My Teritory

Kamis, 16 Agustus 2018

Nostalgia Iman, Cinta, dan Ilmu Antara Hijaz dan Nusantara

Ilustrasi Ka'bah, oleh Ali Bey, 1803. (Sumber: Laman Facebook Ottoman Imperial Archive)

Semenjak Islam mulai tegak di atas Bumi pada abad ke-7 M, tanah Arab, khususnya daerah Hijaz, mempunyai keistimewaan tersendiri. Di dalam Hijaz inilah terdapat dua kota yang suci dan disucikan oleh kaum Muslimin, yakni Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah. 

Kota Makkah adalah kota di mana Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan, dibesarkan, kemudian mendapat wahyu al-Qur’an dan disebarkan di tengah manusia. Selain itu, kota Makkah juga dijadikan oleh Allah sebagai kota di mana penyelenggaraan ibadah haji dan umrah berlangsung, dengan Masjid al-Haram dan bangunan Ka’bah sebagai poros utamanya. Sebagai kewajiban utama yang ditetapkan secara mutlak oleh agama untuk berkunjung kepadanya, maka tak pernah sepi-lah kota itu dari kunjungan kaum Muslimin yang datang dari berbagai negara dan bangsa.

Sementara kota Madinah adalah kota tempat Nabi menerima dukungan politik (nushrah) dari suku-suku setempat untuk menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai kepala negara sehingga Nabi dapat menerapkan syariat Islam di sana. Di Madinah pulalah Nabi dimakamkan, kemudian kepemimpinan politik setelah Nabi (Khilafah) diteruskan oleh para Sahabatnya ridwanullahu alaihim. Di samping menjadi pusat politik Islam yang darinya Islam menyebar sampai keluar dari batas Jazirah Arab, Madinah juga menjadi tempat tinggal para Sahabat dan generasi-generasi setelahnya untuk mengajar dan belajar ilmu-ilmu agama. Jadilah kota Madinah sebagai poros ilmu selama berabad-abad.


Ideologi Islam yang mempunyai karakteristik menyebar (spreading) terus merambah negeri-negeri yang jauh dari pusatnya di Hijaz; salah satunya jauh ke Timur, seperti wilayah Indonesia. Masuknya Islam ke Indonesia memicu perdebatan di kalangan para sejarawan. Nama-nama seperti Pijnappel, Snouck Hurgronje, Moquette, Kern, Winstedst, Bousquet, Vlekke, Gonda, Hall, Schrieke, Thomas Arnold, Crawfurd, Keijzer, Fathimi, Niemann, Hollander, Hamka, Naquib al-Attas, dan sebagainya menghiasi buku-buku sejarah tentang dari mana Islam dibawa ke Indonesia? Siapa yang membawakannya? Dan kapan masuknya?[1]

Dari sekian teori yang dikemukakan, salah satu yang dikuatkan oleh mayoritas sejarawan adalah teori Arab, yakni teori yang mengatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia dibawa langsung dari tanah Arab pada permulaan abad Hijriah/abad ke-7 Masehi.[2] Dengan fakta seperti ini, di tambah dengan keistimewaan Hijaz sebagai tempat permulaan Islam dan tempat suci kaum Muslimin, maka orang-orang Islam di Indonesia akan mempunyai hubungan emosional dan spritual yang lebih kuat dengan tanah Hijaz. Maka tak heran, dalam berbagai hikayat, tradisi lisan, tambo, dan sumber-sumber sejarah primer lain Nusantara sering diceriterakan peran tanah Hijaz sebagai tanda Islamisasi yang kuat di suatu daerah. 

Ketika Selim I (k. 1512-1520) dari Kesultanan Utsmaniyah mengalahkan Sultan Mamluk, al-Asyraf Qansuh al-Ghawri, pada pertarungan Marj Dabiq tahun 1516, daerah Hijaz yang tadinya ada di bawah otoritas Mamluk berpindah menjadi di bawah otoritas Utsmaniyah, sehingga dari Selim I sampai Khalifah terakhir Khilafah Turki Utsmani semuanya menyandang gelar Khadim al-Haramain al-Syarifaini, Pelayan Dua Tanah Haram dan Dua Tanah Suci.[3] Para penguasa Islam dari berbagai tempat di Nusantara banyak yang mengirimkan utusan ke Makkah atau Konstantinopel untuk berbai’at kepada Khalifah Turki Utsmani dan mendapat legitimasi sebagai wakil Khalifah di tanah Jawa/Nusantara. Di antara penguasa kesultanan di Nusantara yang tercatat pernah mengirim utusan ke Makkah dan Konstantinopel adalah Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten (1638), Sultan Agung dari Mataram yang mendapat gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana al-Matarami (1641), dan anak dari Sultan Ageng Tirtayasa, Abdul Qahhar yang sepulang dari Timur Tengah mendapat gelar Sultan Haji.

Selain penguasa yang bertandang ke tanah Haram untuk berbai’at dan berhaji, kalangan ulama sudah pasti menjadikan Haramayn sebagai salah satu pusat tempat untuk menuntut ilmu selain kota-kota Islam yang dikenal sebagai pusat keilmuan seperti Baghdad dan Kairo. Eksistensi komunitas Muslim yang tinggal dan menuntut ilmu di Haramayn bisa dibuktikan dengan penyebutan mereka sebagai ba’dha ashabina al-jawiyyin, jama’at al-jawiyyin, dan ahlu biladi Jawah dalam kitab-kitab para ulama Haramayn seperti Syaikh Ibrahim bin Hasan al-Qurani dan Syaikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri.[4]

Ketika orang-orang Belanda, baik sejak masa VOC sampai Pemerintah Kolonial-nya melakukan intervensi politik, ekonomi, dan sosial yang sangat merugikan masyarakat Nusantara, para ulama yang tinggal di Hijaz tidak serta merta diam. Di antara mereka ada yang pulang ke tanah air untuk memperbaiki masyarakat dan melawan penjajah, ada pula yang mendidik dan mengkader orang-orang Nusantara yang datang berhaji dengan ruh jihad agar sepulangnya dari haji ia akan memimpin masyarakat untuk mengangkat senjata melawan penindasan. Ada pula yang secara langsung mengirimkan surat kepada para Sultan dan pangeran di berbagai Kesultanan untuk menyerukan jihad.

Melihat pola ini, pihak Belanda segera bertindak dengan menerbitkan aneka aturan yang menyulitkan kaum Muslimin di Nusantara untuk berangkat berhaji. Peraturan-peraturan itu mulai diperketat kembali ketika Batavia khawatir akan kebijakan pemerintahan Khilafah Utsmaniyah di Konstantinopel pada paruh akhir abad ke-19 yang mengambil kebijakan Pan-Islamisme (Ittihad Islam), kebijakan yang menyerukan kaum Muslim seluruh dunia untuk bersatu di bawah naungan Khilafah, dan melepaskan ketaatan dan ketundukan kepada kekuasaan-kekuasaan kafir penjajah termasuk di antaranya Belanda. Tanah Makkah yang menjadi tempat pertemuan raksasa kaum Muslim seluruh dunia disinyalir oleh Batavia sebagai tempat dimana semangat Pan-Islamisme disebarkan secara masif.


Hubungan Hijaz-Nusantara Sebelum Abad ke-19

Penduduk Nusantara sudah mengetahui eksistensi Makkah sebagai tanah suci kaum Muslim semenjak pertama kali mereka menjadikan Islam sebagai agama mereka. Makkah dan berbagai istilah yang dinisbatkan kepadanya seperti baitullah, masjid al-haram, bakkah, dan sebagainya telah banyak diceritakan dalam al-Qur’an sebagai tempat dimana keluarga Nabi Ibrahim Alaihi al-Salam beraktivitas, dan menjadi poros ritual para pengikut millah Ibrahim yang disebut sebagai haji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَ اَذِنْ النَاسِ بِالحَجِّ يَأتُوكَ رِجَالًا وَّ عَلَى كُلِّ ضَامِرٍيَّأتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.” (Q.S. al-Hajj [22]: 27)

Ayat-ayat tentang ibadah haji dan Makkah yang menjadi tempat ibadah tersebut berlangsung merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari al-Qur’an. Sebagai kitab suci yang senantiasa menjadi pegangan setiap Muslim, al-Qur’an pasti akan pergi sejauh langkah seorang Muslim menyusuri wilayah-wilayah di permukaan Bumi ini. Bisa dipastikan, bahwa al-Qur’an tiba di Nusantara bersamaan dengan agama Islam[1]; dimana jika kita memegang pendapat yang mengatakan Islam masuk ke Nusantara pada abad VII, pasti penduduk Nusantara yang sudah Muslim akan melaksanakan kewajiban untuk berhaji –asal dia mampu- karena kewajiban itu telah tertera dalam al-Qur’an, walaupun belum ditemukan catatan sejarah yang menyebutkan secara sharih akan keberangkatan haji penduduk Nusantara di masa-masa awal kedatangan Islam di kepulauan ini.

Literatur kuno lokal yang menggambarkan hubungan antara Hijaz dan Nusantara baru ditulis menjelang abad ke-18. Hikayat Raja-raja Pasai misalnya, ditulis pada 1814, namun ia mengisahkan tentang ke-Islaman penguasa Kesultanan Samudra Pasai yang pertama, Sultan Malik al-Shalih (w. 1297), yang mendapat peneguhan agama dari penguasa Makkah dan India. Diceritakan, bahwa ‘Khalifah’ Makkah mendengar tentang eksistensi ‘Samudra’ (Sumatera) dan memutuskan untuk mengirim sebuah kapal ke sana untuk memenuhi ‘hadits’ Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menyebutkan kelak ada sebuah kota besar di Timur yang bernama Samudra, yang akan menghasilkan banyak orang suci. Kapten kapal, Syaikh Ismail, singgah di India untuk menjemput seorang sultan yang telah mengundurkan diri dari takhta dan ingin ber-‘uzlah ke negeri yang jauh. Penguasa Samudra, Merah Silu, bermimpi bahwa ia bertemu dengan Nabi dan mendapat pengetahuan tentang Islam dari beliau dengan cara mendapat ludah dari Nabi. Kemudian Nabi memberinya gelar Sultan Malik al-Shalih. Setelah terbangun, sultan yang baru itu mendapati dirinya dapat membaca al-Qur’an dan telah dikhitan. Beberapa lama kemudian kapal yang berangkat dari Makkah pun tiba di Samudra. Ketika mendapati Sultan Malik al-Shalih mengucapkan kalimat syahadatain, Syaikh Ismail melantiknya menjadi penguasa. Setelah mengajari penduduk Samudra tentang Islam, Syaikh Ismail berlayar kembali menuju Makkah, dan mantan Sultan India yang tadinya pergi bersama Syaikh Ismail tetap tinggal di Samudra untuk mengokohkan agama Islam.[2]

Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari juga dikisahkan, bahwa anak-anak Raja Pajajaran Prabu Siliwangi yang lahir dari hasil pernikahannya dengan seorang Muslimah anak syahbandar Cirebon, Nyai Subang Larang, berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Kedua anak Prabu Siliwangi, Walang Sungsang dan Nyai Rara Santang, setelah melaksanakan haji mulai dikenal sebagai Haji Abdullah Iman dan Saripah Mudaim. Walang Sungsang yang kini dikenal sebagai Haji Abdullah Iman kemudian berguru kepada Syaikh Datuk Kahfi yang berasal dari Makkah di sebuah pesantren di Gunung Amparan Jati, Cirebon. Sementara Nyai Rara Santang yang kini bernama Saripah Mudaim diperistri oleh penguasa Mesir, Syarif Abdullah yang kemudian dari pernikahan mereka lahirlah Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati.[3]

Kedua sumber kuno lokal yang terakhir dikutip ini setidaknya menyebutkan Makkah sebagai faktor penting tumbuh kembang dakwah Islam di Nusantara. Sumber-sumber primer yang menyebutkan hubungan antara Timur Tengah/Hijaz dan Nusantara adalah sumber-sumber non-lokal, seperti Cina dan Arab.

Semenjak kedatangan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ke Madinah pada September 622 M sampai masa Khilafah Utsman bin Affan (k. 644-656 M), ibukota negara Islam adalah kota Madinah.[4] Pada masa Khalifah Utsman, dinasti Tang di daratan Cina mencatat dalam risalah Chiu T’ang Shu bahwa pada tahun 651 dan 655 M mereka didatangi oleh utusan dari negeri Arab yang menjelaskan bahwa mereka telah mendirikan sebuah negara Islam dan saat ini yang sedang memimpin adalah khalifah yang ketiga, yang berarti Utsman bin Affan.[5] Utusan-utusan Muslim tidak hanya dikirim ke penguasa Cina saja. Di masa berikutnya para Khalifah juga mengirim utusan-utusan Muslim ke penguasa Sriwijaya yang ada di pulau Sumatera, bahkan di antara raja-raja Sriwijaya itu ada yang memberikan respon balik kepada Khalifah agar dikirimi utusan khusus untuk mengajarinya tentang Islam. Itulah yang dilakukan oleh Maharaja Sri Indrawarman yang kedua suratnya ditemukan dalam diwan (arsip) Bani Umayyah.[6]

Riwayat dari Nu'aim bin Hammad yang menceritakan tentang korespondensi antara Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan 'Malik al-Hind' (Raja India/Sriwijaya). (Sumber: S. Q. Fatimi, Two Letters From The Maharaja to the Khalifah, hal. 126)

 Kaum Muslimin yang datang dari Timur Tengah dan Asia Selatan pada umumnya dan Hijaz pada khususnya datang ke Nusantara dengan berbagai faktor, mulai dari perdagangan sampai menyebarkan dakwah Islam ke penduduk setempat. Karena kemajuan yang pesat dalam pengelolaan sumber daya alam dan perdagangan, kesultanan-kesultanan di kepulauan Nusantara mempunyai material yang mumpuni untuk mengirimkan kapal-kapal mereka menuju Hijaz untuk mengantarkan orang-orang lokal beribadah haji. Di antara mereka yang berangkat tidak hanya berhaji saja, namun juga menggunakan kesempatan langka mereka ke tanah suci untuk menuntut ilmu-ilmu Islam.

Pada abad ke-16, Khilafah Utsmaniyah menjamin keamanan di darat maupun laut wilayah Islam. Sultan Suleyman al-Qanuni bahkan merambah pengawasan angkatan lautnya ke Samudera Hindia, sampai ke Kesultanan Aceh Darussalam. Hal ini membuat perdagangan dan aktivitas haji di Haramayn menjadi ramai. Para pendatang itu bahkan banyak yang memutuskan untuk tinggal di Haramayn. Azra, meminjam istilah J.O. Voll, membagi segmen para pendatang Haramayn menjadi tiga; little immigrants (muhajirun shighar), grand immigrants (muhajirun kibar), dan transmitter (al-rihal). Yang pertama, muhajirun shighar, yakni mereka yang datang ke Haramayn kemudian tinggal di sana karena terlantar dan tidak punya bekal untuk pulang, seperti yang terjadi pada Sa’id bin Yusuf al- Hindi, seorang pembentang tikar di Masjid Nabawi. Muhajirun shighar tidak mempunyai indikasi bahwa mereka adalah ulama yang punya peran dalam jaringan. Yang kedua, muhajirun kibar, yakni para pendatang yang sebelum kedatangannya ke Haramayn telah mempunyai dasar yang baik dalam keIslaman. Mereka datang ke Haramayn selain untuk berhaji juga untuk memperdalam ilmunya di pusat keilmuan Dunia Islam ini. Yang ketiga adalah para al-rihal, yakni mereka yang datang ke Haramayn, sebagaimana muhajirun kibar, untuk memperdalam keilmuan mereka. Bedanya, mereka tidak menghabiskan sisa umurnya di Haramayn saja, melainkan segera pulang ke tempat asalnya masing-masing untuk kemudian membangun masyarakat di tanah airnya.[7]

Kehadiran para penuntut ilmu dari Nusantara ini membuat mereka secara khusus dikenal oleh penduduk Makkah dan Madinah sebagai komunitas “Jawi”. Penyebutan Jawi ini bukan hanya khusus digunakan untuk mereka yang berasal dari pulau Jawa, namun lebih luas lagi untuk setiap mereka yang berbangsa Melayu. Entah seseorang itu berasal dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, bahkan Pattani di Thailand Selatan, mereka semua disebut sebagai orang-orang Jawi. Kuantitas banyaknya orang-orang Jawi yang ada di Hijaz pada abad ke-17 bisa dibuktikan dengan adanya sebuah kitab ulama yang dikarang khusus untuk ashab al-Jawi. Sebut saja Syaikh Ibrahim bin Hasan Syahrani al-Madani al-Qurani (1615-1690 M), ulama yang digelari syaikh al-syuyukh di Masjid Nabawi Madinah ini mengarang kitab untuk memecahkan masalah-masalah orang Jawa (al-masa’il al-jawiyyah) berjudul Ithaf al-Dzaki bi Syarhi al-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi. Ini adalah sebuah kitab syarah yang menjelaskan dan mengomentari kitab Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi, sebuah risalah tasawuf karya pengarang India, Syaikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri (w. 1619). 

Dalam muqaddimah kitabnya, Syaikh Ibrahim al-Qurani menjelaskan bahwa ia menulis kitab itu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan salah seorang murid Jawinya. Murid Jawinya yang diduga sebagai Syaikh Abdur-Ra’uf al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili (1615-1693 M) ini mengabarkan, bahwa di kalangan penduduk tanah Jawi ajaran-ajaran tasawuf yang menekankan “hakikat” menyebar begitu luas, dan yang paling terkenal di antaranya adalah Tuhfah al-Mursalah karya al-Burhanpuri. Begitu populernya, bahkan kitab itu dijadikan kitab pegangan untuk studi Islam di pesantren-pesantren. Tetapi buku-buku yang mengandung ajaran ini menimbulkan masalah tersendiri di kalangan penduduk tanah Jawi, karena banyak di antara mereka yang kurang memiliki pemahaman yang benar tentang syariah sebelum mengenal ajaran-ajaran hakikat. Akibatnya, banyak yang menyimpang dari jalan yang benar.[8]


Tashawwuf al-Jadid

Sebelum kita makin berfokus tentang hubungan Hijaz-Nusantara pada abad ke-19, ada baiknya kita membahas tentang gambaran umum tentang Islam di pusatnya Timur Tengah pada pada abad-abad sebelumnya. Nusantara sebagai wilayah pinggiran (periferal) dunia Islam mungkin menjadi wilayah yang paling sedikit mengalami Arabisasi. Walau begitu, perkembangan Islam di Nusantara pasti seiring sejalan dengan perkembangan Islam di Timur Tengah. Dalam konteks ini, jaringan ulama internasional (syubkah al-ulama al-duwali) yang berpusat di Hijaz memainkan peranan penting untuk mengirimkan impuls-impuls pembaruan Islam ke wilayah pinggiran semacam Nusantara.[9]

Semenjak penaklukkan Islam mencapai wilayah yang sebelumnya mempunyai konsep pemikiran matang seperti Yunani dan India dengan filsafatnya, mau tak mau kaum Muslimin akan bersinggungan dengan pemikiran penduduk setempat yang mengemban filsafat-filsafat mereka. Pada awalnya, kaum Muslimin menggunakan filsafat Yunani dan India untuk ‘menyerang’ keyakinan mereka menggunakan cara berpikir filsafat sendiri. Namun lambat laun filsafat-filsafat tersebut malah menjangkiti cara berpikir kaum Muslimin dalam memahami permasalahan-permasalahan akidah. Output dari penggunaan filsafat dalam memahami akidah yang nantinya berimplikasi pada kaum Muslimin adalah munculnya madzhab-madzhab teologi seperti Mu’tazilah dan Jabariyah dalam pola pikir dan mistisisme tashawwuf (usaha untuk mendekatkan diri dengan Tuhan sampai mencapai persatuan antara makhluq dan khaliq [wihdat al-wujud]) dalam pola sikap kaum Muslimin.

Kerancuan dalam memahami Islam itu terus melanda kaum Muslimin sampai usaha untuk mengembalikan syari’ah dalam konsep mensucikan hati ala tashawwuf mistisisme digalakkan pada akhir abad ke-4 M, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Kharraz dan Junayd al-Baghdadi. Begitu juga pada abad ke-5 M, para ulama sufi seperti al-Sarraj dan al-Kalabadhi menggagas suatu konsep tashawwuf yang tetap memegang teguh syari’at. Gerakan pembaruan tashawwuf ini mencapai puncaknya ketika Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) dalam magnum opus-nya seperti kitab Ihya ‘Ulumuddin berhasil memadukan antara tashawwuf yang bertujuan untuk penguatan iman dalam batas-batas syariah guna mencapai kemurnian batin. Motif moral tashawwuf diperkuat, dan beberapa teknik dzikir dan muraqabah juga diambil, namun mereka diidentifikasi dengan doktrin-doktrin syariah. Perkembangan inilah yang memunculkan apa yang disebut oleh Fazlur Rahman sebagai neo-sufisme (tashawwuf al-jadid).[10]

Model keilmuan Islam seperti itulah yang kemudian populer di kalangan ulama Hijaz pada abad ke-17. Haramayn dengan keistimewaannya yang menjadi tempat berkumpul umat Islam dari berjuta bangsa dan bahasa setiap tahun ini, menjadikan jaringan keilmuan yang berkembang di sana bersifat kosmopolitan. Walaupun lembaga pendidikan di Haramayn seperti madrasah dan ribath di Haramayn jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kota-kota Islam lainnya seperti Damaskus, Kairo, Zabid, Isfahan, dsb, namun dengan sifat kosmopolitannya ini menjadikan lembaga-lembaga pendidikan di Haramayn mampu berumur lebih panjang dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan di kota-kota Islam lainnya. Dari madrasah, ribath, serta halaqah yang ada di Haramayn inilah, jaringan ulama Timur Tengah yang menghubungkannya dengan ulama-ulama di Nusantara mulai terjalin. Ulama non-Hijazi yang menjadi penghubung terpenting dalam transmisi/jaringan ulama pada abad ke-17 adalah Syaikh Shibghatullah al-Barwaji (w. 1015/1606) dan Syaikh Ahmad al-Syinnawi. Mereka berdua adalah guru dari Syaikh Ibrahim al-Qurani, penulis kitab Ithaf al-Dzaki yang sudah penulis jelaskan secara ringkas sebelumnya.

Keilmuan Islam bercorak tashawwuf al-jadid ini terus tertransmisikan dalam jaringan ulama sampai tersambung kepada ulama-ulama Nusantara di abad ke-17, seperti Nuruddin al-Raniri, Abdur-Ra’uf as-Sinkili, dan Yusuf al-Maqassari. Dimana isnad keilmuan mereka tersambung ke al-Qurani, al-Syinnawi, Shibghatullah, sampai ke ulama muhaddits yang mahsyur seperti Jalaluddin as-Suyuthi dan Ibnu Hajar al-Asqalani.

Ulama Nusantara yang mula-mula menyebarkan ajaran Islam bercorak tashawwuf al-jadid ini adalah Nuruddin al-Raniri yang perannya tidak dapat dilupakan di Aceh. Berasal dari Ranir, India, al-Raniri memulai petualangan intelektualnya dengan menuntut ilmu kepada para ulama yang berperan dalam jaringan di Haramayn, sampai pengembaraannya itu bermuara ke Kesultanan Aceh yang saat itu tampuk kekuasaan sedang dipegang oleh Sultan Iskandar II. Di Aceh ini, ar-Raniri terlibat pertarungan intelektual seru melawan paham wihdatul-wujud yang diusung oleh Hamzah al-Fanshuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Sebelumnya perlu diketahui, ar-Raniri membagi paham wihdatul wujud menjadi dua, yakni wujudiyyah mulhid (kesatuan wujud ateistis) dan wujudiyyah muwwahid (kesatuan wujud unitarisme). Wujudiyyah mulhid meniscayakan kesatuan zat makhluq dan khaliq, sedangkan wujudiyyah muwwahid membuat pemisahan yang jelas antara makhluq dan khaliq, sedangkan kesatuan di antara keduanya diumpamakan seperti “tangan dan bayangan”, satu kesatuan namun secara zat tidak mungkin sama. Al-Fanshuri dan as-Sumatrani yang mengusung paham wujudiyyah mulhid ini dinyatakan kafir oleh ar-Raniri dan mereka berdua pun dijatuhi hukuman mati serta buku-buku mereka dibakar di depan Masjid Baiturrahman. Walaupun pemikirannya sama, Abdur-Ra’uf as-Sinkili tidak menggunakan pendekatan setegas al-Raniri dalam menentang paham wihdatul-wujud, namun lebih ke pendekatan yang lebih halus.

Aktivitas Yusuf al-Maqassari jauh lebih mendebarkan karena dirinya tidak hanya bergulat di bidang intelektualisme sebagaimana ar-Raniri dan as-Sinkili, namun al-Maqassari juga turut memanggul senjata memimpin perlawanan bersama Sultan Ageng Tirtayasa head-to-head melawan kaum kafir Belanda yang berkoalisi dengan Sultan “Haji” Abdul Qahhar di Banten. Walaupun pihaknya kalah dan al-Maqassari sendiri dibuang ke Ceylon (Srilangka), dirinya terus berjuang dengan pena dan diam-diam mentransmisikan semangat jihad kepada para jamaah Haji dari Nusantara yang transit di Ceylon. Pihak Belanda yang menyadari hal ini merasa terancam dan mencoba membungkam al-Maqassari dengan lebih keras lagi; yaitu pembuangan ke tempat yang lebih jauh, Cape Town di Afrika Selatan. 

Tak pelak, aktivitas ar-Raniri, as-Sinkili, dan al-Maqassari dimana mereka adalah para sufi yang juga memimpin beberapa tarekat ini menjadi argumen Azra untuk menolak pendapat kaum modernis yang kerap menuduh kaum sufi sebagai penyebab utama kemunduran Islam dengan kepasifannya itu. Buktinya, ketokohan ketiga ulama itu –al-Raniri, al-Sinkili, al-Maqassari- sebagai tokoh sufi dan pemimpin tarekat tak menghentikan mereka untuk beraktivitas keduniawian, yaitu berpolitik dan berjihad. Jejak mereka pun diikuti oleh ulama-ulama Nusantara berikutnya di abad ke-18 seperti Abdush-Shamad al-Falimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari, juga Dawud bin Abdullah al-Fathani yang getol berpolitik dan menggelorakan semangat jihad melawan kafir Protestan Belanda di Jawa dan Borneo dan Buddha Thai di tanah Pattani.


Hijaz dan Konfrontasi Belanda-Kaum Muslim Abad ke-19

Abad ke-19 merupakan sebuah abad yang penuh dengan rentetan konfrontasi urat syaraf sampai berdarah-darah antara kaum Muslim di Nusantara dengan kekuatan penjajah kolonial Belanda. Sebut saja misalnya Perang Paderi (1809-1837), Perang Diponeogoro (1825-1830), pertempuran Lampung Raden Imba II dan Raden Intan II (1832-1856), pemberontakan di Kalimantan Selatan (1859), kasus Haji Ripangi Kalisalak (1859), Perang Aceh (1873-1903), juga yang tak kalah pentingnya adalah perlawanan para ulama dan santri dalam Pemberontakan Cilegon (1888). Dalam pertempuran-pertempuran di atas, pengaruh orang-orang yang telah berhaji terhadap penggeloraan semangat jihad akan kaum kafir baik secara langsung maupun tidak langsung tidak bisa dilupakan.

Perang Paderi yang berlangsung selama hampir tiga puluh tahun merupakan perlawanan antara kaum Paderi dengan kaum Adat yang dibekingi oleh Belanda. Gerakan pembaruan Islam di oleh kaum Paderi itu tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Surau Ulakan Tarekat Syattariyah yang dipimpin oleh ulama kharismatik Tuanku Nan Tuo, dimana sanad kelimuan Tuanku Nan Tuo kalau ditarik akan sampai kepada Abdur-Ra’uf al-Sinkili yang mempunyai jaringan keilmuan dengan ulama-ulama Haramayn. 

Tahun 1802, alam Minangkabau kedatangan tiga sosok anak bangsa yang kini telah menyandang status haji. Kepulangan Haji Miskin dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji Abdurrahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh), dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) ke Minangkabau menjadi momen penting dalam pembentukan gerakan Paderi. Kebetulan selama mereka bertiga ada di Hijaz, gerakan Wahhabi yang 58 tahun sebelumnya disemai dalam bentuk kerjasama antara Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) sebagai pemimpin spiritual dan Muhammad bin Su’ud (w. 1765) sebagai pemimpin politik kaum Wahhabi sedang menjadi pembicaraan di Jazirah Arab, tersebab pembaruan mereka yang sporadis dan menggemparkan. 

Di tahun yang sama dengan tahun kepulangan tiga haji Minangkabau, kaum Wahhabi berhasil merebut Hijaz secara berturut-turut mulai dari kota Tha’if (1802), Makkah al-Mukarramah (1803), dan Madinah al-Munawwarah (1804).[11] Bisa jadi, semangat pembaruan gerakan Wahhabi menginspirasi Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arief untuk membentuk gerakan serupa untuk melawan kemungkaran kaum Adat sekaligus penjajahan kaum kafir Belanda di Sumatera Selatan. Gerakan Paderi terus berkembang sampai tiba masanya mereka mengangkat senjata dalam tiga fase pertempuran: perlawanan antara kaum Paderi dengan kaum Adat (1809-1821), perlawanan kaum Paderi melawan kaum Adat dan Pemerintah Kolonial Belanda (1821-1832), dan fase pertempuran dimana akhirnya kaum Paderi dan kaum Adat bersatu padu melawan kekuatan Belanda (1832-1837).[12] Walaupun perlawanan kaum Paderi dan rakyat Minangkabau berujung pada kekalahan, para pejabat Belanda tetap dibayang-bayangi perasaan takut mendapati kenyataan bahwa pengaruh Pan-Islamisme begitu kuat di kalangan masyarakat Minangkabau. Schrieke melaporkan bahwa seorang syaikh di Minangkabau membawa bendera Khilafah Utsmaniyah sepulangnya dari Makkah pada 1850.[13]

Di Jawa, perlawanan pangeran Diponegoro yang dahsyat menguras kas Pemerintah Kolonial Belanda sebanyak 20.000.000 gulden dan menewaskan sekitar 15.000 pasukan Belanda. Agustus 1825, sebelum memulai pertempurannya yang panjang selama lima tahun itu, Diponegoro mengumpulkan pasukannya di Selarong. Peter Carey mengumpulkan nama-nama mereka yang berkumpul di hari itu dari berbagai sumber, dan mendapati bahwa kebanyakan dari mereka adalah golongan santri. Sebanyak 22 orang adalah orang-orang yang baru saja selesai melaksanakan ibadah haji di Makkah, dimana 17 orang di antaranya tercatat sebagai Syaikh atau Syarif, sebutan untuk orang-orang yang mengaku sebagai keturunan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.[14]

Kembali ke Sumatera, Kesultanan Aceh Darussalam bersitegang dengan tingkah pongah Pemerintah Kolonial Belanda yang menaklukkan satu per satu kesultanan-kesultanan yang berada dalam patronase Aceh mulai dari Sumatera Selatan sampai ke Sumatera Utara. Perang urat syaraf itu akhirnya memuncak ketika Belanda mengultimatum Aceh untuk berperang secara terbuka pada tahun 1873. Kaum Muslimin di Aceh mendapat stimulus perlawanan dari dorongan jihad membela agama yang membuncah-buncah, dan salah satu faktor yang menumbuhkan semangat jihad itu ialah energi dari kumpulan sya’ir yang dikarang oleh Tengku Chik Pante Kulu yang bernama asli Haji Muhammad. Beliau menulis kumpulan sya’irnya yang diberi judul Hikayat Prang Sabil dalam perjalanan pulangnya dari Makkah pada tahun 1880. 

Berita akan pertempuran Aceh juga menjadi perbincangan di dunia Islam internasional. Basiret, koran yang terbit di Istanbul, menjadikan topik perang Aceh sebagai headline news. Bahkan harian Reuters yang hari ini masih eksis pernah memberitakannya di Inggris.[15] Begitu pula di Hijaz. Muhammad Salih, seorang Sumatra yang mukim di Makkah menyebutkan dalam suratnya, bahwa beberapa syaikh Jawi telah bertemu di tempat seorang syaikh dari Betawi untuk mendiskusikan perihal perang Aceh dan menyatakan oposisinya terhadap Belanda.[16]

Staf Konsulat Hindia Belanda di Jeddah, tahun 1884. Dari kiri ke kanan: Husain al-Qawwas, Snouck Hurgronje; tengah: (?), J. L. A. Branders, J. A. Kruijt, P. N. van der Chijs, (?); depan: Johar -budak Kruijt, Mohammad, budak van der Chijs. (Sumber: Michael F. Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia; The Umma Below the Winds, [Taylor & Francis e-Library, 2003], hal. 56)
 
Karena pengalaman perang bertubi-tubi dengan kekuatan Islam di negeri jajahannya, Pemerintah Kolonial Belanda mulai lelah dan memutar otaknya untuk mencari cara agar kekuatan Islam bisa dicegah. Belanda sadar, keberadaan para haji yang baru pulang dari Makkah bertanggungjawab atas semua kerugian yang dialami pemerintahan kolonial.[17] Ibadah haji yang mensyari’atkan para pelakunya untuk melaksanakan haji bagi yang mampu (man-istatha’a) pastilah dilakukan oleh mereka yang mempunyai fisik yang prima dan ekonomi yang mumpuni. Ketika sampai di tanah suci pastilah mereka akan berinteraksi dengan sesama kaum Muslim dari seluruh penjuru dunia dan saling berbagi akan kondisi masing-masing negeri. Salim A. Fillah membahasakannya dengan, “memandang keluar membaca bentang dunia luas, serta merenung ke dalam memikirkan diri dan bangsanya, jiwa-jiwa imani itu pasti akan membawa pulang nyala api perjuangan untuk tanah airnya.” Snouck mencibir dan menggerutu dalam masalah ini, “di antara massa haji yang berjumlah besar dan tak terdidik selalu ada saja orang-orang yang menyerap benih fanatisme kasar dari ibadah haji.”[18] Keluhan yang sama juga disampaikan oleh pejabat-pejabat Belanda yang lain, seperti de Vicq misalkan, konsul jenderal Belanda di Jeddah yang pada tahun 1885 menulis,

“keikursertaan warga Hindia-Belanda dalam ibadah haji dan perpanjangan masa tinggal mereka di negeri ini (Hijaz), sebagai ancaman bagi kewenangan Belanda di Hindia-Belanda, dan semua orang pasti setuju dengan saya dan menyesalkan bahwa ratusan ribu gulden setiap tahun dikirim dari Hindia-Belanda untuk memberi makan orang-orang yang menganggur di Hijaz atau... mengisi kantung uang pemerintah Turki. (maksudnya adalah sumbangan ‘sukarela’ [tetapi kenyataannya paksaan] dari semua jamaah untuk membangun saluran air ke Jeddah, ini dilaporkan dalam surat yang sama)”[19]

Sehubungan dengan itu, Makkah dapat dianggap sebagai kepanjangan tangan dari Istanbul untuk menyebarkan gagasan Pan-Islamisme (ittihad al-Islam) yang merupakan kebijakan politik dari Sultan Abdul Hamid II. Kekuatan Islam dalam pentas politik internasional sudah menurun pamornya semenjak faktor-faktor internal maupun eksternal yang melemahkan Islam menggerogoti Khilafah Utsmaniyah. Salah satu di antara faktor yang melemahkan itu adalah ditiupnya pemikiran-pemikiran asing seperti nasionalisme, liberalisme, sekulerisme, dan lain-lain ke dalam benak umat Islam. Paham-paham yang demikian menjadikan umat Islam tercerai berai dan menempatkan identitas kebangsaannya lebih tinggi daripada identitas agamanya. Ketika Sultan Abdul Hamid II naik takhta pada 1873, beliau memandang urgensitas umat Islam yang saat itu berantakan adalah menyatukan kepemimpinan politik umat Islam di bawah Khalifah. Setahun sebelum beliau naik takhta pun, perasaan bahwa kaum Muslim dari berbagai dunia adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan tetap didengungkan oleh orang-orang Muslim. Hal itu yang berulang kali didengar oleh Konsul Belanda di Jeddah dari Pasha Turki dan para bawahannya yang mengatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari Khilafah Utsmaniyah.[20]

