My Teritory

Selasa, 02 Juli 2019

Kerinduan Akan Khilafah yang Hilang: Resensi Buku Longing for the Lost Caliphate oleh Mona Hassan




Bagaimana rasanya ketika sesuatu yang sudah diyakini mapan kedudukannya tiba-tiba hancur oleh kekuatan yang tak terduga? Terjebak dalam dilema, namun tentu saja harus dicari pemecahannya. Itulah yang dirasakan oleh kaum Muslim sedunia tatkala Khilafah, institusi negara yang diwariskan oleh Nabi mereka, lenyap.

Ketika Khilafah Utsmaniyyah yang menjadi objek kaum Muslimin untuk menyerahkan bai’atnya dihancurkan oleh penjajah pada 1924, tidak hanya Muslim Turki yang terperanjat, namun juga Muslim di berbagai belahan bumi lain, salah satunya adalah seorang ulama muda Mesir yang sedang menyelesaikan studinya di Prancis, Abdurrazzaq as-Sanhuri. 

Semangat Jihad Kembali Berkobar


Posisi Khilafah Utsmani semakin terjepit, wilayahnya di berbagai belahan bumi dijajah. Di Nusantara misalnya, Kesultanan Temasek (sekarang Singapura) dicaplok penjajah Inggris, sedangkan Jayakarta (sekarang Jakarta) sudah dicengkeram Belanda sejak Kesultanan Demak dihancurkan Kompeni tersebut dan diganti menjadi Batavia. Sehingga terpaksalah Khilafah membuka kantor konsulat di Singapura pada 1864 dan di Batavia pada 1883.

Untung saja Kesultanan Jambi masih bisa bertahan melawan penjajahan Belanda yang sudah berlangsung setengah abad. Karena sudah kewalahan melawan Belanda, Sultan Thaha Safiuddin (1816-1909) pada 1903, mengirim utusan ke Singapura untuk bertemu dengan Konsul Khilafah Ahmet Attaullah Effendi, agar ia menyambung pesannya kepada Khalifah Kaum Muslimin Sultan Abdülhamid II, untuk menolong Jambi dari rongrongan orang-orang kafir.

Surat Sultan Thaha Jambi diterima oleh Sultan Abdülhamid II pada 1904, dan dengan segera ia memanggil Konsul Belanda di Konstantinopel agar menghadapnya di Istana Yildiz, Turki. Khalifah menyampaikan bahwa ia mendapat surat dari seorang pemimpin yang “tidak jauh dari Singapura” yang mengaku bahwa masjid-masjid telah dihancurkan dan kaum Muslim telah ditindas.

Surat Tak Sampai


Setelah mengalami kegagalan dalam pengepungan Kota Vienna pada 1683, Khilafah Utsmani mengalami kemunduran. Kekalahan demi kekalahan terus menimpanya, sementara Eropa makin bangkit baik dari segi ekonomi, militer dan tentunya teknologi. Bangsa Eropa yang melihat realita musuh abadinya pun akhirnya tertawa terbahak-bahak dan menyematkan gelar ejekan untuk Khilafah Utsmani, yakni “orang sakit Eropa (de zieke man van Europa)”.

Para sultan Utsmani yang terusik dengan ejekan itu, mencoba mengejar ketertinggalan. Namun bukan dengan jalan Islam mereka mencoba bangkit, melainkan dengan cara Eropa. Perlahan-lahan Khilafah Utsmani mulai mengganti gaya hidup mereka dengan gaya hidup Eropa, sampai mencapai puncaknya ketika Sultan Abdülmecid I mendeklarasikan era Tanzimat pada tahun 1839. Di era tersebut Khilafah Utsmani mulai memberlakukan sejumlah undang-undang Barat di sistem hukumnya. Utsmani telah mengambil “obat” yang akan meracuni tubuhnya sendiri.

