My Teritory

Rabu, 16 November 2016

Syahrie Oye bin Umar, Abu Ayyub al-Anshari Modern

Ust. Syahrie (kanan) bersama Habib Munzir al-Musawa (kiri), rahimahumallah
Kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok mendapat reaksi yang beragam. Ada yang marah, ada yang biasa saja, bahkan ada yang membela. Namun, bagi seseorang yang mewakafkan dirinya untuk agama Islam sejak lama, penistaan yang Ahok lakukan terhadap al-Qur'an membuat ghirah dan kemarahannya memuncak. Hal itulah yang dirasakan oleh Ust. Syahrie Oemar Yunan (Oye) bin Umar, seorang sesepuh dan tokoh agama di komplek perumahanku, Binong Permai.
Sebenarnya, sudah semenjak lama beliau menolak keberadaan seorang pemimpin yang tak satu akidah dengannya. Penolakannya terhadap pemimpin kafir bukan berarti beliau anti-nonmuslim, bukan. Menurut penuturan istrinya, Ibu Hermalina, beliau senantiasa lembut dan tidak sungkan menolong siapapun, termasuk kepada orang nonmuslim. Hanya saja dalam masalah kepemimpinan, beliau menegaskan pendiriannya, kaum Muslim haram dipimpin orang kafir! Walaupun Ust. Syahrie Oye tinggal di Binong Permai, Tangerang, tidak membuat kepeduliannya sirna akan nasib penduduk Jakarta yang dipimpin Ahok yang kafir. Ia senantiasa tegas menyerukan sikapnya akan keharaman pemimpin kafir.

Rabu, 11 Mei 2016

Tigaraksa, Tiga Mujahiddin

Patung Tigaraksa

Tigaraksa adalah ibukota kabupaten Tangerang. Jika kita ingin pergi ke pusat pemerintahan kabupaten Tangerang di Tigaraksa dari arah Tangerang atau Cikupa, kita akan menjumpai sebuah monumen stainless steel besar berbentuk manusia berjumlah tiga orang, yang dikelilingi frame besar sekaligus penyangga monumen tersebut yang bernuansa ungu sebagai ciri khas Kabupaten Tangerang. Begitu juga jika kita datang dari arah Cisoka dan Cibadak, kita akan melewati monumen tersebut.

            Monumen itu dikenal di masyarakat dengan banyak nama. Ada yang menyebutnya Patung Tiga Utusan, Patung Tiga Jawara, Patung Tiga Ksatria, Patung Tiga Tumenggung, dan Patung Tigaraksa. Banyak orang yang tidak mengetahui apa makna dibalik monumen tersebut. Padahal itu adalah monumen yang dibangun untuk mengenang tiga orang pejuang yang berjihad melawan orang-orang kafir Belanda yang bernaung di bawah perusahaan dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie).

            Dalam sejarah, ketiga orang itu ialah; Aria Yudanegara, Aria Wangsakara, dan Aria Santika. Mereka adalah tiga orang Tumenggung yang berasal dari Sumedang, ditugasi untuk memimpin sebuah wilayah di Kesultanan Banten yang mencakup daerah Tangerang, Jasinga, dan Lebak. Oleh masyarakat, ketiga pemimpin ini dikenal dengan sebutan Tigaraksa, yang berarti tiga tiang atau tiga pemimpin.

Senin, 22 Februari 2016

Jayakarta, Kemenangan yang Nyata

Pelabuhan Sunda Kelapa, saksi bisu jihad kaum Muslim Indonesia melawan Portugal
Sebelum kita merenungi tanah air tercinta, Jakarta, mari terlebih dahulu kita merenungi sebuah negeri yang mahsyur akan keagungan tenggang rasa antarumat beragama di bumi Spanyol. Espana in three religions, begitu para sejarawan menyebutnya. Betapa tidak, negara yang dinaungi oleh Khilafah Bani Umayyah itu berisikan Muslim, Yahudi, serta Kristen, dan mereka semua hidup dalam keharmonisan. Namun semua itu sirna setelah Ratu Isabella dan Raja Ferdinand, suami-istri penguasa Kristen Spanyol Utara, melancarkan program Reconquista (penaklukan kembali) atas Islam yang berkuasa di Spanyol. Kaum non-Kristen pun diberikan tiga opsi;

Pertama, murtad dan menjadi Kristen. 
Kedua, diusir dari Spanyol dan tidak diperbolehkan untuk membawa anak-anak mereka. 
Ketiga, disiksa dengan berbagai macam seni siksaan atau dibakar hidup-hidup. 

Pilihan-pilihan itu seperti buah Simalakama, semuanya sangat menyengsarakan. Akhirnya, kaum Muslim Spanyol yang berpopulasi kurang lebih 5.000.000 orang musnah. Semuanya dipaksa pindah agama, diusir, dan dibunuh. Tembok-tembok kota, pohon, batu, dan sebagainya yang ada disana, menjadi saksi bisu atas peristiwa yang tragis ini.

Setelah jatuhnya Granada dari tangan kaum Muslim, Dikukuhkanlah Perjanjian Tordesilas, 7 Juni 1494 M, oleh Paus Alexander VI. Dalam perjanjian ini, Paus Alexander VI memberikan kewenangan kepada Kerajaan Katolik Portugis untuk menguasai dunia belahan timur, sementara Kerajaan Katolik Spanyol dipersilahkan untuk menaklukan dunia belahan barat.

Jumat, 19 Februari 2016

Harun ar-Rasyid, Jokowi, dan Kedaulatan Umat

Khalifah Harun ar-Rasyid sedang menerima utusan dari Charlemagne, raja bangsa Frank, Prancis.
(lukisan oleh Julius Köckert [1827–1918])


Baghdad, 802

The most powerfull state on the world. Itulah Khilafah Bani Abbasiyah ketika dipimpin Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809). Kekuatan kaum Muslim benar-benar gemilang dibawah kepemimpinan beliau. Sampai-sampai negara-negara lain di seluruh penjuru dunia pun tunduk, segan, dan menaruh hormat yang tinggi kepada Khilafah, termasuk Imperium Romawi.

Irene of Athens, Ratu Romawi Byzantium
Saat itu, Romawi dipimpin oleh seorang Ratu yang bernama Irene of Athens (752-803). Suatu hari, Khalifah Harun ar-Rasyid melancarkan sebuah jihad untuk menaklukkan Romawi agar hambatan dakwah disana bisa menghilang. Berlangsunglah pertempuran yang seru di Anatolia, Turki. Kekuatan kaum Muslim yang luar biasa ini pun akhirnya dapat mengalahkan pasukan Romawi. Setelah itu, Ratu Irene meminta damai dan memutuskan untuk membayar Jizyah (pajak) sebanyak 70.000-90.000 dinar setiap tahun kepada Khilafah. Ratu Irene tetap setia membayar Jizyah setahun sekali sampai ia wafat.

Ketika Ratu Irene wafat pada 802, maka tahkta kedudukan Kaisar Romawi Byzantium digantikan oleh Nikephoros I. Ia merasa percaya diri karena didukung berbagai pihak. Akhirnya dengan jumawa ia nekat untuk mengirimkan surat kepada Khalifah Harun ar-Rasyid agar mengembalikan harta Jizyah yang sudah diberikan Ratu Irene sebelumnya. Ia menulis;

Sabtu, 23 Januari 2016

Mengemban Tugas Nabi

La yu’minu ahadukum, hatta yuhibbu li akhihi ma yuhibbu li nafsi.

Tidak beriman seseorang diantara kamu, sampai kamu mencintai saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri, begitu sabda mulia Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Setiap manusia pasti mencintai dirinya sendiri. Hal itu diwujudkan dengan usaha dia untuk memenuhi apa-apa yang ia butuhkan. Kita berusaha untuk mencari makan, menikah, menuntut ilmu, mengerjakan ibadah, dan sebagainya, karena kita membutuhkan dan menginginkan hal-hal tersebut. Semua itu wajar, karena ia adalah fitrah. Namun Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan sebuah kaidah sosial agung, yang menjadi pembeda antara ‘beriman’ dan ‘tidak beriman’, yakni mencintai saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri! Perhatian kepada saudara seiman merupakan hal yang menjadikan ukhuwah Islam begitu erat mengikat.

Di antara tanda-tanda bahwa kita sudah mencintai saudara kita sebagaimana kita mencintai diri sendiri, salah satu contohnya ialah ketika kita mengetahui sesuatu hal yang begitu menggugah jiwa dan akal kita, dan kita begitu inginnya untuk menyampaikan hal tersebut kepada orang lain. Setelah itu, kita berharap agar orang tersebut juga tergugah dengan apa-apa yang menggugah kita.

Al-Qur’anul Karim merekam contoh dari sikap tersebut dalam sebuah surat yang sering sekali kita baca, yakni surat Yasin. Dalam surat itu, ada sepenggal kisah yang benar-benar pernah terjadi dalam sejarah dunia. “wadhrib lahum matsalan ashabal qaryah..” “dan buatlah suatu perumpamaan bagi mereka, yaitu penduduk suatu negeri..” inilah sebuah kisah yang terjadi di sebuah kota orang-orang Romawi, kota Antioch, yang sekarang terletak di Turki sebelah selatan, dekat dengan perbatasan Suriah. Dulunya, wilayah itu masuk ke dalam wilayah Romawi. “..idz jaa’ahal mursalun.” “ketika para utusan datang kepada mereka.” Menurut Ibnu Katsir, para utusan ini ialah murid-murid nabi Isa Alaihissalam.

Sabtu, 09 Januari 2016

Menyayangi Kaum Muslim dan Kerapatan Shaf

'3'; Alif, Lam, Mim
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka..” (QS. Al-Fath [48]: 29)

Ketika malam tahun baru kemarin, aku menonton sebuah film di Net TV, judulnya adalah 3 (tiga). Diceriterakan dalam film tersebut, Indonesia pada tahun 2036 telah menjadikan paham liberalisme sebagai asas negara, yang menjunjung HAM sangat tinggi. Sila pertama Pancasila dihapus sehingga bukan Pancasila lagi namanya, melainkan Catursila. Dengan kata lain, saat itu Indonesia telah menjadi negara sekuler dan amat memusuhi orang-orang yang terlihat agamis.

Suatu hari, terjadi kasus pemboman di sebuah kafe, dan orang-orang bergamis nan bersorban yang ada di kafe tersebut diciduk sebagai pelaku kasus terorisme tersebut. Singkat cerita, ternyata yang melakukan pemboman tersebut adalah sebuah organisasi rahasia (Freemason) yang melakukan konspirasi dan menggunakan orang-orang Islam sebagai kambinghitam atas kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan.

Minggu, 03 Januari 2016

Liberalis, Riwayatmu Nanti...

Kulihat di gerbang UIN ada banner besar. Yang membuatku agak kaget ternyata pembicaranya adalah Ulil Abshar Abdalla dan Zuhairi Misrawi, pentolan liberal yang selama ini sepak terjangnya di media sosial begitu kontroversial. Ada juga pembicara yang lain yaitu Prof. Romo Franz Magnez Suseno, SJ., seorang pendeta dari Jerman. Kemudian Maulana Abdul Basit, Sy. dan Ahmad Najib Burhani, Ph.D, juga seorang dari Inggris yang bernama Dr. Sir. Iftikhar Ayaz, KBE, OBE. Saat kulihat tema acara itu, ternyata tentang implementasi toleransi untuk kemanusiaan dan keharmonisan. Sebuah tema yang begitu mainstream di kalangan liberal.

Rabu, 30 September 2015/16 Dzulhijjah 1436, aku rela tidak ikut kuliah demi menghadiri acara ini. Aku ingin mengetahui pemikiran mereka ‘langsung’ dari sumbernya, agar aku tidak menjadi orang yang sekedar ‘ikut-ikutan’.

Acara berlangsung di Auditorium Harun Nasution. Di belakang pintu masuk kulihat ada stand. Isinya adalah buku-buku dan mushaf-mushaf al-Qur’an yang diterjemahkan ke berbagai bahasa. Tapi yang membuatku terkejut, di samping stand buku itu ada tiga standing banner yang berisi info-info kegiatan Ahmadiyah di seluruh dunia. Terpampang pula foto Mirza Ghulam Ahmad, ‘Imam Mahdi’ versi Ahmadiyah dengan perpaduan background yang telah diedit sehingga menimbulkan kesan soft and smooth, seolah ingin disampaikan bahwa dia adalah seorang yang membawa cinta damai.