengeluhkan Islam
yang menurutnya tidak sesuai dengan “semangat nasionalis Jawa”, yang ia
tuangkan dalam Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo dengan judul One Stadpunt
dan Godsdientst,
“...dalam banjak hal igama Islam bahkan koerang akrab dan koerang
ramah hingga sering nampak bermoesoehan dengan tabiat kebiasaan kita,
pertama-tama dalam hal ini terboekti dari larangan oentoek menjalin Qoer’an ke
dalam bahasa Djawa. Rakjat Djawa biasa moengkin sekali memandang hal itoe biasa
sadja. Akan tetapi, seorang nasionalis Djawa, berpikir dan merasakan hal itoe
sebagai hinaan jang sangat rendah. Apakah bahasa kita jang indah itoe koerang
patoet, terlaloe profan oentoek menjampaikan pesan Nabi?”
Pandangan
anti-Islam tersebut muncul lagi pada hari ini, dibungkus dengan konsep ‘Islam
Nusantara’ yang pokok’e berbeda dengan ‘Islam Timur Tengah’.
Mereka-mereka yang rajin mempropagandakan Islam Nusantara sering kali memakai qaul
Hadhratus-Syaikh Hasyim Asy’ari yang mengatakan “hubbul wathan minal Iman”.
Padahal yang dimaksud Kyai Hasyim Asy’ari itu adalah dari segi substansi, yakni
cinta tanah air dan membelanya dari penjajahan kolonial, agar penjajah kafir
kolonial itu tidak memurtadkan kaum Muslim di tanah air mereka sendiri. Jika
slogan “hubbul wathan minal iman” itu justru digunakan untuk menolak
penerapan Syariah Islam dan Khilafah, maka sejatinya itu bukan “hubbul
wathan minal iman”, tapi “hubbul wathan minal kufri”!
Khatimah
Berbagai
persoalan yang merajalela negeri ini pada hakikatnya bukan berasal dari Islam.
Islam sering dituduh sebagai penyebab kerusuhan, baik pada skala nasional
maupun internasional. Pada akhirnya dibentuklah program-program absurd seperti War
On Terrorism-nya Amerika pasca peristiwa 11 September yang kemudian diikuti
secara latah oleh penguasa-penguasa despotik negeri Muslim.
Di
Saudi, Pangeran ‘koboi’ Muhammad bin Salman menjalankan program moderasi
kerajaan yang diikuti dengan kebijakan-kebijakan kontroversial seperti
pembukaan pantai yang membolehkan bikini, penangkapan imam-imam yang dianggap
radikal, dan keramahan hubungan bilateral dengan Israel.
Begitu
pula kita dapati pada rezim Jokowi. Sejak kekuasaannya, sudah banyak terjadi
penangkapan sejumlah ustadz dan aktivis Islam yang kritis terhadap kebijakan
politik-ekonomi negara. Mereka pun melegalkan UU Ormas yang tidak disetujui
oleh mayoritas rakyat dengan alasan “keg(p)entingan yang memaksa”, yang berefek
pada pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia dan ILUNI UI. Sementara alasan yang
serupa tidak mereka gunakan dalam mengatasi gerakan separatis di Papua,
perampokkan SDA oleh perusahaan swasta dan asing, juga pada kasus Ketua DPR-RI
yang terjerat mega-korupsi E-KTP dimana dalam kasus ini sempat terjadi drama
yang menggelikan sekaligus menjengkelkan sampai akhirnya yang bersangkutan
mengenakan rompi oranye KPK dengan raut muka yang laknat.
Ideologi
Islam adalah satu-satunya ideologi yang sahih. Ideologi ini bersumber dari
wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Mahabenar dan Mahabijak sehingga
menjadi satu-satunya yang layak untuk diambil dan diterapkan bagi manusia.
Sebenarnya bukan hanya layak, lebih dari itu, bahkan wajib untuk mengambil dan
menerapkan ideologi Islam dalam sistem Islam yang pernah diterapkan oleh para al-Khulafa’
ar-Rasyidun (Khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk), yaitu Khilafah yang
mengikuti metode kenabian.
Jika
kita mempertanyakan apa masa depan yang pasti untuk dunia ini, maka secara
realitas bukanlah Kapitalisme yang dulu digadang-gadang Francis Fukuyama
sebagai “the end of history”. Apalagi Sosialisme-Komunisme yang sudah
menjadi hantu gentayangan yang menunggu untuk diazab di Neraka. Namun ia adalah
Islam, yang diemban dan diterapkan oleh institusi negara internasional bernama Khilafah
Islamiyyah yang sudah pasti akan tegak, karena keberadaannya menjadi nubuwwah
dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan sabdanya yang mulia:
“’Kemudian akan ada Khilafah yang berdasarkan metode kenabian.’ Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad)
Wallahu A’lam
bish-Shawwab..
Ciputat, 20 November 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar