Ilustrasi Ka'bah, oleh Ali Bey, 1803. (Sumber: Laman Facebook Ottoman Imperial Archive) |
Semenjak Islam
mulai tegak di atas Bumi pada abad ke-7 M, tanah Arab, khususnya daerah Hijaz,
mempunyai keistimewaan tersendiri. Di dalam Hijaz inilah terdapat dua kota yang
suci dan disucikan oleh kaum Muslimin, yakni Makkah al-Mukarramah dan Madinah
al-Munawwarah.
Kota Makkah
adalah kota di mana Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam
dilahirkan, dibesarkan, kemudian mendapat wahyu al-Qur’an dan disebarkan di
tengah manusia. Selain itu, kota Makkah juga dijadikan oleh Allah sebagai kota
di mana penyelenggaraan ibadah haji dan umrah berlangsung, dengan Masjid
al-Haram dan bangunan Ka’bah sebagai poros utamanya. Sebagai kewajiban utama
yang ditetapkan secara mutlak oleh agama untuk berkunjung kepadanya, maka tak
pernah sepi-lah kota itu dari kunjungan kaum Muslimin yang datang dari berbagai
negara dan bangsa.
Sementara kota
Madinah adalah kota tempat Nabi menerima dukungan politik (nushrah) dari
suku-suku setempat untuk menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa
Sallam sebagai kepala negara sehingga Nabi dapat menerapkan syariat Islam
di sana. Di Madinah pulalah Nabi dimakamkan, kemudian kepemimpinan politik
setelah Nabi (Khilafah) diteruskan oleh para Sahabatnya ridwanullahu
alaihim. Di samping menjadi pusat politik Islam yang darinya Islam menyebar
sampai keluar dari batas Jazirah Arab, Madinah juga menjadi tempat tinggal para
Sahabat dan generasi-generasi setelahnya untuk mengajar dan belajar ilmu-ilmu
agama. Jadilah kota Madinah sebagai poros ilmu selama berabad-abad.
Ideologi Islam
yang mempunyai karakteristik menyebar (spreading) terus merambah
negeri-negeri yang jauh dari pusatnya di Hijaz; salah satunya jauh ke Timur,
seperti wilayah Indonesia. Masuknya Islam ke Indonesia memicu perdebatan di
kalangan para sejarawan. Nama-nama seperti Pijnappel, Snouck Hurgronje, Moquette,
Kern, Winstedst, Bousquet, Vlekke, Gonda, Hall, Schrieke, Thomas Arnold,
Crawfurd, Keijzer, Fathimi, Niemann, Hollander, Hamka, Naquib al-Attas, dan
sebagainya menghiasi buku-buku sejarah tentang dari mana Islam dibawa ke
Indonesia? Siapa yang membawakannya? Dan kapan masuknya?[1]
Dari sekian
teori yang dikemukakan, salah satu yang dikuatkan oleh mayoritas sejarawan
adalah teori Arab, yakni teori yang mengatakan bahwa masuknya Islam ke
Indonesia dibawa langsung dari tanah Arab pada permulaan abad Hijriah/abad ke-7
Masehi.[2]
Dengan fakta seperti ini, di tambah dengan keistimewaan Hijaz sebagai tempat
permulaan Islam dan tempat suci kaum Muslimin, maka orang-orang Islam di
Indonesia akan mempunyai hubungan emosional dan spritual yang lebih kuat dengan
tanah Hijaz. Maka tak heran, dalam berbagai hikayat, tradisi lisan, tambo, dan
sumber-sumber sejarah primer lain Nusantara sering diceriterakan peran tanah
Hijaz sebagai tanda Islamisasi yang kuat di suatu daerah.
Ketika Selim I
(k. 1512-1520) dari Kesultanan Utsmaniyah mengalahkan Sultan Mamluk, al-Asyraf
Qansuh al-Ghawri, pada pertarungan Marj Dabiq tahun 1516, daerah Hijaz yang
tadinya ada di bawah otoritas Mamluk berpindah menjadi di bawah otoritas
Utsmaniyah, sehingga dari Selim I sampai Khalifah terakhir Khilafah Turki
Utsmani semuanya menyandang gelar Khadim al-Haramain al-Syarifaini,
Pelayan Dua Tanah Haram dan Dua Tanah Suci.[3]
Para penguasa Islam dari berbagai tempat di Nusantara banyak yang mengirimkan
utusan ke Makkah atau Konstantinopel untuk berbai’at kepada Khalifah Turki
Utsmani dan mendapat legitimasi sebagai wakil Khalifah di tanah Jawa/Nusantara.
Di antara penguasa kesultanan di Nusantara yang tercatat pernah mengirim utusan
ke Makkah dan Konstantinopel adalah Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten (1638),
Sultan Agung dari Mataram yang mendapat gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana
al-Matarami (1641), dan anak dari Sultan Ageng Tirtayasa, Abdul Qahhar yang
sepulang dari Timur Tengah mendapat gelar Sultan Haji.
Selain penguasa
yang bertandang ke tanah Haram untuk berbai’at dan berhaji, kalangan ulama sudah
pasti menjadikan Haramayn sebagai salah satu pusat tempat untuk menuntut ilmu
selain kota-kota Islam yang dikenal sebagai pusat keilmuan seperti Baghdad dan
Kairo. Eksistensi komunitas Muslim yang tinggal dan menuntut ilmu di Haramayn
bisa dibuktikan dengan penyebutan mereka sebagai ba’dha ashabina
al-jawiyyin, jama’at al-jawiyyin, dan ahlu biladi Jawah dalam
kitab-kitab para ulama Haramayn seperti Syaikh Ibrahim bin Hasan al-Qurani dan
Syaikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri.[4]
Ketika orang-orang
Belanda, baik sejak masa VOC sampai Pemerintah Kolonial-nya melakukan
intervensi politik, ekonomi, dan sosial yang sangat merugikan masyarakat
Nusantara, para ulama yang tinggal di Hijaz tidak serta merta diam. Di antara
mereka ada yang pulang ke tanah air untuk memperbaiki masyarakat dan melawan
penjajah, ada pula yang mendidik dan mengkader orang-orang Nusantara yang
datang berhaji dengan ruh jihad agar sepulangnya dari haji ia akan memimpin
masyarakat untuk mengangkat senjata melawan penindasan. Ada pula yang secara
langsung mengirimkan surat kepada para Sultan dan pangeran di berbagai
Kesultanan untuk menyerukan jihad.
Melihat pola
ini, pihak Belanda segera bertindak dengan menerbitkan aneka aturan yang
menyulitkan kaum Muslimin di Nusantara untuk berangkat berhaji.
Peraturan-peraturan itu mulai diperketat kembali ketika Batavia khawatir akan
kebijakan pemerintahan Khilafah Utsmaniyah di Konstantinopel pada paruh akhir
abad ke-19 yang mengambil kebijakan Pan-Islamisme (Ittihad Islam),
kebijakan yang menyerukan kaum Muslim seluruh dunia untuk bersatu di bawah
naungan Khilafah, dan melepaskan ketaatan dan ketundukan kepada
kekuasaan-kekuasaan kafir penjajah termasuk di antaranya Belanda. Tanah Makkah
yang menjadi tempat pertemuan raksasa kaum Muslim seluruh dunia disinyalir oleh
Batavia sebagai tempat dimana semangat Pan-Islamisme disebarkan secara masif.
Hubungan
Hijaz-Nusantara Sebelum Abad ke-19
Penduduk Nusantara sudah mengetahui eksistensi Makkah sebagai tanah
suci kaum Muslim semenjak pertama kali mereka menjadikan Islam sebagai agama
mereka. Makkah dan berbagai istilah yang dinisbatkan kepadanya seperti baitullah,
masjid al-haram, bakkah, dan sebagainya telah banyak diceritakan dalam
al-Qur’an sebagai tempat dimana keluarga Nabi Ibrahim Alaihi al-Salam
beraktivitas, dan menjadi poros ritual para pengikut millah Ibrahim yang
disebut sebagai haji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَ
اَذِنْ النَاسِ بِالحَجِّ يَأتُوكَ رِجَالًا وَّ عَلَى كُلِّ ضَامِرٍيَّأتِينَ
مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan
haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau
mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang
jauh.” (Q.S. al-Hajj [22]: 27)
Ayat-ayat tentang ibadah haji dan Makkah yang menjadi tempat ibadah
tersebut berlangsung merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
al-Qur’an. Sebagai kitab suci yang senantiasa menjadi pegangan setiap Muslim,
al-Qur’an pasti akan pergi sejauh langkah seorang Muslim menyusuri
wilayah-wilayah di permukaan Bumi ini. Bisa dipastikan, bahwa al-Qur’an tiba di
Nusantara bersamaan dengan agama Islam[1];
dimana jika kita memegang pendapat yang mengatakan Islam masuk ke Nusantara
pada abad VII, pasti penduduk Nusantara yang sudah Muslim akan melaksanakan
kewajiban untuk berhaji –asal dia mampu- karena kewajiban itu telah tertera
dalam al-Qur’an, walaupun belum ditemukan catatan sejarah yang menyebutkan secara
sharih akan keberangkatan haji penduduk Nusantara di masa-masa awal
kedatangan Islam di kepulauan ini.
Literatur kuno lokal yang menggambarkan hubungan antara Hijaz dan
Nusantara baru ditulis menjelang abad ke-18. Hikayat Raja-raja Pasai misalnya,
ditulis pada 1814, namun ia mengisahkan tentang ke-Islaman penguasa Kesultanan
Samudra Pasai yang pertama, Sultan Malik al-Shalih (w. 1297), yang mendapat
peneguhan agama dari penguasa Makkah dan India. Diceritakan, bahwa ‘Khalifah’
Makkah mendengar tentang eksistensi ‘Samudra’ (Sumatera) dan memutuskan untuk
mengirim sebuah kapal ke sana untuk memenuhi ‘hadits’ Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang menyebutkan kelak ada sebuah kota besar di Timur yang
bernama Samudra, yang akan menghasilkan banyak orang suci. Kapten kapal, Syaikh
Ismail, singgah di India untuk menjemput seorang sultan yang telah mengundurkan
diri dari takhta dan ingin ber-‘uzlah ke negeri yang jauh. Penguasa
Samudra, Merah Silu, bermimpi bahwa ia bertemu dengan Nabi dan mendapat
pengetahuan tentang Islam dari beliau dengan cara mendapat ludah dari Nabi.
Kemudian Nabi memberinya gelar Sultan Malik al-Shalih. Setelah terbangun,
sultan yang baru itu mendapati dirinya dapat membaca al-Qur’an dan telah
dikhitan. Beberapa lama kemudian kapal yang berangkat dari Makkah pun tiba di
Samudra. Ketika mendapati Sultan Malik al-Shalih mengucapkan kalimat
syahadatain, Syaikh Ismail melantiknya menjadi penguasa. Setelah mengajari
penduduk Samudra tentang Islam, Syaikh Ismail berlayar kembali menuju Makkah,
dan mantan Sultan India yang tadinya pergi bersama Syaikh Ismail tetap tinggal
di Samudra untuk mengokohkan agama Islam.[2]
Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari juga dikisahkan, bahwa
anak-anak Raja Pajajaran Prabu Siliwangi yang lahir dari hasil pernikahannya
dengan seorang Muslimah anak syahbandar Cirebon, Nyai Subang Larang, berangkat
ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Kedua anak Prabu Siliwangi, Walang
Sungsang dan Nyai Rara Santang, setelah melaksanakan haji mulai dikenal sebagai
Haji Abdullah Iman dan Saripah Mudaim. Walang Sungsang yang kini dikenal
sebagai Haji Abdullah Iman kemudian berguru kepada Syaikh Datuk Kahfi yang
berasal dari Makkah di sebuah pesantren di Gunung Amparan Jati, Cirebon.
Sementara Nyai Rara Santang yang kini bernama Saripah Mudaim diperistri oleh
penguasa Mesir, Syarif Abdullah yang kemudian dari pernikahan mereka lahirlah
Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati.[3]
Kedua sumber kuno lokal yang terakhir dikutip ini setidaknya
menyebutkan Makkah sebagai faktor penting tumbuh kembang dakwah Islam di
Nusantara. Sumber-sumber primer yang menyebutkan hubungan antara Timur
Tengah/Hijaz dan Nusantara adalah sumber-sumber non-lokal, seperti Cina dan
Arab.
Semenjak kedatangan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
ke Madinah pada September 622 M sampai masa Khilafah Utsman bin Affan (k.
644-656 M), ibukota negara Islam adalah kota Madinah.[4]
Pada masa Khalifah Utsman, dinasti Tang di daratan Cina mencatat dalam risalah Chiu
T’ang Shu bahwa pada tahun 651 dan 655 M mereka didatangi oleh utusan dari
negeri Arab yang menjelaskan bahwa mereka telah mendirikan sebuah negara Islam
dan saat ini yang sedang memimpin adalah khalifah yang ketiga, yang berarti
Utsman bin Affan.[5]
Utusan-utusan Muslim tidak hanya dikirim ke penguasa Cina saja. Di masa
berikutnya para Khalifah juga mengirim utusan-utusan Muslim ke penguasa
Sriwijaya yang ada di pulau Sumatera, bahkan di antara raja-raja Sriwijaya itu
ada yang memberikan respon balik kepada Khalifah agar dikirimi utusan khusus
untuk mengajarinya tentang Islam. Itulah yang dilakukan oleh Maharaja Sri
Indrawarman yang kedua suratnya ditemukan dalam diwan (arsip) Bani
Umayyah.[6]
Kaum Muslimin yang datang dari Timur Tengah dan Asia Selatan pada
umumnya dan Hijaz pada khususnya datang ke Nusantara dengan berbagai faktor,
mulai dari perdagangan sampai menyebarkan dakwah Islam ke penduduk setempat.
Karena kemajuan yang pesat dalam pengelolaan sumber daya alam dan perdagangan,
kesultanan-kesultanan di kepulauan Nusantara mempunyai material yang mumpuni
untuk mengirimkan kapal-kapal mereka menuju Hijaz untuk mengantarkan
orang-orang lokal beribadah haji. Di antara mereka yang berangkat tidak hanya
berhaji saja, namun juga menggunakan kesempatan langka mereka ke tanah suci
untuk menuntut ilmu-ilmu Islam.
Pada
abad ke-16, Khilafah Utsmaniyah menjamin keamanan di darat maupun laut wilayah
Islam. Sultan Suleyman al-Qanuni bahkan merambah pengawasan angkatan lautnya ke
Samudera Hindia, sampai ke Kesultanan Aceh Darussalam. Hal ini membuat perdagangan
dan aktivitas haji di Haramayn menjadi ramai. Para pendatang itu bahkan banyak
yang memutuskan untuk tinggal di Haramayn. Azra, meminjam istilah J.O. Voll,
membagi segmen para pendatang Haramayn menjadi tiga; little immigrants
(muhajirun shighar), grand immigrants (muhajirun kibar), dan transmitter (al-rihal).
Yang pertama, muhajirun shighar, yakni mereka yang datang ke Haramayn
kemudian tinggal di sana karena terlantar dan tidak punya bekal untuk pulang, seperti
yang terjadi pada Sa’id bin Yusuf al- Hindi, seorang pembentang tikar di Masjid
Nabawi. Muhajirun shighar tidak mempunyai indikasi bahwa mereka adalah
ulama yang punya peran dalam jaringan. Yang kedua, muhajirun kibar,
yakni para pendatang yang sebelum kedatangannya ke Haramayn telah mempunyai
dasar yang baik dalam keIslaman. Mereka datang ke Haramayn selain untuk berhaji
juga untuk memperdalam ilmunya di pusat keilmuan Dunia Islam ini. Yang ketiga adalah
para al-rihal, yakni mereka yang datang ke Haramayn, sebagaimana muhajirun
kibar, untuk memperdalam keilmuan mereka. Bedanya, mereka tidak
menghabiskan sisa umurnya di Haramayn saja, melainkan segera pulang ke tempat
asalnya masing-masing untuk kemudian membangun masyarakat di tanah airnya.[7]
Kehadiran para penuntut ilmu dari Nusantara ini membuat mereka
secara khusus dikenal oleh penduduk Makkah dan Madinah sebagai komunitas
“Jawi”. Penyebutan Jawi ini bukan hanya khusus digunakan untuk mereka yang
berasal dari pulau Jawa, namun lebih luas lagi untuk setiap mereka yang
berbangsa Melayu. Entah seseorang itu berasal dari Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Semenanjung Malaya, bahkan Pattani di Thailand Selatan, mereka semua
disebut sebagai orang-orang Jawi. Kuantitas banyaknya orang-orang Jawi yang ada
di Hijaz pada abad ke-17 bisa dibuktikan dengan adanya sebuah kitab ulama yang
dikarang khusus untuk ashab al-Jawi. Sebut saja Syaikh Ibrahim bin Hasan
Syahrani al-Madani al-Qurani (1615-1690 M), ulama yang digelari syaikh
al-syuyukh di Masjid Nabawi Madinah ini mengarang kitab untuk memecahkan
masalah-masalah orang Jawa (al-masa’il al-jawiyyah) berjudul Ithaf
al-Dzaki bi Syarhi al-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi. Ini adalah sebuah
kitab syarah yang menjelaskan dan mengomentari kitab Tuhfah al-Mursalah ila
al-Nabi, sebuah risalah tasawuf karya pengarang India, Syaikh Muhammad bin
Fadhlullah al-Burhanpuri (w. 1619).
Dalam muqaddimah kitabnya, Syaikh Ibrahim al-Qurani
menjelaskan bahwa ia menulis kitab itu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan salah seorang murid Jawinya. Murid Jawinya yang diduga sebagai
Syaikh Abdur-Ra’uf al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili (1615-1693 M) ini mengabarkan,
bahwa di kalangan penduduk tanah Jawi ajaran-ajaran tasawuf yang menekankan “hakikat”
menyebar begitu luas, dan yang paling terkenal di antaranya adalah Tuhfah
al-Mursalah karya al-Burhanpuri. Begitu populernya, bahkan kitab itu
dijadikan kitab pegangan untuk studi Islam di pesantren-pesantren. Tetapi
buku-buku yang mengandung ajaran ini menimbulkan masalah tersendiri di kalangan
penduduk tanah Jawi, karena banyak di antara mereka yang kurang memiliki
pemahaman yang benar tentang syariah sebelum mengenal ajaran-ajaran hakikat.
Akibatnya, banyak yang menyimpang dari jalan yang benar.[8]
Tashawwuf al-Jadid
Sebelum kita makin berfokus tentang hubungan Hijaz-Nusantara pada
abad ke-19, ada baiknya kita membahas tentang gambaran umum tentang Islam di
pusatnya Timur Tengah pada pada abad-abad sebelumnya. Nusantara sebagai wilayah
pinggiran (periferal) dunia Islam mungkin menjadi wilayah yang paling sedikit
mengalami Arabisasi. Walau begitu, perkembangan Islam di Nusantara pasti
seiring sejalan dengan perkembangan Islam di Timur Tengah. Dalam konteks ini,
jaringan ulama internasional (syubkah al-ulama al-duwali) yang berpusat
di Hijaz memainkan peranan penting untuk mengirimkan impuls-impuls pembaruan
Islam ke wilayah pinggiran semacam Nusantara.[9]
Semenjak penaklukkan Islam mencapai wilayah yang sebelumnya
mempunyai konsep pemikiran matang seperti Yunani dan India dengan filsafatnya,
mau tak mau kaum Muslimin akan bersinggungan dengan pemikiran penduduk setempat
yang mengemban filsafat-filsafat mereka. Pada awalnya, kaum Muslimin
menggunakan filsafat Yunani dan India untuk ‘menyerang’ keyakinan mereka menggunakan
cara berpikir filsafat sendiri. Namun lambat laun filsafat-filsafat tersebut
malah menjangkiti cara berpikir kaum Muslimin dalam memahami
permasalahan-permasalahan akidah. Output dari penggunaan filsafat dalam
memahami akidah yang nantinya berimplikasi pada kaum Muslimin adalah munculnya
madzhab-madzhab teologi seperti Mu’tazilah dan Jabariyah dalam pola pikir dan
mistisisme tashawwuf (usaha untuk mendekatkan diri dengan Tuhan sampai mencapai
persatuan antara makhluq dan khaliq [wihdat al-wujud])
dalam pola sikap kaum Muslimin.
Kerancuan dalam memahami Islam itu terus melanda kaum Muslimin
sampai usaha untuk mengembalikan syari’ah dalam konsep mensucikan hati ala tashawwuf
mistisisme digalakkan pada akhir abad ke-4 M, sebagaimana yang dilakukan oleh
al-Kharraz dan Junayd al-Baghdadi. Begitu juga pada abad ke-5 M, para ulama
sufi seperti al-Sarraj dan al-Kalabadhi menggagas suatu konsep tashawwuf yang
tetap memegang teguh syari’at. Gerakan pembaruan tashawwuf ini mencapai
puncaknya ketika Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) dalam magnum opus-nya
seperti kitab Ihya ‘Ulumuddin berhasil memadukan antara tashawwuf yang
bertujuan untuk penguatan iman dalam batas-batas syariah guna mencapai
kemurnian batin. Motif moral tashawwuf diperkuat, dan beberapa teknik dzikir
dan muraqabah juga diambil, namun mereka diidentifikasi dengan doktrin-doktrin
syariah. Perkembangan inilah yang memunculkan apa yang disebut oleh Fazlur
Rahman sebagai neo-sufisme (tashawwuf al-jadid).[10]
Model keilmuan
Islam seperti itulah yang kemudian populer di kalangan ulama Hijaz pada abad
ke-17. Haramayn dengan keistimewaannya yang menjadi tempat berkumpul umat Islam
dari berjuta bangsa dan bahasa setiap tahun ini, menjadikan jaringan keilmuan
yang berkembang di sana bersifat kosmopolitan. Walaupun lembaga pendidikan di
Haramayn seperti madrasah dan ribath di Haramayn jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan kota-kota Islam lainnya seperti Damaskus, Kairo, Zabid,
Isfahan, dsb, namun dengan sifat kosmopolitannya ini menjadikan lembaga-lembaga
pendidikan di Haramayn mampu berumur lebih panjang dibandingkan dengan
lembaga-lembaga pendidikan di kota-kota Islam lainnya. Dari madrasah, ribath,
serta halaqah yang ada di Haramayn inilah, jaringan ulama Timur Tengah yang
menghubungkannya dengan ulama-ulama di Nusantara mulai terjalin. Ulama non-Hijazi
yang menjadi penghubung terpenting dalam transmisi/jaringan ulama pada abad ke-17
adalah Syaikh Shibghatullah al-Barwaji (w. 1015/1606) dan Syaikh Ahmad
al-Syinnawi. Mereka berdua adalah guru dari Syaikh Ibrahim al-Qurani, penulis
kitab Ithaf al-Dzaki yang sudah penulis jelaskan secara ringkas
sebelumnya.
Keilmuan Islam bercorak tashawwuf al-jadid ini terus
tertransmisikan dalam jaringan ulama sampai tersambung kepada ulama-ulama
Nusantara di abad ke-17, seperti Nuruddin al-Raniri, Abdur-Ra’uf as-Sinkili,
dan Yusuf al-Maqassari. Dimana isnad keilmuan mereka tersambung ke al-Qurani,
al-Syinnawi, Shibghatullah, sampai ke ulama muhaddits yang mahsyur seperti Jalaluddin
as-Suyuthi dan Ibnu Hajar al-Asqalani.
Ulama Nusantara yang mula-mula menyebarkan ajaran Islam bercorak tashawwuf
al-jadid ini adalah Nuruddin al-Raniri yang perannya tidak dapat dilupakan di Aceh.
Berasal dari Ranir, India, al-Raniri memulai petualangan intelektualnya dengan
menuntut ilmu kepada para ulama yang berperan dalam jaringan di Haramayn,
sampai pengembaraannya itu bermuara ke Kesultanan Aceh yang saat itu tampuk
kekuasaan sedang dipegang oleh Sultan Iskandar II. Di Aceh ini, ar-Raniri
terlibat pertarungan intelektual seru melawan paham wihdatul-wujud yang diusung
oleh Hamzah al-Fanshuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Sebelumnya perlu
diketahui, ar-Raniri membagi paham wihdatul wujud menjadi dua, yakni wujudiyyah
mulhid (kesatuan wujud ateistis) dan wujudiyyah muwwahid (kesatuan
wujud unitarisme). Wujudiyyah mulhid meniscayakan kesatuan zat makhluq
dan khaliq, sedangkan wujudiyyah muwwahid membuat pemisahan yang
jelas antara makhluq dan khaliq, sedangkan kesatuan di antara
keduanya diumpamakan seperti “tangan dan bayangan”, satu kesatuan namun secara
zat tidak mungkin sama. Al-Fanshuri dan as-Sumatrani yang mengusung paham
wujudiyyah mulhid ini dinyatakan kafir oleh ar-Raniri dan mereka berdua pun
dijatuhi hukuman mati serta buku-buku mereka dibakar di depan Masjid
Baiturrahman. Walaupun pemikirannya sama, Abdur-Ra’uf as-Sinkili tidak
menggunakan pendekatan setegas al-Raniri dalam menentang paham wihdatul-wujud,
namun lebih ke pendekatan yang lebih halus.
Aktivitas Yusuf al-Maqassari jauh lebih mendebarkan karena dirinya
tidak hanya bergulat di bidang intelektualisme sebagaimana ar-Raniri dan
as-Sinkili, namun al-Maqassari juga turut memanggul senjata memimpin perlawanan
bersama Sultan Ageng Tirtayasa head-to-head melawan kaum kafir Belanda
yang berkoalisi dengan Sultan “Haji” Abdul Qahhar di Banten. Walaupun pihaknya
kalah dan al-Maqassari sendiri dibuang ke Ceylon (Srilangka), dirinya terus
berjuang dengan pena dan diam-diam mentransmisikan semangat jihad kepada para jamaah
Haji dari Nusantara yang transit di Ceylon. Pihak Belanda yang menyadari hal
ini merasa terancam dan mencoba membungkam al-Maqassari dengan lebih keras
lagi; yaitu pembuangan ke tempat yang lebih jauh, Cape Town di Afrika Selatan.
Tak pelak, aktivitas ar-Raniri, as-Sinkili, dan al-Maqassari dimana
mereka adalah para sufi yang juga memimpin beberapa tarekat ini menjadi argumen
Azra untuk menolak pendapat kaum modernis yang kerap menuduh kaum sufi sebagai penyebab
utama kemunduran Islam dengan kepasifannya itu. Buktinya, ketokohan ketiga ulama
itu –al-Raniri, al-Sinkili, al-Maqassari- sebagai tokoh sufi dan pemimpin
tarekat tak menghentikan mereka untuk beraktivitas keduniawian, yaitu
berpolitik dan berjihad. Jejak mereka pun diikuti oleh ulama-ulama Nusantara
berikutnya di abad ke-18 seperti Abdush-Shamad al-Falimbani, Muhammad Arsyad
al-Banjari, juga Dawud bin Abdullah al-Fathani yang getol berpolitik dan
menggelorakan semangat jihad melawan kafir Protestan Belanda di Jawa dan Borneo
dan Buddha Thai di tanah Pattani.
Hijaz dan Konfrontasi Belanda-Kaum Muslim Abad ke-19
Abad ke-19
merupakan sebuah abad yang penuh dengan rentetan konfrontasi urat syaraf sampai
berdarah-darah antara kaum Muslim di Nusantara dengan kekuatan penjajah
kolonial Belanda. Sebut saja misalnya Perang Paderi (1809-1837), Perang
Diponeogoro (1825-1830), pertempuran Lampung Raden Imba II dan Raden Intan II
(1832-1856), pemberontakan di Kalimantan Selatan (1859), kasus Haji Ripangi
Kalisalak (1859), Perang Aceh (1873-1903), juga yang tak kalah pentingnya
adalah perlawanan para ulama dan santri dalam Pemberontakan Cilegon (1888).
Dalam pertempuran-pertempuran di atas, pengaruh orang-orang yang telah berhaji
terhadap penggeloraan semangat jihad akan kaum kafir baik secara langsung
maupun tidak langsung tidak bisa dilupakan.
Perang Paderi
yang berlangsung selama hampir tiga puluh tahun merupakan perlawanan antara
kaum Paderi dengan kaum Adat yang dibekingi oleh Belanda. Gerakan pembaruan
Islam di oleh kaum Paderi itu tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Surau Ulakan
Tarekat Syattariyah yang dipimpin oleh ulama kharismatik Tuanku Nan Tuo, dimana
sanad kelimuan Tuanku Nan Tuo kalau ditarik akan sampai kepada Abdur-Ra’uf
al-Sinkili yang mempunyai jaringan keilmuan dengan ulama-ulama Haramayn.
Tahun 1802,
alam Minangkabau kedatangan tiga sosok anak bangsa yang kini telah menyandang
status haji. Kepulangan Haji Miskin dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji
Abdurrahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh), dan Haji Muhammad Arief dari
Sumanik (Luhak Tanah Datar) ke Minangkabau menjadi momen penting dalam
pembentukan gerakan Paderi. Kebetulan selama mereka bertiga ada di Hijaz,
gerakan Wahhabi yang 58 tahun sebelumnya disemai dalam bentuk kerjasama antara
Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) sebagai pemimpin spiritual dan Muhammad
bin Su’ud (w. 1765) sebagai pemimpin politik kaum Wahhabi sedang menjadi
pembicaraan di Jazirah Arab, tersebab pembaruan mereka yang sporadis dan
menggemparkan.
Di tahun yang
sama dengan tahun kepulangan tiga haji Minangkabau, kaum Wahhabi berhasil
merebut Hijaz secara berturut-turut mulai dari kota Tha’if (1802), Makkah
al-Mukarramah (1803), dan Madinah al-Munawwarah (1804).[11] Bisa
jadi, semangat pembaruan gerakan Wahhabi menginspirasi Haji Miskin, Haji
Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arief untuk membentuk gerakan serupa untuk
melawan kemungkaran kaum Adat sekaligus penjajahan kaum kafir Belanda di
Sumatera Selatan. Gerakan Paderi terus berkembang sampai tiba masanya mereka
mengangkat senjata dalam tiga fase pertempuran: perlawanan antara kaum Paderi
dengan kaum Adat (1809-1821), perlawanan kaum Paderi melawan kaum Adat dan
Pemerintah Kolonial Belanda (1821-1832), dan fase pertempuran dimana akhirnya
kaum Paderi dan kaum Adat bersatu padu melawan kekuatan Belanda (1832-1837).[12]
Walaupun perlawanan kaum Paderi dan rakyat Minangkabau berujung pada kekalahan,
para pejabat Belanda tetap dibayang-bayangi perasaan takut mendapati kenyataan
bahwa pengaruh Pan-Islamisme begitu kuat di kalangan masyarakat Minangkabau.
Schrieke melaporkan bahwa seorang syaikh di Minangkabau membawa bendera
Khilafah Utsmaniyah sepulangnya dari Makkah pada 1850.[13]
Di Jawa, perlawanan pangeran Diponegoro yang dahsyat menguras kas
Pemerintah Kolonial Belanda sebanyak 20.000.000 gulden dan menewaskan sekitar
15.000 pasukan Belanda. Agustus 1825, sebelum memulai pertempurannya yang
panjang selama lima tahun itu, Diponegoro mengumpulkan pasukannya di Selarong.
Peter Carey mengumpulkan nama-nama mereka yang berkumpul di hari itu dari
berbagai sumber, dan mendapati bahwa kebanyakan dari mereka adalah golongan
santri. Sebanyak 22 orang adalah orang-orang yang baru saja selesai
melaksanakan ibadah haji di Makkah, dimana 17 orang di antaranya tercatat
sebagai Syaikh atau Syarif, sebutan untuk orang-orang yang mengaku sebagai keturunan
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.[14]
Kembali ke Sumatera, Kesultanan Aceh Darussalam bersitegang dengan
tingkah pongah Pemerintah Kolonial Belanda yang menaklukkan satu per satu
kesultanan-kesultanan yang berada dalam patronase Aceh mulai dari Sumatera
Selatan sampai ke Sumatera Utara. Perang urat syaraf itu akhirnya memuncak
ketika Belanda mengultimatum Aceh untuk berperang secara terbuka pada tahun
1873. Kaum Muslimin di Aceh mendapat stimulus perlawanan dari dorongan jihad
membela agama yang membuncah-buncah, dan salah satu faktor yang menumbuhkan
semangat jihad itu ialah energi dari kumpulan sya’ir yang dikarang oleh Tengku
Chik Pante Kulu yang bernama asli Haji Muhammad. Beliau menulis kumpulan
sya’irnya yang diberi judul Hikayat Prang Sabil dalam perjalanan
pulangnya dari Makkah pada tahun 1880.
Berita akan pertempuran Aceh juga menjadi perbincangan di dunia
Islam internasional. Basiret, koran yang terbit di Istanbul, menjadikan topik
perang Aceh sebagai headline news. Bahkan harian Reuters yang hari ini
masih eksis pernah memberitakannya di Inggris.[15] Begitu
pula di Hijaz. Muhammad Salih, seorang Sumatra yang mukim di Makkah menyebutkan
dalam suratnya, bahwa beberapa syaikh Jawi telah bertemu di tempat seorang
syaikh dari Betawi untuk mendiskusikan perihal perang Aceh dan menyatakan
oposisinya terhadap Belanda.[16]
Karena pengalaman perang bertubi-tubi dengan kekuatan Islam di
negeri jajahannya, Pemerintah Kolonial Belanda mulai lelah dan memutar otaknya
untuk mencari cara agar kekuatan Islam bisa dicegah. Belanda sadar, keberadaan
para haji yang baru pulang dari Makkah bertanggungjawab atas semua kerugian
yang dialami pemerintahan kolonial.[17]
Ibadah haji yang mensyari’atkan para pelakunya untuk melaksanakan haji bagi
yang mampu (man-istatha’a) pastilah dilakukan oleh mereka yang mempunyai fisik
yang prima dan ekonomi yang mumpuni. Ketika sampai di tanah suci pastilah
mereka akan berinteraksi dengan sesama kaum Muslim dari seluruh penjuru dunia
dan saling berbagi akan kondisi masing-masing negeri. Salim A. Fillah
membahasakannya dengan, “memandang keluar membaca bentang dunia luas, serta
merenung ke dalam memikirkan diri dan bangsanya, jiwa-jiwa imani itu pasti akan
membawa pulang nyala api perjuangan untuk tanah airnya.” Snouck mencibir dan
menggerutu dalam masalah ini, “di antara massa haji yang berjumlah besar dan
tak terdidik selalu ada saja orang-orang yang menyerap benih fanatisme kasar
dari ibadah haji.”[18]
Keluhan yang sama juga disampaikan oleh pejabat-pejabat Belanda yang lain,
seperti de Vicq misalkan, konsul jenderal Belanda di Jeddah yang pada tahun
1885 menulis,
“keikursertaan
warga Hindia-Belanda dalam ibadah haji dan perpanjangan masa tinggal mereka di
negeri ini (Hijaz), sebagai ancaman bagi kewenangan Belanda di Hindia-Belanda,
dan semua orang pasti setuju dengan saya dan menyesalkan bahwa ratusan ribu
gulden setiap tahun dikirim dari Hindia-Belanda untuk memberi makan orang-orang
yang menganggur di Hijaz atau... mengisi kantung uang pemerintah Turki.
(maksudnya adalah sumbangan ‘sukarela’ [tetapi kenyataannya paksaan] dari semua
jamaah untuk membangun saluran air ke Jeddah, ini dilaporkan dalam surat yang
sama)”[19]
Sehubungan dengan itu, Makkah dapat dianggap sebagai kepanjangan
tangan dari Istanbul untuk menyebarkan gagasan Pan-Islamisme (ittihad
al-Islam) yang merupakan kebijakan politik dari Sultan Abdul Hamid II.
Kekuatan Islam dalam pentas politik internasional sudah menurun pamornya
semenjak faktor-faktor internal maupun eksternal yang melemahkan Islam
menggerogoti Khilafah Utsmaniyah. Salah satu di antara faktor yang melemahkan
itu adalah ditiupnya pemikiran-pemikiran asing seperti nasionalisme,
liberalisme, sekulerisme, dan lain-lain ke dalam benak umat Islam. Paham-paham
yang demikian menjadikan umat Islam tercerai berai dan menempatkan identitas
kebangsaannya lebih tinggi daripada identitas agamanya. Ketika Sultan Abdul
Hamid II naik takhta pada 1873, beliau memandang urgensitas umat Islam yang
saat itu berantakan adalah menyatukan kepemimpinan politik umat Islam di bawah
Khalifah. Setahun sebelum beliau naik takhta pun, perasaan bahwa kaum Muslim
dari berbagai dunia adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan tetap
didengungkan oleh orang-orang Muslim. Hal itu yang berulang kali didengar oleh
Konsul Belanda di Jeddah dari Pasha Turki dan para bawahannya yang mengatakan
bahwa Aceh merupakan bagian dari Khilafah Utsmaniyah.[20]
Kekhawatiran Belanda akan ancaman Pan-Islamisme membuat mereka
mengeluarkan kebijakan yang mengatur permasalahan haji. Peraturan tersebut
pertama kali keluar pada tahun 1825. Resolusi 1825 diarahkan pada pembatasan
kuota haji dan mengawasi gerak-gerik jama’ah. Tarif untuk naik haji dinaikkan
menjadi sebesar f.110, termasuk paspor ibadah haji yang diwajibkan untuk setiap
jamaah.[21]
Aturan ini dinilai gagal. Dengan adanya peraturan tersebut justru para jamaah
malah pergi secara sembunyi-sembunyi, mencari jalan lain agar terbebas dari
beban yang mahal.[22]
Peraturan mengenai haji terus dievaluasi dan mengalami perubahan pada tahun
1827, 1830, 1831, 1850, 1859, 1872, dan tahun 1922.
Mendapati kebijakan yang dibuat mengenai haji tidak efektif, maka Pemerintah
Kolonial Belanda mencari cara lain. Akhirnya mereka terdorong untuk menugaskan
Christiaan Snouck Hurgronje agar bekerja dalam badan baru yang dibuat Belanda, Kantoor
voor Inlandsche en Arabische Zaken (KIAZ), sebagai Penasehat Urusan Pribumi
dan Arab. Snouck dipandang sangat cocok untuk bekerja dalam posisi itu
mengingat perannya sebagai Islamologis terkemuka dari Universitas Leiden. Debut
pertama Snouck dalam bidang studi Islam adalah disertasi doktoralnya yang
berjudul Het Mekkaansche Feest (Perayaan Makkah). Untuk penelitian
disertasi itu Snouck sampai pergi ke Makkah langsung dan tinggal di sana.
Mengingat Makkah sebagai Tanah Haram dan Tanah Suci kaum Muslim, tidak ada yang
boleh memasukinya kecuali dia seorang Muslim. Untuk itu, Snouck berpura-pura
masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar al-Hullandi. Snouck
menjadi harapan bagi Pemerintahan Kolonial Belanda di Hindia-Belanda untuk
menangani permasalahan Islam yang pelik bagi penjajahan, di samping karena
Snouck mengerti betul akan Islam, ia juga mempunyai visi untuk mengubah
masyarakat terjajah dengan pandangan hidup liberalisme ala Eropa abad ke-19.[23]
Menurut Snouck, pemerintah kolonial Belanda harus membedakan Islam
dalam arti “ibadah” dengan Islam sebagai kekuatan “sosial politik”. Dalam
paparannya yang lebih lanjut, Islam setidaknya memiliki tiga kategori, yakni:
Islam sebagai agama murni (ibadah), Islam dalam bentuk sosial kemasyarakatan,
dan Islam politik. Untuk Islam dalam kategori pertama dan kedua, pemerintah
kolonial hendaknya tidak ikut campur tangan, karena keduanya termasuk ke dalam
hak kemerdekaan setiap warga. Bahkan untuk kategori bidang sosial dan
kemasyarakatan, pemerintah kolonial kerap memanfaatkan adat kebiasaan yang
berlaku untuk diarahkan pada kegiatan yang mendekatkan rakyat kepada Belanda.
Tetapi untuk Islam kategori ketiga, pemerintah kolonial harus mengupayakan
setiap daya dan tenaga untuk mencegah agar hal tersebut tidak sampai ada dan
bertumbuh kembang.[24]
Usulan Snouck ini sejatinya merupakan paham sekulerisme yang saat itu sedang
berkembang di Eropa semenjak masa Renaissance yang meniscayakan pemisahan
antara aturan agama dari urusan dunia. Bagi orang-orang Eropa dari masa
Renaissance sampai masa Snouck –bahkan sampai hari ini, agama cukup menjadi
urusan privat masing-masing orang. Agama tidak boleh menjadi dasar pengaturan
masyarakat karena ia merupakan urusan individu.
Rencana Snouck tidak berjalan mulus. Snouck seolah lupa bahwa
orang-orang Muslim yang bergiat di Islam Politik tidak akan tinggal diam dengan
kebijakannya. Selain dari dalam negeri, ancaman terhadap kekuasaan Belanda di
Nusantara juga didengung-dengungkan di ibukota Khilafah Utsmaniyah, Istanbul.
Setidaknya itulah yang didengar oleh Charles Keun, konsul jenderal Belanda di
Teheran ketika sedang berada di Istanbul. Tak sengaja ia mendengar percakapan
antara dua orang Arab dari Makkah, yang kemudian diikuti oleh seorang Makkah
yang berbahasa Melayu pada November 1880. Di antara yang mereka perbincangkan
adalah, bahwa bangsa Turki, yang terus merasa terancam oleh kekuatan Eropa,
akan balik menyerang, dan memilih mati sebagai syuhada ketimbang menanggung
hinaan lebih lama lagi. Bagian dari proyek mereka adalah “merevolusikan
Hindia-Belanda dan India-Inggris. Proklamasi yang ditujukan kepada penduduk
pribumi sudah dicetak, dan langkah selanjutnya sudah disiapkan di Makkah.[25]
Sampai abad ke-20, Pemerintah Belanda masih suka direpotkan dengan
ancaman-ancaman Pan-Islamisme yang datang baik dari Istanbul maupun Makkah.
Ketika Khilafah Utsmaniyah runtuh pada 3 Maret 1924, dunia Islam gempar. Di
beberapa tempat muncul gerakan reaksioner untuk menegakkan kembali Khilafah,
seperti di India dengan Khilafat Movement, Mesir, dan Hijaz yang kini sudah di
bawah penguasaan total dinasti Saudi. Ketika diselenggarakan Muktamar Khilafah
yang diselenggarakan oleh para ulama al-Azhar di Mesir setahun berikutnya, kaum
Muslim di Hindia-Belanda mengirim utusan untuk menghadiri kongres tersebut.