Kekhawatiran Belanda akan ancaman Pan-Islamisme membuat mereka mengeluarkan kebijakan yang mengatur permasalahan haji. Peraturan tersebut pertama kali keluar pada tahun 1825. Resolusi 1825 diarahkan pada pembatasan kuota haji dan mengawasi gerak-gerik jama’ah. Tarif untuk naik haji dinaikkan menjadi sebesar f.110, termasuk paspor ibadah haji yang diwajibkan untuk setiap jamaah.[21] Aturan ini dinilai gagal. Dengan adanya peraturan tersebut justru para jamaah malah pergi secara sembunyi-sembunyi, mencari jalan lain agar terbebas dari beban yang mahal.[22] Peraturan mengenai haji terus dievaluasi dan mengalami perubahan pada tahun 1827, 1830, 1831, 1850, 1859, 1872, dan tahun 1922.

Mendapati kebijakan yang dibuat mengenai haji tidak efektif, maka Pemerintah Kolonial Belanda mencari cara lain. Akhirnya mereka terdorong untuk menugaskan Christiaan Snouck Hurgronje agar bekerja dalam badan baru yang dibuat Belanda, Kantoor voor Inlandsche en Arabische Zaken (KIAZ), sebagai Penasehat Urusan Pribumi dan Arab. Snouck dipandang sangat cocok untuk bekerja dalam posisi itu mengingat perannya sebagai Islamologis terkemuka dari Universitas Leiden. Debut pertama Snouck dalam bidang studi Islam adalah disertasi doktoralnya yang berjudul Het Mekkaansche Feest (Perayaan Makkah). Untuk penelitian disertasi itu Snouck sampai pergi ke Makkah langsung dan tinggal di sana. Mengingat Makkah sebagai Tanah Haram dan Tanah Suci kaum Muslim, tidak ada yang boleh memasukinya kecuali dia seorang Muslim. Untuk itu, Snouck berpura-pura masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar al-Hullandi. Snouck menjadi harapan bagi Pemerintahan Kolonial Belanda di Hindia-Belanda untuk menangani permasalahan Islam yang pelik bagi penjajahan, di samping karena Snouck mengerti betul akan Islam, ia juga mempunyai visi untuk mengubah masyarakat terjajah dengan pandangan hidup liberalisme ala Eropa abad ke-19.[23]

Menurut Snouck, pemerintah kolonial Belanda harus membedakan Islam dalam arti “ibadah” dengan Islam sebagai kekuatan “sosial politik”. Dalam paparannya yang lebih lanjut, Islam setidaknya memiliki tiga kategori, yakni: Islam sebagai agama murni (ibadah), Islam dalam bentuk sosial kemasyarakatan, dan Islam politik. Untuk Islam dalam kategori pertama dan kedua, pemerintah kolonial hendaknya tidak ikut campur tangan, karena keduanya termasuk ke dalam hak kemerdekaan setiap warga. Bahkan untuk kategori bidang sosial dan kemasyarakatan, pemerintah kolonial kerap memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku untuk diarahkan pada kegiatan yang mendekatkan rakyat kepada Belanda. Tetapi untuk Islam kategori ketiga, pemerintah kolonial harus mengupayakan setiap daya dan tenaga untuk mencegah agar hal tersebut tidak sampai ada dan bertumbuh kembang.[24] Usulan Snouck ini sejatinya merupakan paham sekulerisme yang saat itu sedang berkembang di Eropa semenjak masa Renaissance yang meniscayakan pemisahan antara aturan agama dari urusan dunia. Bagi orang-orang Eropa dari masa Renaissance sampai masa Snouck –bahkan sampai hari ini, agama cukup menjadi urusan privat masing-masing orang. Agama tidak boleh menjadi dasar pengaturan masyarakat karena ia merupakan urusan individu.

Rencana Snouck tidak berjalan mulus. Snouck seolah lupa bahwa orang-orang Muslim yang bergiat di Islam Politik tidak akan tinggal diam dengan kebijakannya. Selain dari dalam negeri, ancaman terhadap kekuasaan Belanda di Nusantara juga didengung-dengungkan di ibukota Khilafah Utsmaniyah, Istanbul. Setidaknya itulah yang didengar oleh Charles Keun, konsul jenderal Belanda di Teheran ketika sedang berada di Istanbul. Tak sengaja ia mendengar percakapan antara dua orang Arab dari Makkah, yang kemudian diikuti oleh seorang Makkah yang berbahasa Melayu pada November 1880. Di antara yang mereka perbincangkan adalah, bahwa bangsa Turki, yang terus merasa terancam oleh kekuatan Eropa, akan balik menyerang, dan memilih mati sebagai syuhada ketimbang menanggung hinaan lebih lama lagi. Bagian dari proyek mereka adalah “merevolusikan Hindia-Belanda dan India-Inggris. Proklamasi yang ditujukan kepada penduduk pribumi sudah dicetak, dan langkah selanjutnya sudah disiapkan di Makkah.[25]