Jawara Pemanggul Bendera Khilafah Utsmani


Semenjak 1619, kota pelabuhan Jayakarta (sekarang Jakarta) di pesisir Jawa sudah dijajah Belanda yang diwakili oleh organisasi VOC. Orang-orang Eropa ini mengganti nama wilayah yang tadinya bagian dari Kesultanan Demak itu menjadi Batavia, merujuk kepada nama nenek moyang bangsa Belanda, Bataaf.

Walau dijajah VOC, tidak semua penduduk pribumi terusir dari Batavia. Sebagian dari mereka tetap bermukim di sana, tentu dengan perjuangan untuk bertahan hidup yang besar. Pribumi yang tetap di Batavia lama kelamaan disebut kaum Betawi, pelafalan bahasa Arab untuk menyebut nama ‘Batavia’.

Tahun 1799, VOC yang bangkrut mewariskan wilayah kekuasaan mereka kepada Pemerintah Kerajaan Belanda yang kemudian dikenal sebagai Pemerintah Hindia Belanda. Daendels sebagaimana gubernur jenderal pertama, menjual tanah-tanah di Batavia dan sekitarnya kepada pihak swasta, yaitu orang-orang Eropa dan Cina. Maka banyak tanah di Batavia pada zaman kolonial lazim dikenal sebagai tanah partikelir (milik swasta/tuan tanah, bukan milik umum maupun pemerintah).

Kamis, 16 Agustus 2018

Nostalgia Iman, Cinta, dan Ilmu Antara Hijaz dan Nusantara

Ilustrasi Ka'bah, oleh Ali Bey, 1803. (Sumber: Laman Facebook Ottoman Imperial Archive)

Semenjak Islam mulai tegak di atas Bumi pada abad ke-7 M, tanah Arab, khususnya daerah Hijaz, mempunyai keistimewaan tersendiri. Di dalam Hijaz inilah terdapat dua kota yang suci dan disucikan oleh kaum Muslimin, yakni Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah. 

Kota Makkah adalah kota di mana Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan, dibesarkan, kemudian mendapat wahyu al-Qur’an dan disebarkan di tengah manusia. Selain itu, kota Makkah juga dijadikan oleh Allah sebagai kota di mana penyelenggaraan ibadah haji dan umrah berlangsung, dengan Masjid al-Haram dan bangunan Ka’bah sebagai poros utamanya. Sebagai kewajiban utama yang ditetapkan secara mutlak oleh agama untuk berkunjung kepadanya, maka tak pernah sepi-lah kota itu dari kunjungan kaum Muslimin yang datang dari berbagai negara dan bangsa.

Sementara kota Madinah adalah kota tempat Nabi menerima dukungan politik (nushrah) dari suku-suku setempat untuk menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai kepala negara sehingga Nabi dapat menerapkan syariat Islam di sana. Di Madinah pulalah Nabi dimakamkan, kemudian kepemimpinan politik setelah Nabi (Khilafah) diteruskan oleh para Sahabatnya ridwanullahu alaihim. Di samping menjadi pusat politik Islam yang darinya Islam menyebar sampai keluar dari batas Jazirah Arab, Madinah juga menjadi tempat tinggal para Sahabat dan generasi-generasi setelahnya untuk mengajar dan belajar ilmu-ilmu agama. Jadilah kota Madinah sebagai poros ilmu selama berabad-abad.

Selasa, 21 November 2017

Ideologi Pembebasan yang Murni dan Hakiki

Mural rakyat Palestina yang merindukan Khilafah Islamiyyah membebaskan negeri mereka


***
“Pengemban dakwah tidak akan memihak suatu bangsa manapun, ataupun bersikap kompromi. Ia tidak peduli lagi dengan beratnya menghadapi masyarakat dan para penguasa yang jahat, tidak bergaul dengan mereka, tidak berbasa-basi atau bermanis muka. Namun demikian mereka tetap berpegang teguh pada Ideologi tanpa memperhitungkan untung-rugi, kecuali Ideologi itu sendiri.”
-Taqiyuddin an-Nabhani-
***


Jual! Jual! Jual! Berseliweran kata-kata itu di jejaring informasi kita, walau tidak lebih dominan dibanding drama badut amatiran ala Setya Novanto dan tiang listrik-nya yang malang. Tingkah Jokowi yang menjual ke sana kemari aset-aset negara seperti jalan tol dan BUMN beserta turunan perusahaannya, secara tidak langsung mendeklarasikan pemerintahannya sebagai pemerintahan Kapitalis. Belum lagi dengan kebijakan-kebijakan seperti privatisasi sektor-sektor publik, perizinan Meikarta, pembakaran hutan, penghapusan subsidi, kenaikan TDL yang sangat meroket, dan lain sebagainya yang makin menunjukkan kecintaan Rezim terhadap ideologi Kapitalisme; walaupun mereka tak pernah melisankannya secara sharih dan lebih memilih ‘slogan manis’ seperti “Saya Pancasila! Saya Indonesia!”.

Rezim yang berlindung dibalik ketiak Kapitalisme senantiasa berteriak “hidup demokrasi!” dan “NKRI Harga Mati!” tapi secara nyata bersikap tiran kepada para penentang kekuasaan kapitalnya dengan ‘senjata pemusnah massal’ UU ITE atau UU Ormas yang baru saja dilegalkan. Siapapun yang masih punya kesadaran akan realitas yang rusak ini, pasti akan tergerak untuk melakukan perubahan. Hanya saja, senjata apa yang akan mereka angkat untuk melawan keangkuhan Kapitalisme?

Rabu, 09 Agustus 2017

Alasan Beragama dan Bernegara; Antara Kepentingan dan Kebenaran

Patung Vladimir I bin Svyastoslaw di kota Novgorod, Rusia.

Ribuan tahun lalu, kerajaan Rusia sedang dipimpin oleh Vladimir I, anak dari raja Svyastoslaw yang kekuatannya sanggup membuat ciut raja Bulgaria, raja Khazar, bahkan kaisar Byzantium di Konstantinopel.
Vladimir I sedang bingung. Walau kekuatannya ditakuti, namun ia menyadari bahwa kekuasaannya tak akan bisa disejajarkan dengan rival-rivalnya di Eropa jika negaranya masih memeluk agama penyembah berhala warisan founding fathers bangsa Rusia. Vladimir melihat, setidaknya ada empat agama dunia yang mampu memperkokoh hegemoninya karena jaringan agama-agama itu transnasional; Islam, Yahudi, Katolik Roma, dan Kristen Ortodoks.

Rabu, 16 November 2016

Syahrie Oye bin Umar, Abu Ayyub al-Anshari Modern

Ust. Syahrie (kanan) bersama Habib Munzir al-Musawa (kiri), rahimahumallah
Kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok mendapat reaksi yang beragam. Ada yang marah, ada yang biasa saja, bahkan ada yang membela. Namun, bagi seseorang yang mewakafkan dirinya untuk agama Islam sejak lama, penistaan yang Ahok lakukan terhadap al-Qur'an membuat ghirah dan kemarahannya memuncak. Hal itulah yang dirasakan oleh Ust. Syahrie Oemar Yunan (Oye) bin Umar, seorang sesepuh dan tokoh agama di komplek perumahanku, Binong Permai.
Sebenarnya, sudah semenjak lama beliau menolak keberadaan seorang pemimpin yang tak satu akidah dengannya. Penolakannya terhadap pemimpin kafir bukan berarti beliau anti-nonmuslim, bukan. Menurut penuturan istrinya, Ibu Hermalina, beliau senantiasa lembut dan tidak sungkan menolong siapapun, termasuk kepada orang nonmuslim. Hanya saja dalam masalah kepemimpinan, beliau menegaskan pendiriannya, kaum Muslim haram dipimpin orang kafir! Walaupun Ust. Syahrie Oye tinggal di Binong Permai, Tangerang, tidak membuat kepeduliannya sirna akan nasib penduduk Jakarta yang dipimpin Ahok yang kafir. Ia senantiasa tegas menyerukan sikapnya akan keharaman pemimpin kafir.