Ketika Muktamar Khilafah di Mesir ini berujung kebuntuan, setahun berikutnya
diadakan lagi mukatamar yang serupa di Makkah pada 1 Januari 1926 oleh Raja
Saudi Ibnu Saud. Utusan yang berangkat dari Hindia-Belanda kali ini adalah
H.O.S. Tjokroaminoto dari Partai Sarekat Islam dan Haji Mas Mansur dari
Muhammadiyah. Walau muktamar kali ini tak membuahkan hasil lagi, tapi hal ini
menjadi sebab lahirnya Nahdhatul Ulama (NU).[26]
Tjokroaminoto beserta istri dan keluarganya menaiki kapal SS Rondo menuju Jeddah, 1926. (Sumber: Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia; The Umma Below the Winds, hal. 226) |
Walau politik Islam menjadi makin goyah, namun komunitas keillmuan ashab
al-Jawi di Haramayn masih menunjukkan eksistensinya sampai tahun 1990. Pada
tahun 1934, Sayyid Muhsin al-Falimbani mendirikan Madrasah Dar al-Ulum
al-Diniyyah yang terletak di Syi’b Ali, Makkah. Madrasah ini khusus menampung
murid-murid Jawi yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan
lain-lain. Di antara tenaga-tenaga pengajarnya adalah Sayyid Muhsin sendiri,
lalu Amir Tengku Mukhtar, Muhsin al-Musawi, Zubair Ahmad al-Mandili, Abdur
Rasyid al-Falimbani, Abdul Wahid al-Jambi, Ya’qub Firaq, Raden Atmojo, Abdul
Majid, sampai yang paling mahsyur adalah Syaikh Yasin al-Faddani[27],
ahli hadits kontemporer dari Padang yang darinya mufti Mesir hari ini, Syaikh
Ali Jum’ah berguru.
Wallahu ta'ala a'lam bi al-shawwab .
[1] Untuk
melihat perdebatan antarsarjana dalam masalah ini, lihat Azyumardi Azra, Syubkah
al-Ulama: Harakah al-Tawashil baina al-Syarqi al-Awsath wa al-Arakhbil fi
al-Qarnain al-Sabi’ ‘Asyar wa al-Tsamin ‘Asyar al-Miladiyyah (Jakarta:
Markaz al-Dirasat al-Islamiyyah wa al-Ijtima’iyyah [PPIM] IAIN Jakarta) hal.
1-14
[2] Azra, Syubkah
al-Ulama, hal. 6
[3] Eugene
Rogan, Dari Puncak Khilafah: Sejarah Arab-Islam Sejak Era Kejayaan Khilafah
Utsmaniyah, terj. Fahmy Yamani (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2017), hal.
26-27
[4] Michael
Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below The
Wind, (London: Taylor & Francis e-Library, 2003), hal. 17-18
[5] S.M.
Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (file pdf),
hal. 29
[6] Merle C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono,
(Gadjah Mada University Press, 1999), hal. 12
[7] Ahmad
Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid I, (Bandung: Penerbit
Salamadani, 2012), hal. 148-151
[8] Setelah
masa Utsman, Khalifah Ali bin Abi Thalib (k. 656-661 M) memindahkan ibukota
Khilafah ke kota Kufah di Irak. Ketika bani Umayyah menguasai Khilafah, ibukota
Islam berpindah ke Damaskus.
[9] Azra, Syubkah
al-Ulama, hal. 14
[10] Azra, Syubkah
al-Ulama, hal. 19. Kitab-kitab klasik yang meriwayatkan khabar ini adalah
kitab al-Hayawan oleh al-Jahizh (783-869 M), kitab al-Aqd al-Farid
oleh Ibn Abdir Rabbih al-Andalusi (860-940 M), dan kitab al-Nujum al-Zahirah
fi Muluk Mishr al-Qahirah oleh Ibn al-Tighribirdi
[11]
Azra, Syubkah al-Ulama, hal. 53
[12]
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), hal. 130
[13] Azra, Renaisans
Islam.., hal. 121
[14] Azra, Syubkah
al-Ulama, hal. 88-89
[15] Lihat:
Madawi al-Rasheed, A History of Saudi Arabia, (New York: Cambridge
University Press, 2002)
[16] Nico J.
G. Kaptein (ed.), Kekacauan dan Kerusuhan: Tiga Tulisan tentang
Pan-Islamisme di Hindia-Belanda Timur Pada Akhir Abad XIX dan Awal Abad XX,
(Jakarta: INIS, 2003), hal. 10
[17] Peter
Carey, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2016), hal. 317
[18] Kaptein,
Kekacauan dan Kerusuhan..., hal. 15
[19] Laffan,
Islamic Nationhood.., hal. 41
[20] Harry
J. Benda, Christiaan Snouck Hurgronje and The Foundations of Dutch Islamic
Policy in Indonesia, dalam Readings on Islam in Southeast Asia,
(Singapore: ISEAS, 1985), hal. 62
[21] Dikutip
dari Kaptein, Kekacauan dan Kerusuhan.., hal. 89
[22] Dikutip
dari Kaptein, Kekacauan dan Kerusuhan.., hal. 89
[23] Kaptein,
Kekacauan dan Kerusuhan..., hal.
13
[24] M. Dien
Madjid, Berhaji di Masa Kolonial, (Jakarta: CV Sejahtera, 2008), hal.
83-84
[25] Madjid,
Berhaji di Masa..., hal. 90
[26] Benda, Christiaan
Snouck..., hal. 62
[27] Muhammad
Shoheh, Cerita Perbantahan Dahulu Kala; Pembelaan dan Sanggahan Tuanku nan
Garang Atas Kritik Sayyid Utsman bin Yahya bin Aqil Tahun 1885, (JUMANTARA
– Jurnal Manuskrip Nusantara Vol. 4 No. 1 Tahun 2013), hal. 3
[28] Kaptein,
Kekacauan dan Kerusuhan..., hal.
93
[29]
Suryanegara, Api Sejarah..., 466-468
[30] Azra, Renaisans
Islam.., hal. 155-156
Online Baccarat | A beginners' guide | febcasino.com
BalasHapusPlay kadangpintar online Baccarat with a real dealer and find out what makes online Baccarat 1xbet korean so febcasino exciting.