Sampai abad ke-20, Pemerintah Belanda masih suka direpotkan dengan ancaman-ancaman Pan-Islamisme yang datang baik dari Istanbul maupun Makkah. Ketika Khilafah Utsmaniyah runtuh pada 3 Maret 1924, dunia Islam gempar. Di beberapa tempat muncul gerakan reaksioner untuk menegakkan kembali Khilafah, seperti di India dengan Khilafat Movement, Mesir, dan Hijaz yang kini sudah di bawah penguasaan total dinasti Saudi. Ketika diselenggarakan Muktamar Khilafah yang diselenggarakan oleh para ulama al-Azhar di Mesir setahun berikutnya, kaum Muslim di Hindia-Belanda mengirim utusan untuk menghadiri kongres tersebut. Ketika Muktamar Khilafah di Mesir ini berujung kebuntuan, setahun berikutnya diadakan lagi mukatamar yang serupa di Makkah pada 1 Januari 1926 oleh Raja Saudi Ibnu Saud. Utusan yang berangkat dari Hindia-Belanda kali ini adalah H.O.S. Tjokroaminoto dari Partai Sarekat Islam dan Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah. Walau muktamar kali ini tak membuahkan hasil lagi, tapi hal ini menjadi sebab lahirnya Nahdhatul Ulama (NU).[26]

Tjokroaminoto beserta istri dan keluarganya menaiki kapal SS Rondo menuju Jeddah, 1926. (Sumber: Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia; The Umma Below the Winds, hal. 226)


Walau politik Islam menjadi makin goyah, namun komunitas keillmuan ashab al-Jawi di Haramayn masih menunjukkan eksistensinya sampai tahun 1990. Pada tahun 1934, Sayyid Muhsin al-Falimbani mendirikan Madrasah Dar al-Ulum al-Diniyyah yang terletak di Syi’b Ali, Makkah. Madrasah ini khusus menampung murid-murid Jawi yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan lain-lain. Di antara tenaga-tenaga pengajarnya adalah Sayyid Muhsin sendiri, lalu Amir Tengku Mukhtar, Muhsin al-Musawi, Zubair Ahmad al-Mandili, Abdur Rasyid al-Falimbani, Abdul Wahid al-Jambi, Ya’qub Firaq, Raden Atmojo, Abdul Majid, sampai yang paling mahsyur adalah Syaikh Yasin al-Faddani[27], ahli hadits kontemporer dari Padang yang darinya mufti Mesir hari ini, Syaikh Ali Jum’ah berguru.

Wallahu ta'ala a'lam bi al-shawwab .


[1] Untuk melihat perdebatan antarsarjana dalam masalah ini, lihat Azyumardi Azra, Syubkah al-Ulama: Harakah al-Tawashil baina al-Syarqi al-Awsath wa al-Arakhbil fi al-Qarnain al-Sabi’ ‘Asyar wa al-Tsamin ‘Asyar al-Miladiyyah (Jakarta: Markaz al-Dirasat al-Islamiyyah wa al-Ijtima’iyyah [PPIM] IAIN Jakarta) hal. 1-14
[2] Azra, Syubkah al-Ulama, hal. 6
[3] Eugene Rogan, Dari Puncak Khilafah: Sejarah Arab-Islam Sejak Era Kejayaan Khilafah Utsmaniyah, terj. Fahmy Yamani (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2017), hal. 26-27
[4] Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below The Wind, (London: Taylor & Francis e-Library, 2003), hal. 17-18
[5] S.M. Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (file pdf), hal. 29
[6] Merle C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono, (Gadjah Mada University Press, 1999), hal. 12
[7] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid I, (Bandung: Penerbit Salamadani, 2012), hal. 148-151
[8] Setelah masa Utsman, Khalifah Ali bin Abi Thalib (k. 656-661 M) memindahkan ibukota Khilafah ke kota Kufah di Irak. Ketika bani Umayyah menguasai Khilafah, ibukota Islam berpindah ke Damaskus.
[9] Azra, Syubkah al-Ulama, hal. 14
[10] Azra, Syubkah al-Ulama, hal. 19. Kitab-kitab klasik yang meriwayatkan khabar ini adalah kitab al-Hayawan oleh al-Jahizh (783-869 M), kitab al-Aqd al-Farid oleh Ibn Abdir Rabbih al-Andalusi (860-940 M), dan kitab al-Nujum al-Zahirah fi Muluk Mishr al-Qahirah oleh Ibn al-Tighribirdi
[11] Azra, Syubkah al-Ulama, hal. 53
[12] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), hal. 130
[13] Azra, Renaisans Islam.., hal. 121
[14] Azra, Syubkah al-Ulama, hal. 88-89
[15] Lihat: Madawi al-Rasheed, A History of Saudi Arabia, (New York: Cambridge University Press, 2002)
[16] Nico J. G. Kaptein (ed.), Kekacauan dan Kerusuhan: Tiga Tulisan tentang Pan-Islamisme di Hindia-Belanda Timur Pada Akhir Abad XIX dan Awal Abad XX, (Jakarta: INIS, 2003), hal. 10
[17] Peter Carey, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016), hal. 317
[18] Kaptein, Kekacauan dan Kerusuhan..., hal. 15
[19] Laffan, Islamic Nationhood.., hal. 41
[20] Harry J. Benda, Christiaan Snouck Hurgronje and The Foundations of Dutch Islamic Policy in Indonesia, dalam Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore: ISEAS, 1985), hal. 62
[21] Dikutip dari Kaptein, Kekacauan dan Kerusuhan.., hal. 89
[22] Dikutip dari Kaptein, Kekacauan dan Kerusuhan.., hal. 89
[23] Kaptein, Kekacauan dan Kerusuhan...,  hal. 13
[24] M. Dien Madjid, Berhaji di Masa Kolonial, (Jakarta: CV Sejahtera, 2008), hal. 83-84
[25] Madjid, Berhaji di Masa..., hal. 90
[26] Benda, Christiaan Snouck..., hal. 62
[27] Muhammad Shoheh, Cerita Perbantahan Dahulu Kala; Pembelaan dan Sanggahan Tuanku nan Garang Atas Kritik Sayyid Utsman bin Yahya bin Aqil Tahun 1885, (JUMANTARA – Jurnal Manuskrip Nusantara Vol. 4 No. 1 Tahun 2013), hal. 3
[28] Kaptein, Kekacauan dan Kerusuhan...,  hal. 93
[29] Suryanegara, Api Sejarah..., 466-468
[30] Azra, Renaisans Islam.., hal. 155-156
 

1 komentar:

  1. Online Baccarat | A beginners' guide | febcasino.com
    Play kadangpintar online Baccarat with a real dealer and find out what makes online Baccarat 1xbet korean so febcasino exciting.

    BalasHapus