Rabu, 11 Mei 2016

Tigaraksa, Tiga Mujahiddin

Patung Tigaraksa

Tigaraksa adalah ibukota kabupaten Tangerang. Jika kita ingin pergi ke pusat pemerintahan kabupaten Tangerang di Tigaraksa dari arah Tangerang atau Cikupa, kita akan menjumpai sebuah monumen stainless steel besar berbentuk manusia berjumlah tiga orang, yang dikelilingi frame besar sekaligus penyangga monumen tersebut yang bernuansa ungu sebagai ciri khas Kabupaten Tangerang. Begitu juga jika kita datang dari arah Cisoka dan Cibadak, kita akan melewati monumen tersebut.

            Monumen itu dikenal di masyarakat dengan banyak nama. Ada yang menyebutnya Patung Tiga Utusan, Patung Tiga Jawara, Patung Tiga Ksatria, Patung Tiga Tumenggung, dan Patung Tigaraksa. Banyak orang yang tidak mengetahui apa makna dibalik monumen tersebut. Padahal itu adalah monumen yang dibangun untuk mengenang tiga orang pejuang yang berjihad melawan orang-orang kafir Belanda yang bernaung di bawah perusahaan dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie).

            Dalam sejarah, ketiga orang itu ialah; Aria Yudanegara, Aria Wangsakara, dan Aria Santika. Mereka adalah tiga orang Tumenggung yang berasal dari Sumedang, ditugasi untuk memimpin sebuah wilayah di Kesultanan Banten yang mencakup daerah Tangerang, Jasinga, dan Lebak. Oleh masyarakat, ketiga pemimpin ini dikenal dengan sebutan Tigaraksa, yang berarti tiga tiang atau tiga pemimpin.

Senin, 22 Februari 2016

Jayakarta, Kemenangan yang Nyata

Pelabuhan Sunda Kelapa, saksi bisu jihad kaum Muslim Indonesia melawan Portugal
Sebelum kita merenungi tanah air tercinta, Jakarta, mari terlebih dahulu kita merenungi sebuah negeri yang mahsyur akan keagungan tenggang rasa antarumat beragama di bumi Spanyol. Espana in three religions, begitu para sejarawan menyebutnya. Betapa tidak, negara yang dinaungi oleh Khilafah Bani Umayyah itu berisikan Muslim, Yahudi, serta Kristen, dan mereka semua hidup dalam keharmonisan. Namun semua itu sirna setelah Ratu Isabella dan Raja Ferdinand, suami-istri penguasa Kristen Spanyol Utara, melancarkan program Reconquista (penaklukan kembali) atas Islam yang berkuasa di Spanyol. Kaum non-Kristen pun diberikan tiga opsi;

Pertama, murtad dan menjadi Kristen. 
Kedua, diusir dari Spanyol dan tidak diperbolehkan untuk membawa anak-anak mereka. 
Ketiga, disiksa dengan berbagai macam seni siksaan atau dibakar hidup-hidup. 

Pilihan-pilihan itu seperti buah Simalakama, semuanya sangat menyengsarakan. Akhirnya, kaum Muslim Spanyol yang berpopulasi kurang lebih 5.000.000 orang musnah. Semuanya dipaksa pindah agama, diusir, dan dibunuh. Tembok-tembok kota, pohon, batu, dan sebagainya yang ada disana, menjadi saksi bisu atas peristiwa yang tragis ini.

Setelah jatuhnya Granada dari tangan kaum Muslim, Dikukuhkanlah Perjanjian Tordesilas, 7 Juni 1494 M, oleh Paus Alexander VI. Dalam perjanjian ini, Paus Alexander VI memberikan kewenangan kepada Kerajaan Katolik Portugis untuk menguasai dunia belahan timur, sementara Kerajaan Katolik Spanyol dipersilahkan untuk menaklukan dunia belahan barat.